Jakarta (ANTARA) - Rencana Amerika Serikat yang ingin menempatkan sekitar 2.500 anggota marinir di Darwin, Australia bagian utara, agaknya harus disorot secara saksama. Kalau perlu, manuver itu diplototi dengan tajam karena akan berdampak langsung terhadap Indonesia.
Darwin hanya berjarak 820 kilometer saja dari Indonesia. Jika pangkalan militer AS itu jadi digelar di Darwin, meminjam istilah Betawi, "Sama saja memelihara centeng di ujung gang". Bisa banyak persoalan kalau ada jagoan petantang-petenteng depan rumah. Kawasan rumah yang tadinya aman dan tenteram, bisa jadi tegang kalau ada jagoan yang hilir mudik bawa senjata.
Apalagi kalau jagoannya itu koboi Amerika yang terkenal "trigger happy" alias gampang sekali main tembak. Salah-salah urus soal Papua, misalnya, bisa berabe.
Paling tidak akan menjadi sumber konflik baru. Indonesia akan menjadi serba salah dan serba susah. Dengan adanya pangkalan militer AS di Australia, maka Indonesia ditempatkan pada sebuah geostrategi dan geopolitik baru di kawasan Asia dan Pasifik. Indonesia tergencet dalam adu kuat hegemoni AS dengan Cina.
Hawa Perang Dingin merebak kembali di Asia Pasifik. AS perlu membendung kekuatan Cina, baik ekonomi maupun militer, yang terus menerus menguat dan meningkat. Setelah malang melintang bertualang di Asia Tengah dan Timur Tengah, AS kini mulai menoleh ke Asia Pasifik sebagai masa depan peruntungannya.
Menlu Hillary Clinton dalam majalah Foreign Affairs edisi terbaru menulis artikel khusus soal ini yang bertajuk "America`s Pacific Century".
Pada saat Perang Irak menuju akhir dan negara adidaya itu mulai menarik pasukannya dari Afghanistan, tulis Hillary sebelum terbang ke Bali menghadiri KTT ASEAN, maka AS menjadi sumbu kekuatan yang sangat penting di dunia.
"Salah satu tugas AS paling penting di dekade yang akan datang adalah terlibat dalam peningkatan investasi di bidang diplomasi, ekonomi, strategis, dan lain-lain, di kawasan Asia Pasifik," kata Hillary.
Peningkatan keterlibatan AS di Asia Pasifik yang sedang dibawa Presiden AS Barack Obama jauh-jauh dari Washington ke Canberra. Saat bertemu dengan Perdana Menteri Australia Julia Gillard, Obama menyampaikan keinginannya untuk menggelar 2.500 marinir di Darwin.
"(Penggelaran marinir) itu untuk membantu sahabat-sahabat dan para sekutu kita di Asia," bujuk Obama yang dikenal di Indonesia sebagai anak Menteng yang doyan makan bakso itu.
Timbulkan Pro-kontra
Keruan saja keinginan Obama itu membuat pro-kontra, terutama Cina yang langsung gerah dan bereaksi. Kementerian Luar Negeri Cina segera mengeluarkan pernyataan resmi bahwa kehadiran pasukan AS di Darwin "mungkin tidak begitu pas".
"It may not be quite appropriate," begitu sopan santun diplomasi Kementerian Luar Negeri Cina.
Tapi koran-koran Cina tak memerlukan tatakrama diplomasi untuk mengkritik kebijakan baru AS di Pasifik tersebut. Sebuah koran milik Partai Komunis Cina dengan garang memperingatkan bahwa Australia jangan menganggap Cina sebagai orang bodoh dan pandir.
"Jika Australia menggunakan pangkalan militernya untuk membantu AS mengancam kepentingan Cina, maka Australia sendiri akan berhadap-hadapan dengan Cina dalam posisi saling mengokang senjata," begitu gertak media Cina.
Wah ... wah ... wah .... Sikap galak Cina atas Australia seperti itu bisa juga dialamatkan ke Indonesia jika Jakarta salah-salah bersikap. Ini yang bikin pusing para pejabat dan pengambil keputusan di Indonesia.
Pangkalan militer AS di Darwin akan memerlukan akses ke pangkalan-pangkalan AS lainnya seperti di Filipina, Jepang, dan Korea Selatan. Pasukan-pasukan AS di Darwin memerlukan jalur yang mau tidak mau harus melewati perairan Indonesia.
Kalau tidak dikasih izin, AS marah. Kalau dikasih izin, Cina yang marah. Indonesia betul-betul terjepit dalam pilihan yang sulit. Jika dua gajah berantem, pelanduk yang berdiri di tengah bisa jadi korban terinjak-injak dua gajah.
Padahal, kebijakan politik luar negeri AS selalu memberi garis demarkasi yang jelas dan tegas: "Are you with us or with else." Kalau kamu sahabatku, kamu harus bersamaku. Kalau tidak mau, berarti kamu bersama musuhku. Itu seperti memilih buah simalakama.
Jalan terbaik bagi Indonesia untuk terhindar dari simalakama adalah berdoa agar rakyat Australia bisa memutuskan pilihannya dengan arif dan bijaksana soal kehadiran pasukan mariner AS itu di rumahnya yang berada di ujung gang rumah Indonesia. Apakah pangkalan mariner AS di Darwin itu sebuah ide yang baik bagi Australia.
Untung sejauh ini rakyat Australia menilai itu bukan suatu gagasan yang baik.
Profesor Robin Tennant-Wood dari Universitas Canberra, misalnya, menganggap pangkalan militer AS yang permanen di Darwin akan melahirkan konsekuensi yang berbahaya bagi masyarakat Darwin sendiri. Alasan bahwa kehadiran pasukan AS itu akan meningkatkan ekonomi Negara Bagian Nothern Territory dan memperkuat aliansi AS-Australia dinilai terlalu "lebay" alias mengada-ada.
Darwin adalah kota kecil yang hanya berpenduduk 130.000 jiwa dan hanya 10 persen dari populasi itu yang asli orang Australia. Lainnya adalah orang-orang imigran dari Cina, Vietnam, Indonesia dan Asia lainnya. Kalau mariner AS berada di Darwin, maka akan menambah 8 persen orang asing di kota itu.
Robin mengkhawatirkan apa yang terjadi di pangkalan AS di Okinawa (35.000 orang) dan Korea Selatan (29.000 orang) akan terjadi di Darwin. Di Okinawa, misalnya, terjadi 200.000 insiden dan kecelakaan pada periode 1952-2004 yang menewaskan 11.000 penduduk sipil Jepang. Rata-rata terdapat sekitar 21 warga sipil Jepang yang terbunuh setiap tahun, sebagian besar atau 90 persen terkait dengan kecelakaan lalulintas.
Yang paling mengkhawatirkan, menurut Prof. Robin, tindak kriminal yang dilakukan oleh tentara AS atau pendukung sipilnya di Okinawa mencapai sepertiga dari total tindak kriminal di kota berpenduduk 1,3 juta orang itu. Robin tidak setuju jika Darwin seperti Okinawa.
Mudah-mudahan orang-orang Australia seperti Robin bersuara keras dan didengar oleh pemerintah Australia dan pemimpinnya. Jika rakyat Australia mengatakan tidak, itu lebih baik buat Indonesia. Jakarta tidak perlu repot-repot berdemo menentang kehadiran koboi Amerika di ujung gang. (*)