"Sembilan ratus ribu!" tawar seorang perempuan berusia sekitar 50 tahun dalam bahasa Minang ketika acara lelang singgang ayam di Mushala Al-Mukhlisin di Jorong (dusun) Panai, Nagari Pasir Talang, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, Minggu malam.
"Sembilan ratus ribu bapak-bapak ibu-ibu, para perantau, dan pengusaha yang sukses dari Jorong Panai. Ada yang menawar lebih lagi, ayo bapak-bapak ibu-ibu para perantau dan pengusaha yang sukses di Jorong Panai," sahut pria pemandu lelang dengan bahasa Minang.
Para warga, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, baik pria maupun wanita, yang memadati Musala Al-Mukhlisin menanti-nanti jika ada penawaran yang lebih tinggi. Namun, hingga sepuluh menit berlalu tidak ada satu pun warga yang mengajukan penawaran.
Pemandu mengulang kembali membuka penawaran. Namun, para peserta lelang mulai dari para pengusaha, perantau, hingga pemuda-pemuda yang patungan tidak kunjung ada yang mengajukan penawaran di atas Rp900 ribu.
Akhirnya, singgang terakhir pada Ramadan 1437 Hijriah terjual dengan harga Rp900 ribu. Seorang perempuan dengan mengenakan sarung kotak-kotak memasuki musala memberikan uang sebesar Rp900 ribu kepada panitia. Sebelum keluar, perempuan itu mengacung jempol. Lelang singgang pun berakhir tepat Minggu tengah malam.
Pada Ramadan kali ini, masyarakat Jorong Panai menyediakan 10 singgang ayam untuk dilelang. Singgang ayam tersebut merupakan sumbangan dari masyarakat.
Pada lelang singgang ayam kali ini, lelang harga terendah sebesar Rp350 ribu dan tertinggi Rp900 ribu.
Lelang singgang ayam adalah suatu tradisi yang masih dilaksanakan warga Solok Selatan dalam mencari sumbangan untuk pembangunan masjid atau musala. Lelang singgang ini hanya digelar pada bulan Ramadan saja.
Pada lelang singgang ayam yang biasanya bersamaan dengan acara Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat jorong atau nagari merupakan momentum bagi para perantau yang mudik untuk merayakan hari Lebaran di kampung halaman menunjukkan eksistensinya dalam membangun kampung.
Singgang ayam yang mirip ingkung di Jawa Tengah terbuat dari ayam yang dimasak utuh setelah jeroannya dibuang.
Ayam yang digunakan untuk membuat singgang adalah ayam kampung. Jika menggunakan ayam broiler atau ayam pedaging, dagingnya akan lunak dan nilai tawarnya akan rendah.
Ayam direbus menggunakan bumbu-bumbu, seperti jahe, kunyit, bawang putih, bawang merah, ketumbar, dan pala. Setelah matang, singgang tersebut kemudian ditaruh di atas nampan untuk dihias.
Bahan-bahan penghias singgang tersebut dari cabai, kacang panjang, lobak, seledri, dan tomat. Singgang itu dibentuk seperti ayam berhias. Kemudian dibungkus dengan plastik bening sehingga kelihatan menarik.
Menurut Kepala Jorong Panai Albetsyah, lelang singgang ayam ini diselenggarakan setiap tahun di Musala Al-Mukhlisin. Selain para pengusaha dan pemuda-pemuda di daerah itu, peserta lelang adalah para perantau yang mudik.
"Akan tetapi pada tahun ini sedikit perantau yang pulang. Mungkin karena kondisi ekonomi," ujarnya.
Selain merantau ke Jakarta dan Bandung Jawa Barat, warga Panai juga banyak yang merantau ke Jambi, Pekanbaru Riau, dan Batam Kepulauan Riau.
"Pada tahun kemarin, harga singgang sampai Rp700 ribu. Alhamdulillah, pada tahun ini ada yang mencapai Rp900 ribu," katanya.
Uang yang terkumpul dari hasil lelang singgang ayam tersebut untuk melanjutkan pembangunan musala yang terletak di Simpang Tiga Panai itu.
"Masih banyak rencana pembangunan musala yang belum selesai, seperti di bagian atas musala," ujarnya.
Peserta lelang singgang ayam, Deri (43), mengatakan bahwa lelang singgang ayam ini merupakan kesempatan untuk membantu pembangunan di kampung halaman, khususnya masjid dan musala.
"Saya hanya ingin membantu pembangunan masjid. Singgang ayam yang beli seharga Rp750 ribu," katanya.
Ia menggunakan nama inisial lelang dengan sebutan urang sumando kito.
Menjaga Tradisi
Ketua Bidang Adat dan Budaya Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Solok Selatan Sudirman Datuk Pagaruyung mengatakan bahwa lelang singgang ayam merupakan salah satu sarana untuk membangun kampung halaman serta pemeriah MTQ yang digelar oleh pemuda setempat.
"Jika MTQ tidak ada lelang singgang ayam, biasanya tidak meriah," ujarnya.
Sebelum digelar lelang singgang ayam, biasa diawali dengan lelang meja dengan peserta hanya untuk tokoh masyarakat, ninik mamak (pemangku adat), wali nagari, dan jorong.
"Lelang meja ini seperti badoncek atau mengumpulkan bantuan tanpa melelang singgang ayam atau lainnya," jelasnya.
Lelang meja ini yang sekarang sudah jarang dilakukan, ujarnya.
Menurut dia, lelang meja digelar bukan sekadar motivasi bagi peserta lelang secara umum, melainkan dengan kehadiran tokoh masyarakat, ninik mamak, wali nagari, dan kepala jorong, membuktikan bahwa rasa kebersamaan dalam membangun memang terjaga.
"Dengan kehadiran ninik mamak, para kemenakan yang hadir pada lelang singgang ayam tersebut termotivasi ," katanya.
Agar tradisi lelang meja tetap terjaga, kata dia, LKAAM biasa hadir saat acara lelang singgang dan menyosialisasikan tradisi tersebut agar tetap dilestarikan dan mengembalikan rasa kebersamaan tersebut.
Menurutn dia, tradisi perlu dijaga agar tidak tergerus arus jaman yang semakin instan ini. "Ini merupakan kekayaan budaya Solok Selatan, dan harus tetap dijaga," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Padang Duski Samad membolehkan pelelangan singgang ayam untuk penggalangan dana pembangunan masjid dan musala.
"Hal tersebut merupakan sebuah kearifan lokal yang terus berkembang hingga saat ini, bahkan sewaktu muda dahulu saya ikut terlibat dalam kepanitiaan pelelangan tersebut," katanya.
Ia mengatakan bahwa tidak ada persoalan yang melanggar kaidah agama dalam pelelangan singgang ayam.
"Praktik tersebut hingga saat ini masih berjalan seperti di kawasan Pauh, Kuranji dan Koto Tangah. Kami ambil positifnya. Dengan seperti itu, menumbuhkan semangat untuk beramal," ucap dia.
Menurut dia biasanya dalam acara yang dibuat khusus ada lelang singgang ayam dihadiri oleh tokoh adat tokoh masyarakat dan orang-orang penting.
"Lelang ayam ini memfasilitasi para tamu undangan untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, terutama menyumbang untuk pembangunan masjid," ucap dia.
Ia mengatakan bahwa tradisi lelang singgang ayam tersebut telah ada sejak dahulu, dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat minang itu sendiri.
"Hal itu merupakan salah satu kebiasaan adat yang menguatkan syariat agama. Hal ini salah satu bentuk adat basandi syara', syara' basandi kitabullah," ucap dia. (*)