Nenek moyang orang Mentawai mungkin datang ke Pulau Siberut sekitar 300 tahun yang lalu. Asal usul mereka belum diketahui, namun beberapa literatur dan penili mengarahkan menduga kuat, mereka berasal dari Batak, Sumatera Utara.Tipe kebudayaan ini mungkin menyebar di seluruh Indonesia pada masa lampau, tetapi telah dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang datang dari daerah luar).Sampai saat ini kebudayaan Mentawai masih cukup asli karena kepulauan Mentawai terpisah, dan orangnya tidak dipengaruhi oleh kebudayaan lain.Struktur sosial masyarakat Mentawai bersifat patrilinial dan kehidupan sosialnya dalam suku di sebut Uma. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang juga disebut Uma di tengah tanah suku mereka.Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa Uma mempunyai hak yang sama, kecuali "SIKEREI" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara kagamaan.Makanan poko adalah sagu, pisang dan keladi. Makanan lainnya seperti buah-buahan, madu dan jamur dikumpul dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein seperti rusa, burung dan monyet diburu, dan ikan dipancing dari kolam dan sungai.Secara tradisional Uma mempunyai wewenang tertinggi di Siberut. Tetapi karena pengaruh program permukiman pemerintah dan aparat pemerintah desa, mengharuskan perubahan organisasi sosial masyrakat Mentawai.Akibatnya, pola kehidupan tradisional berkurang dibeberapa daerah. Namun Uma masih mempunyai aspek yang penting sekali bagi masyarakat Mentawai.Menurut agama tradisional (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisah dari tubuhnya dan berjalan sendiri.Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dilestarikan roh akan pergi. Di samping itu dapat menyebabkan penyakit.Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari di Siberut. Kegiatan sehari-hari dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam. Upacara agama dikenal sebagai punen, puliaijat atau lia harus mengikuti kegiatan manusia supaya gangguan tersebut berkurang.Upacara tersebut dipimpin oleh para Sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Baik roh dari makhluk hidup maupun yang telah mati akan diberikan sesajian, dan makanan yang banyak disediakan untuk semua anggota suku.Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disediakan dan ada tarian (turuk) untuk menyenangkan roh, sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama upacara, hal-hal yang tabu (kekei) dilarang.Selama 3 abad terakhir ini, agama tradisional Mentawai khususnya "tabu" (ritual-ritual adat dan agama) dilarang, padahal hal itu bagi mereka adalah alat pengontrol pertambahan populasi penduduk. Pada momen-momen ini, kepala suku dan tetua-tetua adat bisa memantau jumlah penduduk dari jumlah mereka yang hadir. Jika terlihat sudah terlalu banyak, akan dikeluarkan kebijakan pengaturan kelahiran secara adat. Selain itu, lewat Tabu ini juga akan ada nasehat untuk tidak merusak dan eksploitasi hasil hutan secara berlebihan.Namun sekarang, tradisi itu sudah mulai hilang. Akibatnya, penduduk meningkat cepat dan sumber daya alam mulai dieksploitasi tanpa memperhatikan peraturan adat. (*)
Berita Terkait
Deretan film Indonesia yang dirilis di tahun 2024
Senin, 23 Desember 2024 9:08 Wib
Harga emas Antam stabil di Rp1,533 juta per gram
Senin, 23 Desember 2024 9:06 Wib
Serba-serbi tentang KTT D-8 di Mesir
Senin, 23 Desember 2024 5:03 Wib
Jelang Nataru, PLN UP3 Padang Sapa Masyarakat di CFD Kota Padang
Minggu, 22 Desember 2024 20:06 Wib
Personel Reserse Polri se-Kota Padang lakukan pembaretan di Pantai Air Manis (Video)
Minggu, 22 Desember 2024 4:43 Wib
PUSHOD Unand dampingi masyarakat susun draft Peraturan Nagari
Sabtu, 21 Desember 2024 20:29 Wib
Mendorong perbaikan sistem di RS Arun Lhokseumawe Aceh usai tersandung perkara hukum
Sabtu, 21 Desember 2024 19:08 Wib
BPBD Mukomuko siap tanggulangi bencana di wilayah perbatasan
Sabtu, 21 Desember 2024 17:29 Wib