Jakarta, (Antara) - Kalangan ulama Nusa Tenggara Barat meminta pemerintah melakukan penghentian penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) sektor informal penata laksana rumah tangga (PLRT) ke luar negeri.
Saat berdialog dengan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat di Lombok Timur, NTB, Minggu, pemimpin Pondok Pesantren Al Badriyah Tuan Guru Haji (TGH) Lalu Muhammad Thahir menyatakan bahwa TKI PLRT yang biasanya diminati perempuan, termasuk dari NTB, telah menimbulkan dampak negatif.
"Antara lain kasus perceraian dan TKI PLRT hanya menjadikan perempuan NTB sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri," katanya sebagaimana disampaikan melalui surat elektronik dari BNP2TKI.
Dari sisi syariah, adat istiadat, dan aspek apapun lebih banyak mudaratnya (keburukannya) bila perempuan menjadi TKI PLRT.
Thahir mengatakan bahwa sejak beberapa tahun terakhir, pondok pesantrennya yang memiliki jaringan dengan 50 majelis taklim, aktif menyosialisasikan kepada jamaahnya agar jangan bekerja ke luar negeri sebagai pekerja rumah tangga.
"Sudah banyak ibu-ibu TKI yang bercerai dan mengadukan permasalahannya kepada kami," ujarnya.
Dampak dari sosialisasi itu, katanya, telah mengurangi minat jamaahnya untuk bekerja ke luar negeri sebagai PLRT.
"Alhamdulillah, jumlahnya makin kecil akhir-akhir ini," katanya tanpa menyebut angka-angkanya.
Oleh karena itu, dia mendukung keputusan pemerintah memberlakukan moratorium atau penghentian penempatan TKI PLRT ke Malaysia, Arab Saudi, Yordania, Kuwait, dan Suriah karena negara-negara tersebut tak mampu melindungi TKI secara baik.
Jumhur mengatakan bahwa pemerintah secara bertahap memang mengurangi penempatan TKI sektor informal atau PLRT dengan meningkatkan penempatan TKI sektor formal semiterampil, terampil, dan profesional.
Kepala BNP2TKI menjelaskan bahwa TKI sektor formal bekerja pada perusahaan atau pengguna berbadan hukum, dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan, memiliki kontrak kerja yang jelas dengan jam kerja yang pasti, dan gajinya pun lebih besar.
Sedangkan TKI sektor informal atau PLRT memiliki hubungan kerja yang subyektif dengan pengguna, tidak terlindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan, dan tidak memiliki jam kerja.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar pernah menyatakan bahwa pemerintah merencanakan menghapus penempatan TKI PLRT mulai 2017.
Dalam dialog di pondok pesantren tersebut, Jumhur meminta peran serta ulama untuk memberikan pemahaman kepada para santri atau masyarakat setempat terkait dengan urusan dan persoalan TKI.
Jumhur menambahkan bahwa sebaik-baiknya tempat bagi kaum perempuan adalah berada di rumah dan membesarkan anaknya dengan kasih sayang.
"Jika para ibu bekerja ke luar negeri maka masa depan anak-anak secara psikologis akan terganggu apalagi sampai terjadi perceraian," ujar Jumhur didampingi Kepala Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Syahrum dan Wakil Koordinator Crisis Center BNP2TKI Yusri Al Bima.
Jumhur memahami bahwa pilihan kerja ke luar negeri adalah karena keterpaksaan dan dorongan ekonomi semata.
Ia juga menyatakan bahwa BNP2TKI dan Gubernur NTB KH Zainul Majdi telah mengadakan kerja sama Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP). Layanan ini telah mendekatkan, memudahkan bagi TKI dan stakeholder terkait dalam memberikan pelayanan yang mudah, murah, cepat, aman dan nyaman. (*/wij)