Adanya kesempatan, permintaan dan penyalahgunaan teknologi canggih, lemahnya pengawasan dari pihak-pihak terkait, serta niat curang membuat banyak hal bisa dipalsukan, mulai dari dokumen, termasuk ijazah, uang, hingga bahan pangan.
Kasus-kasus ijazah palsu--yang memang sudah ada sejak lama--merebak kembali ketika Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menemukan sejumlah perguruan tinggi (PT) di wilayah Jabodetabek dan di Kupang melakukan praktik transaksi jual beli ijazah dan mengeluarkan ijazah palsu.
Ke-18 PT tersebut--salah satunya berlokasi di Bekasi--memberikan ijazah sarjana palsu kepada lulusannya tanpa mengikuti proses perkuliahan yang lazim oleh sebuah PT.
Menurut laporan masyarakat atas praktik ilegal itu, mahasiswa hanya mengikuti kuliah beberapa kali dan bisa memperoleh ijazah S-1 dengan membayar sejumlah uang.
"Ijazah palsu adalah ijazah yang diberikan kepada para lulusannya tanpa perlu mengikuti proses perkuliahan yang lazim," kata Nasir tanpa menyebut nama PT dimaksud karena sedang diinvestigasi oleh tim dari Kemristek Dikti. Ke-18 PT itu akan ditutup," katanya.
Sementara itu, di Kupang, ijazah S-1 para lulusan sebuah universitas tidak diakui karena ditandatangani rektor yang gelar doktornya dinilai tidak sah.
Ia mengaku memperoleh gelar doktor (S-3) dari Berkeley University di Jakarta, yang merupakan cabang dari Amerika Serikat, sementara yang di AS dikenal dengan nama University of California, Berkeley.
Setelah diteliti, universitas tersebut (Berkeley University Cabang Jakarta) ternyata tidak pernah ada di Jakarta. "Jangankan gelar doktor yang tidak sah, bila ada guru besar yang melakukan plagiasi saja, gelar guru besarnya langsung saya cabut," kata Nasir.
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) kemudian menerbitkan surat edaran untuk menanggulangi pengguna ijazah palsu yang disinyalir tidak hanya ada di kalangan masyarakat biasa, tetapi juga pejabat pemerintahan.
Edaran ini ditujukan kepada para menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para kepala LPNK, para pimpinan kesekretariatan lembaga negara, para pimpinan kesekretariatan lembaga nonstruktural, para gubernur, bupati, dan wali kota.
Menpan RB Yuddy Chrisnandi dalam surat edaran itu menegaskan bahwa mereka yang terbukti menggunakan ijazah palsu diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Ia menginstruksikan kepala daerah dan pimpinan setiap instansi agar inspektorat masing-masing melakukan pemeriksaan kembali keabsahan ijazah para aparatur sipil negara (ASN).
Menyinggung kemungkinan adanya sanksi pidana bagi pengguna ijazah palsu, Yuddy mengatakan bahwa hukuman tersebut ditujukan bagi pihak yang menerbitkan dokumen tersebut, sedangkan bagi PNS, dikenai sanksi administratif dan jabatan.
Menyikapi maraknya ijazah palsu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memerintahkan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk mememeriksa kemungkinan para staf maupun PNS di lingkungan Pemprov Jateng menggunakan ijazah palsu.
Menurut Ganjar, PNS yang mengggunakan ijazah palsu akan berhadapan dengan hukum karena telah melakukan tindak pidana pemalsuan. Belajar dari kasus ijazah palsu itu, ke depan akan lebih selektif lagi dalam peneriman calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Sementara itu, Polda Metro Jaya akan menelusuri kampus yang terlibat dalam kasus penerbitan ijazah palsu. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol. Krishna Murti mengungkapkan dari penyelidikan polisi, menemukan adanya kampus yang mengeluarkan ijazah untuk mahasiswanya, padahal mereka tidak pernah mengikuti perkuliahan. Modusnya adalah jual beli ijazah.
Uang Palsu
Barang lain yang dipalsukan adalah uang. Bareskrim Polri menangkap empat tersangka sindikat peredaran uang palsu. Dari mereka, polisi mengamankan barang bukti uang palsu senilai Rp16 triliun. Peredaran uang palsu itu direncanakan di wilayah Bogor, Jawa Barat dan Tangerang Selatan, Banten.
"Uang palsu ini berhasil diungkap dari Jawa Barat. Mata uang yang dipalsukan dari berbagai negara dan dicetak dengan peralatan yang ada di sini," kata Kabag Penum Mabes Polri Kombes Pol. Rikwanto di Jakarta.
Modus yang dilakukan para tersangka adalah membuat, menawarkan, dan menjual atau mempunyai uang yang diduga palsu. Akibat perbuatannya, mereka dijerat Pasal 244 dan 245 KUHP juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara.
Di Situbondo, Haerani (59), warga Desa Talkandang, Situbondo, Jawa Timur ternyata tidak pernah jera menjadi pengedar uang palsu. Pada tahun 2004, nenek ini pernah meringkuk di balik jeruji besi karena kasus serupa. Kini, dia berurusan kembali dengan polisi karena membeli uang palsu sebanyak Rp4,25 juta seharga Rp1,5 juta.
Dari wanita tua itu, polisi menyita uang palsu pecahan Rp100 ribu dan pecahan Rp50 ribu.
Membeli dan mengedarkan uang palsu adalah perbuatan melawan hukum.
Di Jember, anggota Bareskrim Polri dan utusan dari Bank Indonesia pernah mengusut kasus uang palsu senilai Rp12,2 miliar yang dilakukan oleh jaringan nasional karena dari empat tersangka ada yang berasal dari Musi, Sumatera Selatan.
"Kualitas uang palsu yang disita, cukup tinggi. Satu lembar uang asli dapat ditukar dengan dua lembar uang palsu. Di rumah tersangka Agus Sugiyoto warga Dusun Ploso Gerang, Kecamatan Jombang, polisi menyita mesin (pemotong) dan sedikit bahan baku kertas di atas mesin," kata Kepala Unit Satu Pidana Umum Satreskrim Kepolisian Jember, Ainur Rofik.
Di Hulu Sungai Tengah, pasangan suami istri pengedar uang palsu bernilai miliaran rupiah diringkus polisi. Dalam penangkapan di sebuah hotel itu, polisi mengamankan uang palsu pecahan Rp100 ribu hampir sejumlah Rp1 miliar.
Tersangka mengaku belum sempat mengedarkan uang palsu hasil karyanya. Modus peredaran yang dilakukan tersangka adalah menjual uang palsu kepada korbannya. Tersangka menawarkan bisa menggandakan uang dengan perbandingan tiga lembar uang palsu dijual dengan satu lembar uang asli.
Bank Indonesia Malang, Jawa Timur, menyebut peredaran uang palsu ditemukan setiap bulan dan institusi pencetak uang itu menerima sekitar 250 lembar uang palsu pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu.
Kepala Kantor Perwakilan BI Malang Dudi Herawadi mengatakan bahwa temuan itu berasal dari penyetoran berbagai bank di sekitar Malang Raya, Pasuruan, dan Probolinggo.
"Bank-bank itu minta klarifikasi uang palsu sebab hanya BI yang bisa menetapkan apakah uang tersebut palsu atau tidak. Uang palsu yang masuk ke BI segera dimusnahkan. "Uang palsu nilainya nol, tetapi itu merugikan masyarakat yang menerimanya," katanya.
Uang palsu ditemukan dalam pecahan Rp100 ribu disusul pecahan Rp50 ribu. Bank Indonesia nyaris tidak pernah menerima uang palsu dengan pecahan Rp20 ribu ke bawah. "Sangat sedikit ada pecahan kecil. Uang palsu menyasar pecahan besar saja," katanya.
Ia mengimbau masyarakat untuk waspada dan memeriksa uang dengan teliti.
Menurut dia, uang palsu mudah dibedakan jika pemegang uang teliti. "Bahan kertas sudah berbeda, apalagi tulisan mikro BI itu pasti tidak bisa dipalsu, jadi masyarakat harus meraba, menerawang, dan melihat uang itu jika merasa curiga," katanya.
Pejabat bank itu menyarankan masyarakat yang bertransaksi dalam jumlah besar sebaiknya melakukan pembayaran dengan menggunakan jasa bank, seperti jasa transfer.
Beras Palsu
Bahkan, beras--bahan pangan pokok--juga dipalsukan. Berawal dari laporan seorang wanita bernama Dewi Septiani, warga Bekasi, penjual nasi uduk/bubur yang curiga karena beras yang dimasaknya beda dari biasanya. Diduga beras itu berbahan plastik.
Temuan yang sempat menghebohkan masyarakat itu ditindaklanjuti kepolisian sehingga si penjual nasi uduk bolak-balik menjalani pemeriksaan. Akan tetapi, kemudian Bareskrim Polri menghentikan penyelidikan karena beras yang diduga mengandung bahan plastik tidak terbukti dari uji laboratorium forensik.
Polisi juga menyatakan tidak ada dugaan sabotase pada isu beras yang ditemukan oleh warga Bekasi itu. "Enggaklah (dugaan sabotase)," kata Kabareskrim Komjen Pol. Budi Waseso di Mabes Polri. "Masyarakat berhak curiga jika menemukan keganjilan pada barang yang dibeli," katanya.
Pernyataan Wapres Jusuf Kalla agar kepolisian memeriksa pelapor beras plastik, Dewi Septiana, karena informasinya dianggap meresahkan masyarakat, mengundang reaksi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Menurut lembaga ini, pemerintah telah mengorbankan Dewi Septiana sebagai korban pengalihan isu.
Anggota Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mendesak kepolisian dan pemerintah untuk mengusut tuntas siapa dalang atau pemain besar peredaran beras plastik di Bekasi. Kepolisian, kata dia, bisa mengusut rantai distribusi beras-beras ilegal ini. "Dewi dikorbankan pemain-pemain besar beras," ujarnya.
Dewi sendiri pasrah dan menyerahkan semuanya kepada pihak kepolisian saat tahu bisa dipidanakan karena menyebarkan informasi mengenai beras plastik tersebut. Perempuan beranak tiga ini menyerahkan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang mendampingnya.
Hal yang kini masih mengganjal di hati Dewi adalah tudingan bahwa ada orang di belakangnya yang menyuruh menyebarkan isu peredaran beras plastik. "Demi Allah, tidak ada niat dalam hati kecil saya untuk menjatuhkan seseorang. Saya hanya seorang konsumen dan ibu rumah tangga yang tidak punya kepentingan apa pun," ucapnya.
Namun, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Anton Charliyan memastikan polisi tidak akan memperkarakan Dewi karena yang bersangkutan tidak bersalah.
"Dia bukan penebar isu. Dia enggak dipidana. Dewi justru bertindak benar ketika menemukan sesuatu yang tidak biasa pada beras yang dibelinya," katanya.
Aksi kritis seperti itu harus diapresiasi. Siapa tahu saja benar. (*)