Kabut masih menyelimuti Bukit Karamunting, perlahan turun ke lurah pinggang bukit di desa, kemudian lenyap seiring matahari pagi.
Saat itulah, ketika kabut lenyap dan matahari memanjat bukit, Hanafi (11) dan temannya Nanang (11), berangkat dari rumah menyusuri jalan setapak di Dusun Pintu Gabang, Desa Batu Busuk, Kelurahan Lambung Bukit, Kecamatan Pauh, sekitar 10 kilometer arah timur Kota Padang, Sumatera Barat.
Deras aliran sungai Batang Kuranji mengiringi derap langkah sepatu mereka menuju sekolah di SD Bustanul Ulum, kawasan PLTA Kuranji, hari pertama duduk di kelas enam.
Sampai di batas dusun, jalan setapak berbahan beton dilalui Hanafi dan Nanang terputus, berikutnya hanya sisa jembatan yang rusak dengan kawat-kawat baja masih terbentang ke seberang.
Tanpa pikir panjang, Hanafi meraih kawat baja paling kanan berada di atas kepalanya, kemudian melangkahkan kakinya pada kawat baja yang berada di bawah, disusul Nanang.
Mereka berdua perlahan meniti kawat baja tersebut tanpa terlihat rasa gamang di wajahnya, sementara bunyi derik keluar dari kawat baja yang bergeser dengan katrol, sisa kayu jembatan di tengah-tengah pun berayun.
"Saya sejak kelas empat SD sudah lewat jembatan rusak ini, jadi sudah terbiasa," kata Hanafi sambil membetulkan letak topi merahnya. Hanafi dan Nanang bak pesirkus saat meniti kawat baja yang juga dilakukan sedikitnya 20-an anak-anak sekolah mulai SD hingga SMA yang tinggal di dusunnya itu.
Sepulang sekolah, Nanang dan Hanafi menyempatkan bermain di sungai Batang Kuranji, dekat Lubuk Perahu yang konon pernah menjadi tempat mandi Mande Rubiah, salah satu tokoh legenda Minangkabau.
Lubuk Perahu cukup dalam airnya namun sangat jernih sehingga ikan gariang (Tor tambroides) mayoritas penghuni lubuk jelas terlihat berenang-renang di kedalaman.
Air dari Lubuk Perahu mengalir deras di bawah jembatan titian kawat baja, sehingga warga dan anak-anak sekolah lainnya mengalami kesulitan saat menyeberang.
"Anak-anak sekolah terkadang tidak mau membuka sepatu takut basah hingga pakaian mereka, sehingga mereka nekat saja lewat jembatan rusak itu," kata Yusniarti, warga Dusun Pintu Gabang.
Menurut Yusniarti, anak-anak perempuan tidak berani lewat jembatan, maka mereka hanya dapat menyeberangi sungai ditemani orangtua.
Tapi kalau hari hujan dan sungai besar airnya, kata Yusniarti, anak-anak sampai tidak masuk sekolah kalau orangtua mereka tidak sanggup menemani meniti kawat baja itu.
Kendati demikian, orangtua yang gigih ingin anak mereka pergi ke sekolah, nekat menggendong anaknya sambil meniti jembatan.
"Ada ibu-ibu yang gendong anaknya di punggung, sambil meniti kawat itu, saya merinding melihatnya," katanya.
Menurut Yusniarti, jembatan rusak itu hampir saja makan korban, saat seorang anak perempuan tahun lalu terjatuh ketika meniti kawat.
Beruntung, anak tersebut hanya mengalami luka-luka, akibat terjerembab di tebing sungai kala seperempat perjalanan meniti kawat lalu terjatuh.
Karena itu, warga setempat berusaha melarang anak-anak sekolah terutama siswa Sekolah Dasar untuk tidak melewati jembatan saat tidak hujan.
Ketua Rukun Warga (RW) III, Marial Tanjung, yang wilayah RW-nya meliputi dusun Pintu Gabang membenarkan hal tersebut, bahwa warga harus melarang anak-anak meniti jembatan.
Saat hujan, kata Marial, bila tidak terlalu penting tidak perlu pergi ke sekolah karena meniti jembatan sangat berisiko, apalagi air sungai deras kala hujan turun.
Marial mengaku, jembatan yang dibangun sejak tahun 1996 tersebut sudah dua tahun terbengkalai akibat lapuk dimakan usia meskipun sudah dicoba direhab dua kali.
Karena persoalan pemilik tanah tidak mau jembatan dibangun kembali, katanya, terpaksa menunggu lokasi lain untuk membangun jembatan penghubung.
Hingga kini, menurutnya ada janji dari pihak BUMN untuk membangun jembatan tidak jauh dari jembatan rusak, namun baru fondasi di sisi sungai saja yang dibangun.
"Janjinya habis lebaran akan dibangun lagi," kata Marial.
Sedikitnya ada sekitar 20 Kepala Keluarga yang tinggal di seberang atau Dusun Pintu Gabang, meliputi 20-an anak-anak sekolah berbagai tingkatan.
Untuk jalan alternatif lain, bisa berputar lebih jauh dengan melewati jalan setapak hanya untuk pejalan kaki hingga ke kampus Universitas Andalas (Unand) Limaumanis di Bukit Karamuntiang, namun tidak efisien bagi warga yang hanya ingin ke kampung seberang.
Warga yang memiliki motor, terpaksa setiap hari menitipkan motor di rumah warga dekat jembatan, kemudian menyeberang melintasi sungai atau meniti kawat baja untuk pulang ke rumah.
Tokoh masyarakat Batu Busuk, Anwar Z (62) menyatakan, sejak jembatan itu rusak warga mengalami kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk memasok hasil bumi ke luar kampung.
"Ekonomi masyarakat di Pintu Gabang mayoritas mengandalkan pertanian, biasanya saat ada jembatan lebih mudah akses, namun sekarang kesulitan," katanya.
Di Dusun Pintu Gabang, kata Anwar, sebagian warga memiliki rumah permanen atau berbahan tembok, yang dulunya bahan-bahan bangunan dipasok melalui jembatan itu.
Kini meskipun ada rumah permanen di seberang, namun Pintu Gabang jadi terisolir akibat akses satu-satunya rusak. Maka warga sangat berharap jembatan dibangun kembali sesegera mungkin, apalagi memasuki bulan Ramadhan.
Warga berharap jalan kembali dihubungkan, serupa menghubungkan silaturahim dengan keluarga mereka di seberang, dan meluruskan jalan anak-anak mereka yang bersekolah untuk masa mendatang.
Seperti dirasakan Hanafi dan Nanang, walau mereka mengaku tidak gamang, tapi siapa yang tega melihat anak-anak bangsa sedemikian sulit jalannya menuju sekolah.
Nanang dan Hanafi memasang sepatunya kembali, bukan karena akan menyeberang, tapi karena mereka habis bermain sebentar di sungai menjelang pulang.
Nanang yang meraih rangking 5 di kelasnya itu, setelah meninggalkan sungai belum bisa tenang, karena keesokan harinya ia bersama Hanafi dan teman-teman lainnya akan kembali meniti kawat baja untuk pergi ke sekolah.
Bila saja hujan, aliran deras air sungai yang cokelat dan berairnya kawat baja dapat tiba-tiba saja membuat mereka gamang. (*)