Bau getah dan tanah, daun-daun basah sehabis hujan semalaman. Tidak ada derik ranting ketika jalan setapak itu dilalui orang, selain bunyi kecipak jejak ke tanah yang lengket.
Beberapa menit lagi, malam akan menyungkup hutan itu dari cahaya, tetapi orang-orang masih berkumpul di Rimba Pandawa Lima perihal melepas kepergian seekor "Raja Hutan".
“Jangan menangis. Kau akan dipindahkan sekarang. Ayo pindah!," ujar seorang tetua masyarakat sekaligus Pamuncak adat dalam bahasa Minangkabau.
Dua lelaki tua itu mengitari kandang, sambil berceloteh. Ada bau sangit bercampur bau busuk di dalamnya.
Mereka mengintip dari balik celah-celah kandang, sementara yang diintipnya menjawab dengan mengangguk-anggukan kepala serupa kucing patuh dengan majikannya, namun matanya berlinang.
"Kucing belang" itu menangis. Dipalingkan wajahnya dari orang-orang yang mengamatinya seksama dari balik kandang.
"Inar", demikian warga memanggil harimau sumatera (panthera tigris sumatrae) berjenis kelamin betina yang berusia sekitar lima tahun itu.
Beberapa bulan lalu, Inar jadi perbincangan warga Desa Tarok, Nagari Kepala Hilalang, Kecamatan Kayu Tanam, Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat, karena eksistensinya dalam memangsa ternak warga.
Enam bulan terakhir, warga pun geram, ingin menangkap Inar dan memberikan kepadanya peringatan bahwa dirinya bersalah telah memakan hewan ternak, serta anjing-anjing liar di sekitar hutan rimba Pandawa Lima.
Tidak tanggung-tanggung, warga bergotong-royong membangun perangkap harimau yang diletakkan di dekat rumah-rumah penduduk.
"Inar memang sering terlihat di dekat kebun-kebun karet dan sawit ini," ujar Gambuih (37), warga setempat yang juga merasa kehilangan hewan ternaknya.
Namun perangkap tersebut tidak juga membuahkan hasil, maka warga pun memindahkan perangkap ke dalam hutan supaya Inar tidak takut untuk mendekat karena jauh dari rumah-rumah warga.
Perangkap dibuat warga dari batang-batang pohon karet, yang dipotong menyerupai pasak kemudian dipancangkan ke dalam tanah.
Sementara penghubungnya tidak menggunakan paku, namun cukup diikat menggunakan kulit kayu dan rotan. Perangkap itu berukuran 90 x 200 sentimeter, cukup untuk membuat Inar memutar-mutarkan badannya.
Di dalamnya, diikatkan seekor kambing, dan hingga menjelang dievakuasi, bangkai kambing itu masih berada di dalamnya karena menurut warga Inar tidak suka diberi makan, melainkan harus berburu.
Akhirnya, Inar pun ditangkap warga pada Sabtu (9/7) dini hari. Berita Inar masuk perangkap itu telah membuat geger warga sekampung.
Memang, menurut warga, baru kali ini harimau masuk perangkap, karena harimau itu juga sudah mulai memangsa ternak warga.
Terakhir, harimau sumatera juga ditangkap warga pada tahun 1981 di kawasan hutan Bukit Gadang, tak jauh dari Pandawa Lima.
Meskipun Inar telah bersalah, namun masyarakat tidak melampiaskan amarah mereka terhadapnya yang sudah masuk perangkap.
Seorang warga sekaligus sanak-saudara dengan Tungganai/pawang adat masyarakat setempat, Rifai Marlaut mengatakan, Inar telah berada bersama masyarakat selama empat hari sejak ditangkap.
Barangkali, menurutnya, hal itulah yang membuat Inar menangis saat akan dievakuasi. Inar merasa sudah memiliki hubungan batin dengan masyarakat.
"Untuk memindahkannya pun, Inar tidak boleh dibius, karena masyarakat melarangnya sebab akan menyakitinya," kata Rifai.
Sehingga, katanya, air mata Inar pun berlinang, namun Inar tidak bisa berbicara.
Kendati demikian, Rifai tidak bisa memastikan, apakah Inar menangis karena bersalah telah memakan hewan ternak warga selama ini, atau memang menangis karena akan berpisah dan pergi dari Rimba Pandawa Lima yang sudah menjadi rumahnya sendiri.
Sepengetahuan Rifai, Inar memiliki ayah yakni seekor harimau sumatera berjenis kelamin jantan, dan satu ekor lagi saudaranya.
"Bisa jadi karena ia akan berpisah dengan keluarganya di sini," kata Rifai.
Kekecewaan keluarga Inar, yakni dua ekor harimau lainnya, ditunjukkan lewat mimpi yang dialami pawang.
Akibatnya, salah seorang pawang harimau, Ucok (18) kerasukan ketika akan mengevakuasi Inar. Ucok tiba-tiba kesal seperti seolah-olah kerasukan saat kandang besi dengan kandang perangkap akan dihubungkan untuk memindahkan harimau.
Warga yang ramai ingin melihat harimau dari dekat, tiba-tiba ketakutan melihat kejadian itu dan memilih untuk turun ke desa, demikian pula dengan para dokter hewan dari Dinas Peternakan.
Ucok kemudian dibawa pemuda setempat ke rumahnya untuk kemudian dirawat dan dizikirkan bersama-sama.
Tokoh Pemuda setempat, Asriwal Pangeran mengaku, perihal syarat-syarat dan kompensasi Rp15 juta agar dibawanya harimau sudah dipenuhi pihak terkait.
Sebelumnya, dana yang diminta sebesar Rp8 juta, kemudian menjadi Rp10 juta, dan akhirnya keputusan Rp15 juta, tapi jumlah itu tidak sebanding dengan perjuangan warga selama ini, kata Pangeran.
"Sudah ada pernyataan di atas kertas, bahwa harimau ini sudah kami serahkan kepada pihak BKSDA," ujarnya.
Persoalan lainnya yang membuat harimau tidak bisa dievakuasi, katanya, bukan menjadi tanggungjawab pemuda lagi.
Pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar bersama Pihak Kebun Binatang, dan juga dari Kementerian Kehutanan terpaksa berembuk kembali bersama para tetua masyarakat.
"Tadi kita sudah mau memindahkan, tapi karena ada insiden ini, terpaksa ditunda dulu sementara. Kita berencana hari ini juga harimau dievakuasi," Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sumbar, Candra Putra.
Dikatakannya, pihaknya akan menghampiri Tetua Tungganai (Pimpinan Pawang) untuk mendapatkan izin memindahkan harimau.
Sebelumnya, cara tersebut gagal karena insiden kerasukan salah seorang pawang harimau.
Setelah mendapatkan izin dari pimpinan, barulah evakuasi dilakukan kembali dibantu para pemuda setempat.
Namun evakuasi Inar itu memakan waktu lama karena sang "Raja Hutan" tidak mau pindah ke kandang besi.
Begitu antara kandang dengan kandang dihubungkan, pintu masing-masing kandang dibuka, namun Inar malah duduk enggan berpindah.
Maka Inar pun menangis dan mengangguk-angguk.
"Biasanya hal itu terjadi karena syaratnya belum terpenuhi seluruhnya," ungkap Buyung (40), warga setempat yang mengaku sering bertemu dengan harimau lainnya di hutan itu.
Buyung mengatakan, pasca penangkapan harimau harus digelar upacara adat, meliputi silat, "Ulu Ambek" (semacam silat tradisional, red), bergendang tambur, dan lainnya.
Upacara adat dilakukan, dalam upaya masyarakat mendekatkan diri kepada "Inyiak Balang" itu.
Selain itu, kandang harimau juga dihiasi dengan kain-kain seperti pesta pernikahan, di atas dipasang atap kain dengan bordiran khas Minangkabau.
Harimau tidak mau pindah, katanya, karena hanya digelar silat dan bergendang saja, "Ulu Ambek" tidak digelar.
Senjata Meletus, Inar Mengaum
Dar.. Dor...!
Letusan tembakan petugas Polisi Kehutanan Sumatera Barat, membuat kawanan harimau sumatera di hutan rimba pandawa lima marah.
Polisi Kehutanan mencoba mencari harimau lainnya yang masih berkeliaran pasca penangkapan seekor harimau betina di lokasi itu.
Polisi kehutanan mengaku menembakkan senjata bius karena melihat dua ekor harimau lagi tak jauh dari kandang harimau yang terperangkap.
Pihak BKSDA bersama polisi kehutanan langsung memperingati warga untuk berkumpul di satu titik.
Sebagian anak-anak dan remaja langsung menaiki tempat tinggi seperti pohon dan balai-balai pemantau yang sengaja dibuat.
Kejadian tersebut semakin membuat cemas warga, karena Inar, yang berada dalam kandang langsung mengaum, tanda ada harimau lain di dekatnya.
"Justru harimau lain akan marah bila ditakuti seperti letusan tembakan itu," kata Asriwal Pangeran.
Menurutnya, tindakan itu justru akan membahayakan warga setempat, karena selama ini kami tidak pernah mengganggu harimau.
Bahkan anak bayi pun, katanya, dibawa melihat-lihat harimau dikandangkan tidak masalah, namun bila mengganggu harimau lainnya, warga yang akan kena batunya.
Menurutnya lagi, berdasarkan keterangan pawang, harimau memang ada tiga ekor di lokasi itu, satu ekor betina yang ditangkap atau Inar, satu ekor jantan dewasa dan satu lagi masih kecil.
Kondisi mencekam tersebut, kemudian dapat berakhir setelah para pemuka masyarakat turun tangan dan petugas polisi kehutanan tidak lagi mencari harimau lain.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II, BKSDA Sumbar, Candra Putra, menyatakan, adanya harimau di dekat pemukiman dan lokasi kegiatan warga menandakan kondisi hutan sudah sangat mengkhawatirkan.
Dikatakannya, hingga saat ini data yang ia miliki, keberadaan harimau sumatera tinggal 300 sampai 350 ekor di Pulau Sumatera.
Populasi itu sudah semakin sedikit karena banyak harimau sumatera mati terkena jerat ataupun diburu warga.
Kepala BKSDA, Agusril menambahkan, pihaknya hingga kini baru meletakkan kamera pemantau di hutan Pasaman Barat untuk memantau aktifitas harimau sumatera.
Sedangkan harimau sumatera yang telah melewati masa karantina setahun terakhir di Sumbar jumlahnya dua ekor yang dilengkapi "Global Positioning System" (GPS) Satellite Collar untuk mengetahui keberadaannya lewat satelit.
Satu ekor di Pesisir Selatan dan satu ekor lagi di Solok Selatan, namun satu ekor di Solok Selatan telah mati dibunuh warga.
Bila berhasil dievakuasi, Inar berencana akan dikawinkan dengan harimau jantan "Si Bancah" di Bukittinggi, agar populasi harimau tetap terjaga.
Pilihan lain, Inar akan dilepas kembali ke habitatnya yang jauh dari kontak dengan manusia, seperti di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang wilayahnya juga berada di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar.
Pada Selasa (12/7), malam Inar berhasil dievakuasi dengan cara dihalau, lalu kandang besi itu diangkat oleh delapan orang melewati lereng hingga ke mobil BKSDA, kemudian Inar langsung dibawa ke lokasi Konservasi Harimau di Kebun Binatang Bukittinggi untuk dirawat dan dikarantina.
Bau hutan semakin menyengat. Malam telah membuat Inar terkenang selalu perpisahan. [***]
Inar Harimau Betina yang Menangis
Inar bergelung di perangkapnya. FOTO: Iggoy el FItra