Jam menunjukkan pukul 01.00 dinihari WIB di awal Januari 2018 lalu ketika areal parkir sebuah stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) di Kota Sarolangun, Jambi, dipenuhi oleh belasan kendaraan pribadi.
Dari nomor polisi kendaraan tersebut, jelas berasal dari Pulau Jawa seperti Jakarta, Bogor, Bandung dan Banten. Para penumpang di kendaraan itu adalah mereka yang baru saja menghabiskan liburan Natal dan Tahun Baru di kampung halaman di berbagai daerah di Sumatera.
Belasan kendaraan tersebut tidak semuanya mengisi bahan bakar, tapi hanya sekadar istirahat dan menunggu matahari bersinar sebelum melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Pelabuhan Bakauheni di Lampung dan terus menyeberang ke Pulau Jawa.
Beberapa penumpang yang sebagian anak-anak dan orang tua, malah kemudian mengeluarkan bantal, kain sarung untuk selimut dan menggelar tikar di dekat sebuah taman. Suasana di tempat tersebut lebih menyerupai tempat penampungan pengungsi korban bencana alam seperti banjir atau tanah longsor.
Beberapa pemudik yang sedang beristirahat mengakui bahwa mereka memang sengaja menunggu sampai pagi sebelum melanjutkan perjalanan karena khawatir dengan keamanan di jalan saat menembus hutan belantara antara Sarolangun dan Lubuk Linggau.
Stasiun bahan bakar milik Pertamina selalu menjadi pilihan pemudik untuk melepas lelah dan menghilangkan kantuk karena menyediakan berbagai fasilitas yang cukup nyaman seperti mini market, kamar mandi, toilet dan mushola.
"Saya dengar banyak cerita soal tindak kejahatan dengan sasaran mobil yang melintas hutan pada malam hari. Lebih baik kami istirahat disini sampai pagi," kata Merizaldi, pria asal Bukittinggi yang berdomisili di Ciputat, Tangerang Selatan.
Merizaldi baru saja menghabiskan liburan Tahun Baru di kampung halaman bersama istri dan sepasang anaknya yang masih duduk di bangku SMA dan SD, sekaligus untuk memperkenalkan sanak saudara yang tinggal di lereng Gunung Marapi.
Bagi mereka yang terbiasa dengan kondisi lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya, sungguh tidak nyaman bila berkendara menembus belantara Sumatera, terutama pada malam hari.
Jalan yang sepi, berkelok-kelok dan kemudian lurus dengan hutan lebat atau perkebunan sawit atau karet di kiri kanan, adalah pemandangan yang biasa bila melintas di Jalur Lintas Tengah (Jalinteng).
Berbagai cerita seram mengenai modus tindak kejahatan yang beredar dari mulut ke mulut, bisa membuat bulu kuduk berdiri dan membuat ciut pengendara yang akan melintas daerah sepi di malam hari.
Penjahat dengan sebutan "bajing loncat" yang mengincar truk penuh barang berharga saat berjalan pelan akibat jalanan yang berlubang, atau pohon yang tiba-tiba melintang di tengah jalan dan penjahat yang muncul dari kegelapan, merampok seluruh penumpang kendaraan pribadi, adalah cerita yang sudah sangat sering terdengar dari mulut ke mulut.
Ada juga cerita pelaku kejahatan dengan sengaja menabrak kendaraan dari arah belakang sehingga mobil yang ditabrak berhenti untuk mengetahui apa yang terjadi.
Saat berhenti itulah, kawanan penjahat yang bersenjata senapan atau pistol rakitan, muncul dari balik semak-semak di kegelapan malam dan mulai beraksi dengan menguras seluruh barang berharga penumpang.
Modus terbaru adalah, pelaku yang menyamar menjadi petugas kepolisian kemudian menghentikan kendaraan dan berhenti itulah, korban dirampok dibawah todongan senjata.
Persepsi
Cerita menyeramkan tersebut sebenarnya adalah kejadian pada 1970-an sampai 1990-an dan sampai sekarang masih beredar dalam masyarakat, sehingga persepsi kerawanan akibat tindak kejahatan di tengah jalan, masih belum hilang sama sekali.
Ketika itu, jalanan masih buruk dan penuh lubang, sehingga kendaraan terutama truk pembawa barang, harus pelan-pelan melewati jalan berlubang dan berlumpur seperti kubangan kerbau.
Kawasan yang dikategorikan rawan kejahatan adalah antara Sarolangun di Jambi, Lubuk Linggau, Muara Enim dan Lahat di Sumatera Selatan. Daerah-daerah ini merupakan kawasan sepi yang banyak dikelilingi perkebunan karet dan kelapa sawit.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan semakin membaiknya infrastruktur jalan dan jembatan, tindak kejahatan bajing loncat pun hampir tidak lagi terdengar dan hanya tinggal cerita.
Antara yang melakukan perjalanan darat seorang diri dari Padang menuju Jakarta pada Maret 2017 lalu sama sekali tidak menemui rintangan meski harus berkendara menembus jalan yang sepi dan gelap gulita.
Hal yang sama juga ditemui saat melakukan perjalanan darat dari Jakarta ke Palembang dan Padang melalui Jalur Timur dan kembali ke Jakarta melalui Jalur Tengah pada awal Januari 2018 lalu.
Soal kerawanan di jalan, dalam hal ini jalur Lintas Tengah Sumatera, sebenarnya terletak pada persepsi setiap individu. Bila sebelum memulai perjalanan yang dipikirkan adalah persepsi negatif dan hal-hal yang menyeramkan, maka perjalanan pun dijalani dengan perasaan was-was.
Yon Kennedy, seorang pengusaha biro perjalanan asal Jakarta yang setiap empat bulan melakukan perjalanan darat ke Padang melalui jalan darat dengan mobil pribadi, mengaku tidak pernah mengalami kejadian seperti yang sering didengarnya.
"Kalau soal rawan, dimana-mana ada kawasan rawan. Jakarta pun rawan dan bahkan di siang bolong terjadi perampokan dan di tempat keramaian pula. Kejahatan biasanya terjadi bila kita tidak berhati-hati atau memberi peluang. Saya hanya berusaha menikmati perjalanan dan tidak pernah memikirkan hal-hal yang buruk dan alhamdulilah semua berjalan lancar," katanya.
Yang perlu diwaspadai, menurut pria berambut kribo itu, bukan lagi "bajing loncat" yang mengincar mangsa pada malam hari, tetapi hewan ternak sapi yang bergerombol menyeberang jalan dan dilepas begitu saja tanpa pengawasan pemiliknya.
Hal lain yang juga sangat berbahaya adalah kondisi jalan berlubang dan bisa menjebak saat berkendara malam hari. Saat melaju kencang di jalan yang beraspal mulus, tiba-tiba dihadapan sudah menunggu lubang yang menganga dengan kedalaman sekitar 30cm dan diameter sekitar satu meter.
Bagi mereka yang berjiwa petualang dan menginginkan sensasi berbeda dibanding perjalanan di Pulau Jawa yang ramai, perjalanan darat dari Jakarta ke Sumatera atau sebaliknya melalui Lintas Tengah, Timur maupun Barat akan terasa menyenangkan dan nikmat jika persepsi menyeramkan bisa dihilangkan.
Banyak hal-hal baru dan pemandangan unik yang bisa dinikmati selama perjalanan seperti kehidupan bersahaja masyarakat, rumah-rumah panggung di pinggir jalan, pria dan wanita yang berjalanan beriringan sambil menenteng ember untuk mandi di sungai, atau bentangan hutan belantara dan perbukitan yang menimbulkan suasana sejuk dan alami.
Pengendara bisa juga menepi sejenak untuk menikmati buah durian yang dijajakan di pinggir jalan. Durian yang dijual terasa lebih nikmat karena bukan dipetik di batang, tapi yang jatuh secara alami. (*)