Padang (ANTARA) - Sepanjang perjalanan dari Padang ke Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat, Yulia Eliza (29) tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Air matanya berlinang, mata cokelatnya itu pun tergenang.

Sekitar empat tahun lalu, Yulia tidak kuasa menerima kenyataan pendengaran  kedua anaknya tidak bisa berfungsi selamanya.

Kenyataan tersebut ia hadapi, seusai melakukan tes pendengaran di Padang, kemudian menerima saran dokter agar menggunakan alat bantu pendengaran atau operasi yang biayanya terbilang besar.

"Kato dokter, beko baliak surang pendengarannyo ko karano mamakai alaik itu, tapi ndak tabali dek awak (kata dokter, bisa kembali pendengarannya sendiri dengan alat itu, tapi tidak mampu membeli)," kata Yulia.

Yulia bersama suaminya, Rafdinal (37), sehari-hari bekerja sebagai petani di Jorong Kubang Rasau, Nagari Balai Panjang, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat.

Mereka hidup sangat sederhana di atas rumah semi permanen dengan tiga anak.

Dua dari tiga anak mereka, yakni Fahri Yuliandra (9) dan Muhammad Gofar (4), memiliki ciri-ciri Sindrom Waardenburg, yakni sindrom yang membuat pendengarannya terganggu.

Sindrom langka ini secara umum menyebabkan gangguan pendengaran, perubahan warna mata, kulit, rambut, dan bentuk wajah.

Orang dengan kondisi ini biasanya memiliki iris mata berwarna biru atau berbeda warna (Heterokromia iridium), seperti satu biru dan satu hitam atau coklat. 

Fahri memiliki iris mata sebelah kanan berwarna biru, sedangkan sebelah lagi berwarna cokelat. Sebaliknya, Gofar memiliki iris mata sebelah kanan berwarna cokelat, dan sebelah kiri berwarna biru.

Mata biru inilah yang membuat mereka berbeda dibandingkan anak-anak lainnya, meskipun pendengaran terganggu, tapi orang-orang menilai mata mereka indah seperti berlian.

Yulia menjelaskan menurut dokter yang memeriksa kedua anaknya, untuk mendapatkan alat pendengaran ia harus merogoh kocek senilai Rp24 juta per unit, sedangkan untuk operasi Rp500 juta untuk dua anaknya.

Mendengar hal tersebut, Yulia hanya mampu menekurkan kepala, sebab kondisi keluarganya tidak mampu untuk bisa membuat anak bujangnya bisa mendengar.

Yulia mengaku, ia juga sudah meminta bantuan kepada Dinas Sosial setempat namun belum ditanggapi.

Dari puskesmas pun, kata Yulia, dijanjikan Jamkesda, tapi hingga kini belum ada.

Kini ia hanya berharap, agar kedua anaknya bisa mendengar dan berbicara, serta dapat bersekolah dengan lancar.

Menanggapi hal tersebut, Camat Lareh Sago Halaban Efli Zein mengatakan, pihaknya sudah memantau langsung ke rumah Yulia melihat kondisi Fahri dan Gofar.

"Saya sudah memantau kondisi dua anak ini ke rumahnya sekaligus membawa pihak puskesmas, ternyata sudah ada riwayatnya berobat terkait gangguan pendengaran," kata Efli Zein.

Menurut bidan desa, kata Efli, Yulia memang menunggu bantuan alat bantu pendengaran dari Dinas Sosial. 

Pihaknya akan mengonfirmasi kembali ke Dinas Sosial dan akan mengawal hal tersebut agar bantuan benar-benar diterima oleh Yulia.

Sementara untuk Jamkesda, ia mengatakan akan mengusahakan membantu mengurusnya kepada pihak terkait. 

Memiliki kondisi yang sama dengan Fahri dan Gofar, pasangan Jainal (33) dan Maylis (28), warga Jorong Padang Data, Nagari Simawang, Kabupaten Tanah Datar itu, juga memiliki anak yang diduga dengan Sindrom Waardenburg dan menyebabkan gangguan pendengaran.

Mereka adalah Dani (6,5) memiliki iris mata berbeda warna dan adiknya, Alika (2,5) kedua iris matanya berwarna biru.

Jainal mengatakan, upaya agar anaknya bisa mendengar sudah ia lakukan dengan membawa Dani ke rumah sakit.

Dokter menyampaikan kepada Jainal, agar Dani disekolahkan dulu selama setahun agar bisa mudah berkomunikasi.

"Disekolahkan dulu setahun, kalau sudah bisa berkomunikasi, baru dibawa lagi ke rumah sakit untuk dipertimbangkan dipasang alat pendengaran," kata Jainal.

Namun demikian, Jainal yang sehari-hari sebagai petani itu mengaku belum tentu akan mendapatkan alat pendengaran, karena angsuran BPJS kesehatan miliknya menunggak.

Masa pandemi COVID-19 membuat Jainal dan keluarganya mengalami kesulitan ekonomi.

Sementara itu di Kota Padang, tepatnya di Korong Gadang, Kecamatan Kuranji, seorang anak diduga dengan Sindrom Waardenburg usia 2,5 tahun, Hanindya Putri Dinanti, sudah menggunakan alat bantu pendengaran.

Orangtua Hanindya, Nani Susanti (42) menjelaskan, anak bungsunya itu sejak usia enam bulan baru diketahui tidak merespon saat dipanggil.

Setelah itulah, kata Nani, anaknya dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.M.Djamil Padang untuk diperiksa lebih lanjut, baik dari penglihatannya dan pendengarannya.

"Kata dokter untuk penglihatannya normal, tapi pendengarannya terganggu," kata Nani.

Akhirnya, Hanindya yang memiliki mata kiri berwarna biru dan mata kanan seperempat irisnya biru pucat itu, harus menggunakan alat bantu dengar.

Nani pun bersyukur, anaknya dapat menggunakan alat tersebut dengan bantuan dari lembaga sosial di daerahnya.
  Foto kolase 16 orang yang memilik iris mata biru di Sumatera Barat (Antara/Iggoy El Fitra)  
 
Bahan Olokan

Seorang remaja warga Jorong Batu Lipai, Nagari Batipuh Baruah, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Armila Putri (14), memiliki iris mata sebelah kiri berwarna biru pucat yang diturunkan dari ibunya.

Ibu Armila, Fitri Yenti (45) memiliki dua iris mata berwarna biru dan kakak Fitri, Ermawanita (60) sebelah kanan iris matanya juga berwarna biru.

Fitri dan Ermawanita memiliki gangguan pendengaran sejak lahir, namun Armila tidak, semuanya normal kecuali hanya mata yang berbeda warna.

Armila mengaku, sejak SD matanya itu sering dijadikan bahan olok-olok oleh teman-temannya. Akibatnya, Armila pun jadi risih dan tidak percaya diri. 

Namun, kini ia bangga dan bersyukur dengan matanya tersebut, karena dengan matanya yang unik, ia dijadikan model oleh sejumlah fotografer lokal di daerahnya.

Armila sering didatangi fotografer untuk dijadikan model mereka, dan tentu saja ia menerima bayaran yang bisa membantu biaya hidup dan sekolahnya.

Sementara itu, di Padang, Sahara Amelia (12), seorang remaja yang memiliki dua mata biru merasa bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang.

"Sahara merasa bersyukur dengan mata biru ini, kadang juga di sekolah banyak yang muji-muji," kata Sahara di rumahnya, di Kurao Pagang, Padang.

Kendati demikian, Sahara yang bercita-cita menjadi dokter itu terkadang merasa berbeda dengan yang lain dan agak merasa kurang percaya diri.

Pengalaman berbeda dirasakan Surya Lestari (25), warga Jorong Bukit Gombak, Nagari Baringin, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar.

Mata Lestari pun berbeda, ia memiliki kedua iris mata berwarna kehijauan, dan kuning di bagian tengahnya.

Karena warna matanya itu, dulu Lestari sempat dipanggil orangtuanya menghadap guru ke sekolah.

Ia dan orangtuanya diperingati agar tidak menggunakan lensa kontak untuk matanya karena masih sekolah.

Setelah tahu bahwa matanya memang berwarna hijau sejak lahir, barulah guru tersebut merasa maklum

Baca juga: Kisah orang-orang bermata biru dari Ranah Minang (2)



 

Pewarta : Iggoy El Fitra
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024