Sorak sorai penonton membuat lomba pacu codang atau rakit pohon pisang yang digelar warga Kampung Tarandam, Nagari Pasar Muaralabuh, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, semakin semarak.
Ratusan penonton yang memenuhi jalan setapak di tanggul sungai Batang Suliti meneriakan yel yel memberi semangat kepada kelima peserta pacu codang untuk saling berpacu mencapai garis finis pada bentangan tali rafia dengan hiasan balon berwarna-warni.
Meskipun Jumat (8/7) siang itu mentari begitu terik, kelima anak itu mengeluarkan segenap tenaga untuk saling menyalip berusaha mencapai garis finis yang pertama.
Permainan pacu codang, merupakan salah satu permainan tradisional yang berkembang di daerah yang dimekarkan dari Kabupaten Solok pada 2004 itu. Permainan ini berkembang salah satunya di Kampung Tarandam, sebuah jorong (dusun) yang berada di pinggir Sungai Batang Suliti.
Dalam permainan pacu codang jika di Jawa Tengah biasanya disebut getek pohon pisang, pemain pertama yang mencapai garis finis menjadi sang pemenang.
Uniknya, dalam pacu codang ini peserta tidak menggunakan alat pengayuh untuk menggerakan codangnya, melainkan menggunakan tangan dan kaki untuk mengayuhnya.
Peserta berposisi tengkurap di atas batang pisang, kemudian menggunakan kedua tangan serta kakinya untuk mengayuh. Mirip orang berlatih renang.
Satu codang yang dibuat dari dua pohon pisang itu bisa digunakan dua anak-anak, sementara satu orang dewasa.
Kendati panjang lintasan sepanjang lebih kurang 20 meter dan mengikuti arus Sungai Batang Suliti, namun lumayan menguras tenaga terlihat dari helaan napas mereka yang begitu berat setelah menyelesaikan pertandingan.
Ketua Panitia pacu codang Jorong Kampung Tarandam, Doni Asmon, menjelaskan permainan tersebut digelar selain untuk merayakan Lebaran, namun juga untuk memunculkan kembali permainan tradisional di daerah yang berada di pusat Kecamatan Sungai Pagu itu.
"Pacu codang ini terakhir kali digelar di Batang Suliti sekitar sepuluh tahun lalu," ujarnya pria berusia 34 tahun itu.
Ia menceritakan munculnya ide untuk menggelar kembali pacu codang ini ketika dirinya membuat codang untuk mengangkut rumput dari seberang Suliti. Saban sore, codang tersebut digunakan anak-anak yang mandi di sungai untuk menunggu berbuka puasa.
"Saya sempat bikin codang sampai tiga kali karena sering rusak digunakan anak-anak untuk bermain," kata mantan reporter lepas TVRI Sumbar untuk wilayah kerja Solok Selatan ini.
Kemudian terlintas di pikirannya untuk membuat semacam perlombaan dalam menyemarakkan Idul Fitri yang berbeda dari kebanyakan perlombaan yang digelar oleh warga Solok Selatan.
"Kebanyakan warga menggelar panjat pinang dalam memeriahkan perayaan Idul Fitri, saya mencoba memunculkan permainan yang lain," katanya.
Dirinya juga sempat mengunggah foto anak-anak sedang bermain codang ke media sosial . Postingan tersebut mendapatkan respon positif agar memunculkan kembali permainan pacu codang itu.
"Semangat saya menjadi terpacu. Apalagi para orangtua di Kampung Tarandam ini juga mendukung," sebutnya.
Kemudian dirinya membentuk sebuah kepanitiaan kecil-kecilan untuk mempersiapkan perlombaan tersebut. Selain mendapat dukungan dalam bentuk semangat, satu per satu warga memberikan sumbangan dalam bentuk materi agar perlombaan tersebut bisa terlaksana.
"Awalnya jumlah panitia cuma enam orang, kemudian satu dua orang ikut membantu hingga perlombaan ini digelar," sebutnya.
Bukan cuma itu, katanya, beberapa anak yang sempat bermain codang tersebut tidak ada yang tahu apa yang sedang merekan mainkan.
"Anak-anak yang bermain codang itu rata-rata usia sekolah dasar. Saya agak miris ketika mendengar mereka bertanya apa yang sedang mereka mainkan itu," ujarnya.
Doni bersama rekan-rekannya berkeinginan anak-anak sekarang tahu dan kenal permainan tradisional yang berkembangan di daerah itu. Dengan begini, permainan tersebut permainan itu bisa dilestarikan dan tidak tertelan zaman.
"Perlombaan ini hanya semacam sarana saja dan hadiah cuma sekedar pemikat. Bagi kami, tujuan dari lomba yang kami laksanakan ini adalah ingin melestarikan permainan tradisional agar tidak hilang oleh perkembangan zaman," katanya.
Perlombaan yang digelar selama dua hari itu, bukan hanya diikuti oleh anak-anak usia sekolah dasar. Para remaja bahkan, terlihat juga bapak-bapak dan ibu-ibu ikut beradu cepat mengayuh codang sehingga perlombaan itu kian semarak. Seolah mereka ingin bernostalgia dan mengenang permainan masa kecil dulu.
Bahkan, ulah para orang tua yang ikut berlomba pacu codang membuat para penonton terpingkal-pingkal. Bukan cuma codangnya yang keluar dari lintasan, tapi ulah mereka saat bertanding membuat para penonton tertawa.
"Capek mas. Ngos ngosan," ujarnya Nita (36), peserta dari ibu-ibu usai mengikuti perlombaan pacu codang.
Agar perlombaan yang digelar selama dua hari itu semakin meriah, Doni bersama teman-temannya juga menguji ketangkasan anak-anak Kampung Tarandam dengan pertandingan "maniti buluah" atau meniti bambu.
Bambu sepanjang lebih kurang tujuh meter tersebut dipasang melintang dari pinggir hingga tengah sungai, sehingga ketika jatuh peserta langsung jatuh ke air. Permainan ini juga diminati anak-anak, tidak hanya laki-laki juga tampak anak-anak perempuan mencoba menguji kemampuannya untuk menaklukan titian bambu itu.
Di ujung titian, uang sepuluh ribuan dan duapuluh ribuan yang diikatkan pada tonggak kayu melambai-lambai seolah memanggil-manggil peserta segera menggapainya. Namun, banyak yang tidak mampu mencapai ujung bambu karena licin.
Sementara warga Jorong Kampung Palak, Nagari Pasir Talang Selatan, Hendrivon (45) berharap pacu biduk, sebagai hiburan rakyat ketika Lebaran, kembali digelar.
"Terakhir pacu biduk digelar pada 2014 selama empat hari. Yang nonton waktu itu ramai karena masyarakat di sini memang haus hiburan," ujar mantan Ketua Pemuda Jorong Kampung Palak itu.
Pacu biduk juga digelar di Sungai Batang Suliti, tepatnya di belakang Pasar Baru Muaralabuh, Kecamatan Sungai Pagu.
Dalam perlombaan ini menggunakan dua biduk dengan panjang jarak tempuh sekitar 500 meter dan harus berbalik arah agar meriah. Satu biduk dikayuh oleh 20 orang. Pacu biduk digelar mulai jam 10.00 WIB sampai sore hari.
Agar lebih semarak, kala itu peserta yang telah ikut bisa mendaftar lagi. Namun kini bisa digelar secara profesional dengan satu peserta hanya bisa ikut sekali perlombaan.
"Hadiahnya juga bisa diganti kambing atau sapi yang lebih tradisional karena ini sebatas hiburan rakyat. Dulu, hadiahnya berupa tabungan dan tropi," lanjutnya.
Yang membuat unik dan semarak, peserta harus balik arah sehingga harus menjaga keseimbang. "Kalau tidak seimbang bisa terbalik biduknya," ujarnya sambil tersenyum.
Biduk untuk perlombaan merupakan biduk yang biasa digunakan warga untuk mencari pasir di sungai. Yang menjadi kendala kini, sebutnya, adalah mencari biduk. "Karena warga yang mencari pasir sudah menggunakan mesin," sebutnya.
Menurutnya pacu biduk itu bisa disinerginya untuk membangun daerah dengan menggundang para perantau yang pulang kampung agar turut membangun daerah.
"Semisal, membangun masjid. Kalau bulan ramadhan digelar lelang singgang ayam, tapi usai lebaran bisa pacu biduak sebagai sarananya. Nantinya kegiatannya bisa dikemas oleh panitia agar semenarik mungkin, apakah itu badoncek atau lainnya," ujarnya.
Kepedulian Pemerintah
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Solok Selatan , Asniati menyebutkan pihaknya akan membangun dua shelter untuk start dan finis sebagai bentuk mendukung dilestarikannya permainan tradisional tersebut.
"Ini harapan kami agar pacu codang bisa digelar setiap tahun pada Lebaran," sebutnya.
Perlombaan yang digelar kali ini merupakan yang perdana setelah sekian puluh tahun terhenti, namun masyarakat daerah itu antusias untuk turut meramaikan, baik sebagai peserta maupun penonton.
Sementara anggota DPRD Solok Selatan Betri Kelana menyebutkan, permainan ini bisa dikemas sebagai destinasi wisata yang dijadikan paket bagi wisatawan asing yang menginap di penginapan seribu rumah gadang.
Jika digelar secara rutin, sebut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pihaknya berharap bisa menjadi cikal bakal perlombaan yang lebih besar, seperti lomba perahu naga.
"Jika memang memungkinkan bisa digelar lomba perahu naga kenapa tidak. Nanti tinggal dilakukan normalisasi sungai dan pengerukan agar lebih dalam. Tempat ini cocok untuk perlombaan tersebut karena airnya jarang surut," ujarnya.
Perhatian bukan saja ditunjukan oleh pemerintah saja, melainkan para perantau, pemerhati dan penggiat pariwisata yang juga berharap agar permainan-permainan tradisional Solok Selatan tetap terjaga dan dipertahankan dari perkembangan zaman.
Dalam satu bentuk kepedulian para perantau, pemerhati pariwisata dan penggiat pariwisata dengan melakukan badoncek atau mengumpulkan bantuan berupa sumbangan uang agar perlombaan upaya pelestarian permainan tradisional, seperti pacu codang, bisa terlaksana. (*)