Tiap Hari Meraung dari Balik Jeruji Bambu
Apakah hatinya sedih dan menangis? Apakah hatinya sekarang sedang minta tolong ingin bebas dan menjalani hidupnya di alam bebas seperti anak-anak yang lain? Tidak satu orangpun yang tahu dan mengeri.
Ada yang mengerti namun tak bisa bebuat apa. Ada orang yang tahu, namun tidak mau mengerti dan tidak mau berbuat. Meraung dan bersorak dilakukannya tiap hari, seolah-olah ia butuh seseorang untuk bermain, ia menjalani hidupnya seperti itu sejak usia dua tahun.
Bocah malang itu, Eko (9), warga Kampuang Baru Jorong Suka Nagari Muaro Pingai Kecamatan X Koto Singkarak Kabupaten Solok, di masukkan ke dalam jeruji kayu dan bambu oleh kedua orang tuanya, Zainuddin (30) dan Silfia (26), karena penyakit aneh dalam bahasa minangnya "tasapo" (kesurupan) yang dideritanya takut menjadi malapetaka baginya.
Selama tujuh tahun Eko menderita penyakit aneh, selama itu pulalah ia menjalani hidupnya tanpa mengerti ajaran-ajaran yang diberikan orang tuanya. Tidak satupun yang dapat ia mengerti dan tidak sedikitpun kebahagiaan masa kanak-kanak yang dirasakan seperti anak-anak normal lainnya.
Semenjak enam bulan terakhir, Eko dimasukkan ke dalam jeruji buatan kedua orang tuanya yang sangat tidak layak. Orang tuanya mengawatirkan kelakukannya yang hiper aktif, bisa-bisa mengancam keselamatan nyawanya, karena lokasi rumahnya yang hanya terbuat dari kayu terletak di ketinggian ratusan meter.
Eko bisa saja berlari kesana-sini, berbuat kasar terhadap orang lain dan berbuat apa saja yang dia mau dengan kondisi fisiknya yang makin lama makin kuat. Ketika kedua orang tuanya pergi mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari dengan cara menjual jasa sebagai pemanjat kelapa, dan ibunya sebagai petani bayaran, maka, saat itulah, tiap hari selama ber jam-jam harus menjalani hidupnya dalam penjara.
Eko terus tersenyum seolah-olah ia tidak tau-menau dengan apa yang terjadi. Eko asik sendiri, merayap, memanjat, bersorak dan apapun ia lakukan di penjaranya.
Jika kedua orangtuanya telah pergi mencari nafkah, tidak seorangpun yang peduli dengan sorakan-sorakannya dari kurungan yang terletak dalam rumah terkunci. Dalam kekangan penjara kecil di tengah kegelapan ia terus bersuara, seolah-olah berharap ada orang yang akan menemaninya.
"Tek Pia!...Tek Pia!..." Itu merupakan salah satu kosa kata yang yang bisa di dilontarkan oleh Eko beberapa waktu terakhir, karena kata-kata itu telah sering ia dengar dari teman-teman sebaya ketika memanggil nama ibunya.
Apakah ia mengerti apa yang diucapkan? tidak tahu, namun kata itu terus diucapkan seolah-olah ia minta tolong dari lubuk hatinya yang paling dalam supaya dikeluarkan dari kurungan yang mengekangnya.
Eko menderita penyakit aneh ketika ia dibawa oleh orangtuanya yang bekerja di salah satu kebun sawit di Riau. Ketika itu, Eko yang baru saja berusia berusia dua tahun memperlihatkan tingkah aneh yang tidak biasa dilakukan oleh anak-anak lainnya. Akhirnya orangtua Eko memilih untuk membawanya pulang ke kampung.
Sampai sekarang pertumbuhan fisik Eko cukup bagus karena selera makan normal, wajahnya yang berseri dan senyumnya yang manis, membuat orang yang melihatnya jadi merinding. Wajahnya yang ganteng membuat orang tidak yakin kalau ia sedang menderita penyakit aneh, bahkan kadang-kadang ia harus bertelanjang dalam penjaranya karena ia tidak bisa mengucapkan kata-kata ketika ia hendak buang air.
Entah sampai kapan hidup seperti itu akan dijalaninya, siapapun tidak ada yang mengetahuinya. Berbagai macam usaha telah dilakukan oleh kedua orang tuanya untuk kesembuhan putranya. Banyak syarat yang telah dipenuhi terhadap paranormal dan banyak obat yang telah dimasukkan ke tubuh Eko.
"Belum bertemu penyakit dengan obatnya." Itulah pepatah lama yang pantas untuk nasib Eko.
Meskipun telah banyak usaha yang telah dilakukan namun tidak sekalipun dengan pengobatan ke rumah sakit. Orangtua Eko, Zainuddin mengaku bahwa ia tidak mengetahui prosedur pengobatan ke rumah sakit, meskipun ia telah memiliki kartu Jamkesmas, ia beralasan tidak memiliki biaya pengobatan.
"Biaya rumah sakit mahal," kata Zainuddin, sambil menyampaikan pengharapannya, mudah-mudahan suatu saat akan datang para dermawan untuk membiayai pengobatan anaknya, juga sambil menyadari bahwa ketidak tahuannya selama ini telah menelantarkan kesehatan anaknya.
Ia mengatakan, penyakit yang diderita anaknya telah diketahui oleh kepala jorong bahkan walinagari. Bahkan konon di kampung tersebut telah di bentuk tim siaga, namun sampai sekarang belum satupun dari pihak terkait yang mendatangi rumahnya guna menanyakan kondisi anaknya. Begitu juga dengan Polindes yang hanya berjarak puluhan meter dari rumahnya juga belum pernah mengunjungi anaknya atau belum pernah didata. (*/wij)