Peninggalan Imam Bonjol yang Mulai "Terkubur"

id Peninggalan Imam Bonjol yang Mulai "Terkubur"

Peninggalan Imam Bonjol yang Mulai "Terkubur"

Salah seorang ahli waris pemegang benda peninggalan sejarah Tuanku Imam Bonjol, Ali Usman Datuak Buruak di kediamannya, Jorong Kampuang Caniago, Nagari Ganggo Hilia, Kecamatan Bonjol.

Kabupaten Pasaman, suatu daerah yang terletak di Provinsi Sumatera Barat, memiliki banyak peninggalan bukti sejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hingga hari ini, sejumlah saksi bisu dalam perjuangan tersebut masih ada.

Jika anda sejenak memutar memori untuk melihat sosok yang masih disebut-sebut namanya karena kegigihan beliau dalam menegakkan Agama Islam dan memperjuangan kemerdekaan tanah air Indonesia. Nama itu tidak akan pernah terlupakan karena memang "harum".

Siapa yang tidak kenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol? Bagi mereka yang tidak pernah mengecap bangku sekolah sekalipun juga tahu.

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat 1772. Beliau wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Beliau bernama asli Muhammad Shahab atau Petto Syarif. Adalah dia salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda yang dikenal dengan Perang Padri di tahun 1803-1837.

Karena kegigihan dalam perjuangan itu, hingga pada akhirnya berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Jika ingin mengetahui dia lebih dalam, banyak buku yang bisa anda dapatkan di toko-toko atau di internet. Bahkan, anda juga akan lebih kaya dengan membaca banyak referensi tentang dia dengan berbagai versi.

Sampai hari ini, di tanah saksi perjuangan beliau, Bonjol, muncul perdebatan antara masyarakat tentang silsilah (keturunan) Imam Bonjol. Beberapa versi menyatakan diri mereka memiliki kedekatan dan hubungan kekerabatan dengan pejuang itu.

Namun, bagi Ali Usman hal itu biasa-biasa saja. Asalkan dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang mendukung. "Tidak apa-apa," kata kakek 71 tahun ini.

Ali Usman, dikenal dengan nama Datuak Buruak (gelar adat). Dia adalah salah seorang yang sampai saat ini dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai pewaris untuk menjaga sejumlah barang peninggalan Tuanku Imam Bonjol.

Hingga saat ini, Datuak Buruak masih menyimpan tongkat yang di dalamnya berisi semacam pedang dan serpihan senapan yang dipakai Imam Bonjol dalam perang Paderi. selain itu, Al Quran yang ditulis oleh tangan istri Imam Bonjol pada beberapa abad yang silam juga masih dia pelihara.

Datuak Buruak juga sebagai tempat konfirmasi dan menerima penghargaan terhadap Tuanku Imam Bonjol. Seperti dalam pembuatan uang Rp5.000. Pihak Bank Indonesia mendatangi beliau dan memberikan pelakat yang berisi uang Rp5000 karena memasang gambar Imam Bonjol pada uang tersebut.

Selain itu, dalam pemakaian nama Imam Bonjol pada Kapal Selam KRI Imam Bonjol. Pihak KRI juga memberikan penghargaan berupa medali dan seritivikat kepada Datuak Buruak.

Meriam yang "Terkubur"

Meriam milik Imam Bonjol itu masih ada. Dinamakan dengan meriam Sutan Palembang. Senjata yang menggunakan mesiu dan berpeluru terbuat dari besi bulat digunan Imam Bonjol saat melawan musuh untuk menegakkan agama Islam pada waktu itu.

Namun, kini meriam itu sudah tertimbun dan terkubur dalam tanah. Sehingga, hanya sedikit saja ujung meriam itu yang masih muncul di atas permukaan tanah.

Anehnya, masyarakat sudah mencoba menggali tanah untuk mengeluarkan meriam itu, namun tidak bisa.

"Bahkan, penggalian juga dilakukan dengan memakai alat berat dan hasilnya tetap saja tidak bisa. semakin dalam menggali, meriam semakin dalam pula terbenam dan yang keluar dari tanah masih hanya ujungnya saja. Seperti sebelumnya," kata Datuak Buruak.

Kini benda tersebut sudah terdaftar sebagai situs nasional. Untuk menjaganya, pemerintah sudah membuat bangunan agar lebih aman dari tangan orang yang usil dan terlindungi dari hujan atau panas. Di sana, selain meriam juga terdapat lesung untuk menumbuk mesiu dan sejumlah pelurunya.

Meriam itu terletak di kaki sebuah bukit yang teletak di Nagari (desa adat) Ganggo Hilia Kecamatan Bonjol dinamakan dengan bukit Gunung Tak Jadi. Bukit itu dijadikan oleh Imam Bonjol bersama pasukannya sebagai benteng pertahanan dari serangan lawan.

Menurut masyarakat setempat, konon legenda tentang meriam terbenam dan beberapa kejadian sejarah Imam Bonjol menyimpan misteri. Sedikit magi dan sulit untuk dipercaya, namun masyarakat setempat banyak yang mempercayai hal tersebut.

Dimana dari cerita mereka, meriam itu dilemparkan oleh Imam Bonjol dari bukit benteng pertahanannya dan jatuh berguling-guling tiba-tiba terkubur, seperti menggunakan tenaga gaib.

Sesampainya di tempat terkubur sekarang ini, secara tidak sengaja meriam itu terkubur dan persis mengarah ke kota Bukittinggi. Seolah-olah siap meletuskan tembakan jika ada serangan musuh yang datang dari sana. Di Bukittinggi sendiri terdapat sebuah benteng Fort de Kock yang dibangun Belanda saat melawan Imam Bonjol dalam perang Paderi.

Di atas bukit benteng itu, dibangun sebuah tugu, di sana anda akan menemukan tulisan yang dikutip dari ungkapan Imam Bonjol. Ungkapan itu diucapkan Imam Bonjol atas kekecewaannya terhadap masyarakat Bonjol yang terpecah dan tidak mau bersatu.

"Melawan kolonial Belanda bukan masalah bagiku, namun untuk mempersatukan masyarakat Bonjol terluka hatiku karenanya," tulisan tersebut.

Di atas bukit benteng pertahanan itu juga masih ada sebuah kolam. Konon, kolam itu juga muncul saat Imam Bonjol marah.

"Saat dia sedang marah, lalu menghunuskan tongkatnya ke tanah dan tiba-tiba muncul air dan menjadi sebuah kolam," kata Datuak Buruak.

"Begitulah sebagian cerita Imam Bonjol dan peninggalannya menurut versi masyarakat setempat," kata dia.

"Aneh. Bicara mengenai peninggalan Imam Bonjol memang aneh. Sulit dipercaya akal sehat. Apalagi pendapat yang tidak didasari dengan bukti dan fakta yang realistis," ujar dia.

Tambo Imam Bonjol Hilang

Menurut dia, untuk dapat membuktikan riwayat dari sang legenda pejuang kemerdekaan itu hanya ada satu tambo. Tambo tersebut ditulis langsung oleh anak Imam Bonjol yaitu Naali Sultan Caniago tentang sejarah hidup beliau.

Tambo tersebut pernah dipinjam oleh beberapa profesor dari perguruan tinggi dan Gubernur Sumbar yang menjabat pada suatu periode, (Datuak Buruak enggan menyebut nama dan waktu kejadiannya). Pada saat itu, tambo dipinjam dengan dalih penelitian.

Sekarang, kata dia, tambo tersebut tidak diketahui keberadaannya. Meski pernah dipertanyakan namun belum ada konfirmasi yang pasti.

Sementara itu, masyarakat merasa sangat kehilangan karena tidak jelasnya keberadaannya. Mereka meminta agar tambo tersebut dapat dikembalikan atau disimpan di museum agar tetap terjaga dengan baik.

"Kami pernah menanyakan dan mencari tahu tentang keberadaan tambo itu ke sejumlah museum baik di Sumbar atau Pusat. Namun, tidak ada," kata dua.

Mungkinkah tamab tersebut akan kembali lagi ke tangan masyarakat Bonjol? Wallahua''''lam.

Yang pasti, kata dia, peninggalan yang satu itu seolah-olah memang sudah "terkubur". Seiring dengan terkuburnya wasiat Tuanku Imam bonjol agar masyarakat dapat menegakkan agama Allah.

Kini, sebagian umat tidak mau patuh dan ingkar pada agama. Banyak yang munafik dan pembohong.

Selain itu, kalau diperhatikan masyarakat sekarang baik yang muda atau yang tua, pemimpin atau masyarakat kembali suka berjudi, korupsi, memakai barang haram, melakukan tindakan kriminal, anarkis dan suka membuka aurat. Tidak ubahnya seperti yang dimusuhi Tuanku Imam bonjol beberapa abad yang silam dalam perang Paderi itu.

Mereka melupakan tuhan. Seolah-olah "agama sudah dikubur". Padahal, agama itulah yang menjadi senjata dan peninggalan amat berharga dari Imam Bonjol

Lantas, anda selaku generasi penerus dalam menyelamatkan bangsa dan agama; Bagaimanakah tindakan yang bisa anda untuk "menggali" semua yang terkubur itu?? Dan atau jangan-jangan malah hanya menambah dalamnya kuburan?!

Kami sudah tua. Sebentar lagi benar-benar akan di kubur, ujar Datuak Buruak. (*)