Padang, (ANTARA) - Melalui pemberitaan di berbagai  media daring, perdebatan tentang cuaca panas sebagai faktor utama dalam menghadapi penyebaran COVID-19 masih hangat untuk diperbincangkan. Hal ini menjadi viral seiring dengan pernyataan Menko Kemaritiman dan Investasi pada 2 april 2020 yang lalu. Tapi mengenai kebenarannya masih belum jelas, mengingat fakta di lapangan ada berbagai faktor yang bisa mempengaruhi penyebaran virus tersebut.

Berdasarkan data dari kelompok peneliti Boston Children's Hospital menggunakan data penyebaran kasus Covid-19 di Tiongkok, faktor cuaca tidak bisa dijadikan faktor tunggal untuk menurunkan pandemi ini. Dengan tidak adanya implementasi di bagian kebijakan kesehatan publik yang ekstensif, negara tropis menunjukkan kerentanan terpapar virus yang lebih tinggi. (Luo et. al., 2020; Poirier et. al., 2020).

Cuaca di Indonesia tidak berpengaruh kuat terhadap penyebaran ataupun menghambat COVID-19 yang notabenenya hanya terdiri dari 2 musim, panas dan hujan. Tetapi pengaruh cuaca signifikan  terhadap penyebaran COVID-19 di wilayah yang memiliki 4 musim, karena ada perbedaan kondisi cuaca yang cukup besar terjadi sepanjang tahun.

Tentu  dari banyaknya data penelitian yang menjadi acuan, mengambil sampel daerah yang berada pada daerah sub-tropis yang berbeda kerangkanya dengan wilayah Indonesia yang berada di daerah tropis harus mengalami berbagai penyesuaian terlebih dahulu.

Hal ini senada dengan pernyataan dari BMKG di laman resminya bahwa secara literatur penyebaran COVID-19 ideal terjadi melalui cuaca jika meninjau dari humidity dan letak geografis Indonesia , namun faktanya di lapangan tidak begitu. Terjadinya pandemi ini di Indonesia sejak awal maret 2020 lalu lebih kuat dipengaruhi oleh interaksi sosial dan mobilitas manusianya ketimbang faktor cuaca.

 Berdasarkan data Worldometers yang merilis data penyebaran COVID-19 di Singapura menunjukkan bahwa sejak tanggal 15 Februari hingga 6 April 2020, kasus pandemi ini sudah mencapai 1.309 kasus dengan 6 orang pasien meninggal dunia. Ini terjadi walaupun udara di Singapura saat itu berada di suhu 30°C.

Dengan kata lain, adanya anjuran supaya masyarakat berjemur di pagi hari bukan untuk mematikan virus, melainkan dengan bantuan cahaya matahari membuat pertahanan tubuh lebih kuat terhadap paparan virus tersebut.

Menurut WHO  menjemur tubuh  di sinar matahari atau ke cahaya dengan temperatur di atas 25°C tidak membuat  bebas dari COVID-19.

Cuaca panas terhadap COVID-19 juga menjadi topik kuliah daring di mata kuliah Fisika Atmosfer Jurusan Fisika Unand, " Bahkan jika kita berjemur hingga gosong pun, belum tentu menghilangkan paparan virus pada diri kita", ujar dosen pengampu mata kuliah, Dr. Techn Marzuki.

 Tentunya diskusi pada topik kuliah daring itu juga didasari dengan adanya laporan dari tim ilmuwan Perancis dari Universitas Aix-Marseille yang menyatakan bahwa strain virus Corona yang didiamkan selama satu jam di suhu hingga 60°C masih mampu bereplikasi. Ini berarti walaupun pertumbuhan virusnya melambat tapi masih bisa menginfeksi.

Dengan adanya perubahan lingkungan terutama kondisi cuaca panas di atmosfer, COVID-19 sepertinya juga mengalami penyesuaian gen untuk bereplikasi. Banyak penelitian yang sedang dan akan dilakukan untuk bisa menyelesaikan teka-teki ini..


Dengan adanya uraian diatas, masyarakat Indonesia khususnya Sumatera Barat diharapkan agar tidak ber-ekspektasi terlalu tinggi dengan datangnya musim kemarau di pertengahan Mei 2020 nanti seperti yang diprediksikan oleh BMKG. Masyarakat diharapkan secukupnya berjemur di bawah sinar matahari untuk meningkatkan imunitas tubuh tetapi jangan berlebihan. Peristiwa ini juga mengajak agar masyarakat tetap menerapkan physical distancing bagaimanapun kondisi cuaca yang terjadi sampai pemerintah ataupun lembaga kesehatan nasional mencabut aturan "bekerja dari rumah" kembali.

Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Andalas
 

Pewarta : Yudi Darma
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024