Di sebuah rumah pada tepian ladang sayur, seorang wanita tengah sibuk menyusun benang emas diantara benang-benang lainnya di atas sebuah rangkaian kayu yang dikenal masyarakat dengan panta.

     Hawa dingin menyelimuti Pandai Sikek siang itu, sebuah nagari setingkat desa yang berada di kaki Gunung Singgalang Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

     Di hadapannya, suri yang merupakan sebutan pengrajin tenun untuk benang yang membentang di sepanjang panta diregangkan dengan sebilah kayu bernama sangka.

     Sesekali dentangan kayu terdengar ketika wanita tersebut merapatkan benang emas yang sudah disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah motif.

     Puti Centia Wulan, seorang wanita berumur 25 tahun duduk di ujung panta, tangannya meliuk-liuk diantara ratusan benang, di hadapannya lebih kurang sepanjang satu meter songket hampir selesai ditenun.

     Semenjak beberapa hari yang lalu ia sudah sibuk mengerjakan sebuah selendang songket dengan ukuran lebar 50 sentimeter dan panjang dua meter.

     “Saya belajar menenun secara otodidak, berawal dari melihat ibu yang juga seorang pengrajin songket,” katanya.

     Menenun menurutnya merupakan keahlian yang biasa dimiliki oleh setiap perempuan di kawasan Pandai Sikek yang telah diwarisi secara turun temurun.

     Tanpa melalui pelatihan khusus, Puti yang sudah mulai menenun semenjak tahun 2011 tersebut menyebutkan selama ini ia telah menerima upah untuk menenun dengan bahan disediakan oleh pengusaha songket yang ada di daerah tersebut.

     Dari sekian banyak motif Songket Pandai Sikek, menurutnya yang paling rumit untuk dikerjakan adalah motif Pucuak Tari Bali dikarenakan motifnya yang halus sehingga dituntut ketelitian yang lebih saat mengerjakan.

     Sembari melanjutkan pekerjaannya, Puti menceritakan dalam satu bulan ia mampu menyelesaikan empat hingga lima helai songket dengan upah yang beragam.

     Untuk menyelesaikan sebuah selendang songket bermotif tabur dengan ukuran panjang dua meter dan lebar 50 atau 30 sentimeter, ia menerima upah sebanyak Rp300.000 rupiah  dengan lama pengerjaan selama lima hari.

     Apabila selendang tersebut dipenuhi oleh benang emas atau yang biasa dikenal dengan istilah balapak, maka upah per helainya adalah Rp400.000 rupiah.

     Sementara untuk songket dengan ukuran lebih besar, maka dapat menghabiskan waktu hingga sepuluh hari. Bahkan untuk songket berbahan sutera bisa memakan waktu berbulan-bulan.

     Puti menambahkan, upah tersebut diterima untuk pengerjaan songket dengan bahan katun, apabila menggunakan bahan sutera maka upahnya bisa mencapai Rp600.000 rupiah.

     “Penghasilan sebagai pengrajin songket selama ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk biaya sekolah anak,” ujarnya

     Salah seorang pengusaha Songket Pandai Sikek  yang telah merintis usaha semenjak tahun 1985, Erma Yulnita mengatakan, untuk songket yang dipasarkannya, ia memiliki pengrajin sendiri yang saat ini berjumlah lebih kurang 250 orang.

     Para pengarajin tersebut merupakan perempuan-perempuan di Nagari Pandai Sikek yang sejak dahulu sudah terkenal sebagai penenun songket.

    Karena sudah ada sejak lama, maka motif-motif yang ada pada tenun songket merupakan motif klasik yang begitu identik dengan Minangkabau.

     Setidaknya terdapat lebih dari 350 motif klasik, akan tetapi yang sering kali diproduksi adalah motif Itiak Pulang Patang, Saik Ajik, Lapiak Ampek, Pucuak Rabuang, Kunang-kunang dan lain sebagainya.

     Ia menyebutkan hingga saat ini songket masih memiliki daya tarik bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Sumbar, terutama ke Pandai Sikek.

     Dari seluruh wisatawan yang berbelanja songket kepadanya, 80 persen diantaranya adalah wisatawan lokal yang datang dari berbagai daerah di Indonesia.

     Selain pengunjung yang datang berbelanja langsung, ia juga melayani pesanan ke beberapa daerah seperti Jakarta, Kalimantan, Lampung, Sulawesi serta beberapa daerah lainnya.

     Keunikan motif Songket Pandai Sikek menjadi salah satu alasan bagi para wisatawan untuk menjadikannya sebagai cindera mata dari Sumbar.

     Tak hanya wisatawan dalam negeri, Erma menuturkan bahkan wisatawan manca negara juga sangat tertarik dengan songket, selain berbelanja ketika berkunjung, ia juga sudah pernah mengirimkan songket ke luar negeri.

     Menurutnya, sekalipun tidak serutin pengiriman di dalam negeri, akan tetapi permintaan dari luar negeri tetap ada dan cukup tinggi, seperti dari Amerika, Australia dan Jepang.

     Harga yang ditawarkan pun beragam, mulai dari yang termurah seharga Rp1.500.000 rupiah hingga yang paling mahal seharga Rp15 juta rupiah, tergantung dari bahan yang digunakan.

     “Untuk bahan dari sutera maka akan dihargai sebesar Rp15 juta, sementara songket termurah dimulai dari harga Rp1.500.000 rupiah terbuat dengan bahan katun,” katanya.

     Sekalipun demikian, kadangkala pihaknya cukup mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, terutama benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, yaitu India dan Jepang.

     Apabila kondisi dolar tidak stabil maka Erma akan kesulitan mendapatkan bahan tersebut, sehingga berdampak pada produksi, seperti beberapa waktu lalu sempat terhenti selama satu bulan lantaran ketiadaaan bahan.

     Pada pertengahan Ramadhan lalu, ia menyebutkan pasokan benang emas sempat terputus, sementara permintaan songket tinggi, sehingga mau tidak mau produksi tidak dapat dilakukan.

     Selain benang emas yang harus didatangkan dari luar negeri, bahan lain yang dibutuhkan adalah katun dan sutera, kedua bahan ini lebih mudah didapatkan karena tersedia di dalam negeri.

     Selain itu, Puti Centia Wulan mengatakan menenun merupakan keahlian yang harus tetap dipelajari oleh setiap perempuan Minang terutama Pandai Sikek, sebab dengan keahlian tersebut setiap generasi muda dapat ikut melestarikan tradisi.

     “Suatu saat nanti pun saya akan mengajarkan anak saya tentang tata cara menenun, sebab keahlian ini sudah dilestarikan secara turun temurun,” tutupnya. (*)


Pewarta : Syahrul Rahmat
Editor : Azhari
Copyright © ANTARA 2024