Perempuan di Legislatif Dari Representasi Menuju Keterwakilan Kompetitif

id Perempuan di Legislatif Dari Representasi Menuju Keterwakilan Kompetitif

Jangan pilih caleg perempuan, kalau mereka terpilih dan rumah tangganya terganggu, pemilih akan kecipratan dosanya, lihat saja sejumlah anggota legislatif perempuan akhirnya bercerai, tulis seorang sahabat saya pada halaman jejaring sosialnya.

Setidaknya, ini adalah sebagian kecil potret masyarakat memandang calon legislatif dari kalangan perempuan. Pandangan miring terhadap caleg perempuan seakan jamak kita temukan dimasyarakat. Kaidah umum yang berlaku, dunia politik adalah ranah laki-laki, dan perempuan dewasa secara mainstream adalah pemeran wilayah domestik rumah tangga.

Oleh sebab itu ketika ada seorang perempuan yang ingin masuk dunia politik, perjuangan yang mereka hadapi dua kali lebih berat dibandingkan kaum laki-laki. Pertama, ia harus bisa meyakinkan diri sendiri, keluarga dan masyaraka bahwa tindakan yang diambilnya benar. Ketika perempuan menyadari punya hak untuk terlibat di parlemen, itu adalah hal luar biasa karena hanya sedikit orang yang dapat melakukannya. Struktur sosial masyarakat kita masih menganggap tabu keberadaaan perempuan diranah yang abu-abu itu. Bahkan tak sedikit pihak yang menentang keputusan seorang perempuan yang terjun ke dunia politik.

Ketika perempuan menyadari ia juga punya hak berpartisipasi di legislatif, itu adalah perempuan tangguh yang berhasil mengalahkan dan menaklukan ego dalam dirinya. Laki-laki tak akan pernah tahu bagaimana para perempuan harus membagi peran diruang publik dan menjalankan fungsi domestiknya di rumah tangga. Meninggalkan anak, suami dan rumah demi aktivitas parlemen adalah sesuatu yang tidak mudah disaat wanita lain berada dirumah. Oleh sebab itu mereka layak mendapat apresiasi lebih dibandingkan politisi pria.

Jika perempuan telah berhasil menaklukan diri sendiri, keluarga dan masyarakat maka ia masuk pada episode kedua didunia politik. Bersaing secara terbuka di rimba persilatan politik yang menganut hukum pasar bebas bukan hal mudah. Para laki-laki saja harus berdarah-darah untuk bisa mendapatkan tiket ke parlemen. Hanya perempuan bermental baja yang siap dan bisa menang memasuki arena terbuka itu. Siapa kuat dia dapat, tidak siap mental akan terpental itu hukum yang berlaku dan tentu saja tidak akan mengenai jenis kelamin.

Ini terbukti dari data yang ada dari 560 anggota DPR periode 2009-2014 ternyata hanya 101 orang perempuan atau 18 persen. Angka ini lebih baik pada DPD RI dimana dari 132 anggota DPD , 42 orang diantaranya adalah perempuan atau sekitar 31 persen. Kemudian, di DPRD Sumatera Barat dari 55 anggota legislatif ada tujuh orang perempuan atau 13 persen. Berikutnya lebih memprihatinkan di DPRD Padang, dari 45 anggota dewan, hanya tiga orang kaum bundo kanduang atau sekitar tujuh persen.

Gambaran data diatas makin mempertegas realitas bahwa dunia parlemen didominasi oleh pria. Kendati secara aturan menjelang pencalonan ditetapkan syarat pengajuan caleg, partai wajib memasukan 30 persen perempuan. Tapi jangan harap ketika pemilihan laki-laki akan lebih memilih caleg perempuan. Para ibu-ibu dan wanita saja belum tentu memilih kaumnya sendiri apalagi berharap pada laki-laki.

Namun yang lebih penting dari semua itu adalah pertanyaan penting yang akan selalu terngiang dan menjadi bahan diskusi mengapa perempuan harus diberi ruang dalam dunia politik ? Kenapa harus ada regulasi khusus agar mereka mendapat tempat dilegislatif ? Bukankah sudah cukup diwakilkan saja kepada kaum laki-laki ? .

Secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda merupakan fakta yang tak terbantahkan. Namun dimasyarakat perbedaan biologis tadi menurun secara sosiologis sehingga akan sering kita temukan satu contoh sederhana kalau profesi perawat biasanya milik perempuan dan profesi pilot identik dengan laki-laki. Ini dapat terjadi karena struktur sosial budaya yang ada sedari awal telah mempolarisasi laki-laki dan perempuan sedemikan rupa. Lihat saja, anak laki-laki akan diberi mainan mobil-mobilan dan anak perempuan akan dibelikan boneka. Kondisi tersebut semakin menguat dengan budaya patriaki yang ada di masyarakat yang menjunjung tinggi peran laki-laki ketimbang wanita.

Akibatnya, kendati secara kapasitas intelektual perempuan memiliki kemampuan yang sama bahkan lebih dibandingkan laki-laki, pada akhirnya potensi yang dimiliki layu sebelum berkembang. Lihat saja dari contoh terkecil saat wisuda di perguruan tinggi lulusan terbaik masing-masing fakultas hampir selalu didominasi oleh perempuan. Namun, setelah memasuki dunia kerja hampir sebagian struktur dunia kerja mulai level manajer hingga pimpinan mayoritas dijabat pria. Pertanyaanya kemana para perempuan lulusan terbaik itu ?.

Memang secara komposisi saat ini jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh laki-laki. Mengacu kepada sensus penduduk Indonesia tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik tercatat saat ini jumlah masyarakat Indonesia mencapai 237.641.326 jiwa terdiri atas laki-laki 119.630913 jiwa dan perempuan 118.010.413 jiwa. Angka ini menjungkirbalikan wacana yang berkembang di masyarakat, bahwa jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sangat jelas terdata, jumlah laki-laki lebih banyak 100 ribu orang dibandingkan perempuan.

Namun, dari segi prestasi dan kemampuan perempuan tidak kalah. Mereka mampu bersaing. Tetapi ruang untuk mengembangkan potensi yang dimiliki terbatas menyebabkan peluang mereka untuk berkontribusi minim.

Ketika ruang publik terutama parlemen didominasi oleh pria akan melahirkan produk legislatif yang bias gender. Mengapa demikian ? Cara pandang laki-laki dalam melihat suatu persoalan berbeda dengan perempuan. Laki-laki yang hidup dalam sistem budaya yang patriarkis cenderung akan menempatkan posisi perempuan diranah domestik.

Contoh sederhana, di legislatif dikenal istilah one man one vote. Artinya satu orang satu suara saat melakukan pemungutan suara saat mengambil suatu keputusan. Namun, adakah yang menyadari istilah tersebut menunjukan parlemen bias gender. Mengapa harus menggunakan kata-kata man. Bukankah juga ada wakil rakyat perempuan. Tentu lebih adil jika digunakan one person one vote. Itu baru satu contoh paling sederhana yang menjelaskan laki-laki dan perempuan berbeda sudut pandang dalam melihat persoalan. Dapat dibayangkan jika isi parleman laki-laki semua, sedangkan sudah ada perempuan saja masih bias gender untuk hal kecil seperti itu, apalagi jika tak ada sama sekali.

Kemudian, apa yang akan dipikirkan oleh legislator laki-laki saat membahas upaya menurunkan angka kematian ibu melahirkan, memberi dispensi bagi wanita menyusui, pendidikan reproduksi bagi remaja perempuan hingga pemberantasan prostitusi. Tentu perempuan harus berperan serta dalam membahas dan mencari solusinya agar menjadi lebih tajam. Dari sejumlah persoalan terdekat yang ada pada perempuan itu saja, rasanya tidak cukup aspirasi perempuan dibahas dan diwakilkan kepada laki-lak karena amat berpotensi bias gender.

Berikutnya perdebatan yang selalu muncul adalah ketika diputuskan partai harus mengisi kuota perempuan minimal 30 persen . Pihak yang kontra akan mempertanyakan kalau kualitas mereka tidak memadai bagaimana ? Buat apa mereka hadir di parlemen jika hanya jadi pelengkap penggembira. Logika ini lagi-lagi perlu kita luruskan bersama-sama ditengah derasnya budaya patriaki.

Justru karena kualitas dan kapabilitas kaum perempuan belum sebaik pria untuk dapat bersaing diparlemen, mereka harus diberi perlakuan khusus. Namun perlu dipahami ini terjadi bukan akibat perempuan tidak mampu, tetapi sistem yang ada membatasi mereka untuk dapat berkembang seleluasa pria.

Kalau struktur sosial masyarakat kita telah memberi ruang dan posisi yang adil bagi perempuan dan laki-laki tak perlu ada lagi pemberlakukan kuota. Biarkan saja mereka bersaing secara fair karena masyarakat yang akan menentukan. Namun, untuk saat ini karena belum memungkinkan, perempuan perlu diberi ruang melalui kebijakan khusus agar mereka dapat hadir diparlemen mewakili kaumnya. Setidaknya untuk tahap awal kehadiran kaum bundo kanduang di parlemen adalah langkah maju kendati baru sebatas representasi semata..

Jika kita tilik lebih jauh, sejak keluarnya Undang-Undang nomor 12 tahun 2003 yang berisi keharusan memasukan kuota 30 persen caleg perempuan bagi partai dapat disimpulkan pengurus partai politik belum sepenuhnya ikhlas menjalankanya. Ini terbukti dari hanya sedikit partai yang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut satu. Artinya , mereka baru sebatas memenuhi syarat semata dan belum bersungguh-sungguh mengorbitkan dan mengkader politisi perempuan. Jika ada yang mengatakan saat ini sudah berlaku suara terbanyak, justru itu mengapa perempuan tak diletakan di nomor urut pertama saja ?

Tentu saja akan beragam jawaban muncul jika pengurus partai ditanyai keseriusannya Partai harus dikelola bersama-sama dan dalam menetapkan calon legislatif perlu pertimbangan dari segala sisi tidak hanya sudut pandang perempuan saja. Namun setidaknya, memasuki pemilu ketiga sejak era reformasi pada 1998, kebijakan kuota 30 persen harus mulai bergerak dan bergeser dari sebatas representasi menuju politisi-politisi perempuan yang handal dan tangguh.

Rasanya era representasi sudah harus mulai ditinggalkan dan bergerak menuju kualitas . Untuk mewujudkan itu setidaknya terdapat minimal tiga cara. Pertama, perempuan sudah harus berjuang lebih keras tidak lagi untuk memenuhi kuota namun lebih jauh dari itu untuk memenuhi keterwakilan secara kualitatif bukan kuantitatif semata. Ini dilakukan dengan meningkatkan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki.

Kedua, tentu saja untuk mewujudkan semua itu dimulai dari pendidikan politik dengan perspektif gender sejak dini. Partai politik sudah harus mulai meninggalkan paradigma lama dan menjadikan institusinya sebagai sarana kaderisasi dan kawah candradimuka pembentuk politisi perempuan yang tangguh dan handal.

Ketiga ini semua harus didukung oleh kualitas pemilu dan kehidupan demokrasi yang baik sehingga bila tiba waktunya ada kuota atau tidak laki dan perempuan berkompetisi secara ksatria menuju ke gedung dewan. Jika perempuan tidak memenuhi syarat tidak perlu ada perlakukan khusus. Sebaliknya jika pria dikalahkan oleh wanita harus lapang dada.