Memasuki Juli 2013 Sumatera Barat mengalami krisis listrik mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir serentak. Akibatnya, tidak hanya menganggu aktivitas sehari-hari, pemadaman tersebut juga menyebabkan kerugian terutama bagi pelaku usaha.
Datuak (47) tukang pangkas rambut di Kawasan Tarandam Padang tidak dapat berbuat banyak. Profesinya sebagai tukang cukur rambut membuat ia tergantung kepada listrik.
Untuk memotong rambut datuak menggunakan mesin, selain itu ruangan tempat pangkas harus terang. Namun sejak terjadinya pemadaman bergilir ia hanya bisa pasrah.
Listrik dalam sehari padam empat sampai lima jam,akibatnya saya tidak bisa melayani pelanggan, mau pakai gunting lama, kata dia.
Mau pakai genset, harganya mahal, selain itu harus keluar uang beli bahan bakar minyak, tentu tidak sebanding dengan pendapatan, katanya.
Akibatnya, dalam waktu lima jam setidaknya ia harus rela kehilangan 15 pelanggan, otomatis pendapatan berkurang.
Dampak pemadaman bergilir juga dirasakan Ridwan (30) pelaku usaha foto copy. Praktis selama listrik padam ia tidak bisa apa-apa.
Orderan pelanggan menjadi terlambat, apalagi dalam satu hari kadang listrik padam sampai dua kali, kata dia.
Sementara, Manager Operasional Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) Sumatera PT PLN (Persero) Wilayah Sumbar, Hariyadi mengatakan pihaknya kewalahan untuk mencukupi kebutuhan listrik pelanggan di provinsi tersebut, karena adanya gangguan operasional di sejumlah pembangkit.
Hal itu disebabkan oleh kondisi tiga pembangkit listrik yang ada, yaitu PLTA Maninjau, Singkarak, dan Koto Panjang tidak dapat beroperasi penuh karena sumber air masih dalam kondisi kritis (elevasi debit air rendah) untuk menggerakkan turbin sehingga pemadaman bergilir tidak dapat dielakkan .
Manager Umum Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) Sumatera PT PLN (Persero) Wilayah Sumbar, Syahrul mengatakan hingga Oktober PLN mengalami defisit daya sekitar 199 Mega Watt, terutama saat beban puncak pemakaian pukul 18.00-04.00 WIB..
Berdasarkan data pihak PB3 Sumatera, defisit listrik waktu beban puncak terjadi di wilayah Sumatera bagian tengah, meliputi Provinsi Sumbar, Riau, dan Jambi.
Ia merinci , Sumbar menanggung beban 100,4 Mega Watt (MW), Riau 63,5 MW dan Jambi 36,1 MW. Sedang di luar waktu beban puncak defisit sekitar 80 MW, mengakibatkan pengurangan arus energi listrik di Sumbar mencapai 40,2 MW, Riau 25,4 MW dan Jambi 14,5 MW.
Datuak dan Ridwan hanya sekelumit kisah bagaimana mereka tergantung dengan listrik dalam mencari nafkah sehari-hari. Bagi mereka pemadaman listrik adalah mimpi buruk karena itu akan menyebabkan pendapatan berkurang.
Jangan tanya kepada mereka mengapa kendati di Sumatera Barat cuaca merata dan ada pembangkit listrik, tetapi masih terjadi pemadaman, itu adalah hal gelap baginya.
Memang, dibangku sekolah kita diajarkan sumber energi pembangkit tenaga listrik ada beberapa macam mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA, Pembangkit Listrik Tenaga Generator dan Uap hingga Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
Namun, itu adalah pengetahuan yang diterima oleh pelajar Sekolah Dasar di era 1990. Harus dipahami semua sumber energi pembangkit listrik tersebut merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dalam artian ketika habis maka sulit dicari penggantinya.
Oleh sebab itu sudah saatnya kita mulai memikirkan sumber energi alternatif yang dapat dipakai menghasilkan listrik. Mengacu kepada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral saat ini 88 persen sumber energi listrik berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, batubara 42 persen, Bahan Bakar Minyak 23 persen dan gas alam 21 persen.
Di negara maju, penggunaan energi terbarukan telah lama dikembangkan mulai dari angin, air, ombak laut, panas bumi hingga matahari. Sementara harus diakui pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih jauh tertinggal. Jika hal ini tidak diantisipasi akan menjadi masalah serius karena permintaan energi melebihi pertumbuhan pasokan energi.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengatakan salah satu solusi mencukupi kebutuhan energi listrik di daerah ini adalah dengan mengoptimalkan energi terbarukan. Apalagi Sumbar memiliki potensi energi terbarukan seperti panas bumi, air, matahari, angin, biogas dan gelombang laut.
Ia menyebutkan, berdasarkan penelitian terdapat 16 titik panas bumi pada tujuh kabupaten dan kota yang ada didaerah ini dengan total potensi energi listrik yang dapat dihasilkan mencapai 1.656 Megawaat.
Menurut Irwan, jika seluruh potensi tersebut dikelola dengan baik maka dipastikan kebutuhan listrik di Sumbar akan terpenuhi bahkan mampu memasok kedaerah tetangga.
Tidak hanya itu, menyikapi potensi energi terbarukan Pemprov Sumbar telah bekerja sama dengan pemerintah Negara Bagian Bavaria Jerman dalam pelatihan bidang energi terbarukan..
Dalam hal ini sejumlah sumber daya manusia Sumatera Barat dilatih untuk memahami pengelolaan energi terbarukan di Jerman. Peserta diberikan materi tentang energi baru dan terbarukan meliputi solar cell (tenaga surya), biomasa, wind energy (tenaga angin), hydro power (tenaga air) dan geothermal (panas bumi).
Selain itu, peserta juga melakukan kunjungan langsung ke lokasi pembangkit untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang pengembangan energi terbarukan di Negara Bagian Bavaria Jerman.
Saat ini di Kabupaten Solok Selatan , salah satu titik panas bumi telah mulai diekplorasi oleh oleh PT Supreme Energy Muaralabuh yang bekerjasama dengan perusahaan dari Jepang Sumitomo dan Perancis GDF Zues.
Dalam eksplorasi yang dilakukan oleh PT Supreme Energy Muaralabuh sumur ML A1 sudah menunjukkan hasil yang positif dengan potensi listrik sekitar 20-25 megawatt.
Sedangkan untuk sumur eksplorasi PT Supreme Energy Muaralabuh melakukan pengeboran di enam titik sebagai pertimbangan untuk menuju sumur produksi.
Setelah data dari sumur eksplorasi di dapat, maka akan berlanjut pada sumur produksi dengan target listrik yang bisa dihasilkan 2x110 megawatt.
Peran Pertamina
Harus diakui dalam mengelola energi terbarukan tersebut seperti panas bumi membutuhkan investasi yang besar untuk tahap awal. Pada 2006 PT Pertamina mendirikan anak perusahaan yaitu Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang diamanatkan mengelola serta mengembangkan energi panas bumi di Tanah Air.
Saat ini PT Pertamina memiliki hak pengelolaan atas 15 Wilayah Kerja Pengusahaan (WKP) geothermal dengan total potensi 8.480 MW setara dengan 4.392 MMBOE. Dari 15 WKP tersebut, 10 WKP dikelola sendiri oleh PT PGE,yaitu Kamojang: 200 MW, Lahendong 60 MW, Sibayak:12 MW, Ulubelu, Lumutbalai, Hululais, Kotamubagu, Sungai Penuh, Iyang Argopuro dan Karahabodas. Tiga area diantaranya telah berproduksi dengan total kapasitas 272 MW setara dengan 12.900 BOEPD. Sisanya dikelola bersama mitra berproduksi dengan total 922 MW.
Kedepan, kebutuhan energi di Indonesia jelas akan terus bertambah, seiring dengan pesatnya kemajuan dan pertumbuhan bidang ekonomi. Penggunaan bahan bakar minyak dan gas jelas tidak ekonomis. Sedangkan , pemakaian batu bara dipandang tidak ramah lingkungan.
Oleh sebab itu, saatnya Pertamina mulai melirik potensi panas bumi yang ada di Sumatera Barat dengan ikut andil berinvestasi. Kehadiran Pertamina akan menjadi salah satu solusi pemenuhan ketersedian energi listrik.
Tidak hanya itu, ternyata biaya operasional yang dikeluarkan melalui sumber panas bumi jauh lebih kecil ketimbang menggunakan sumber energi fosil. Selain itu keberadaan energi panas bumi lebih terjamin dan berkesinambungan dalam jangka waktu lama.
Untuk menjawab tantangan pengelolaan panas bumi berupa adalah ketersediaan sumber daya manusia yang handal Pertamina dapat bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dengan menyiapkan program studi ekplorasi panas bumi . Dalam hal ini pertamina dapat mempelopori atau bekerja sama mendorong berdirinya sekolah khusus untuk mencetak tenaga yang handal dan menjadi pusat pembelajaran pengelolaan energi panas bumi di seluruh dunia.
Sudah saatnya kita beralih ke energi terbarukan yang jauh lebih ramah lingkungan dan efisien. Jika tidak maka jelas krisis energi akan menggantui negeri ini puluhan tahun kedepan dan jelas hal itu adalah sebuah ironi bagi Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam. (*)
Penulis adalah penerima Bakrie Graduate Fellowship 2013