Di Pariaman, Sumatera Barat, sekitar 50 kilometer dari Kota Padang, kehidupan berjalan seperti biasa. Tepat 10 Muharram 1436 Hijriyah, Senin (3/11), tidak ada tanda keramaian dan sebuah papan pengumuman yang menandakan akan ada helatan besar di kota Tabuik pekan depan.
Tabuik akan keluar seminggu lagi, tepatnya pada Minggu 9 November 2014, atau 16 Muharram 1436 Hijriyah berdasarkan penanggalan Islam. Demikian jadwal yang terpampang, sedangkan prosesi ritual sudah digelar sejak 25 Oktober lalu. Jeda yang terlalu jauh.
"Kami je ndak tantu bilo tabuik ko kalua (kami pun tidak tahu kapan Tabuik keluar)," kata Rafki (38), seorang warga Pariaman. Ia baru tahu sejak dipasangnya baliho pengumuman beberapa hari terakhir.
Kota Pariaman masih saja lengang walaupun sudah memasuki minggu-minggu di mana rakyat akan berpesta budaya sekali setahun.
Pesta Budaya Tabuik adalah peringatan Hari Assyura atau hari berkabung atas kematian Imam Hussein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW yang tewas di Padang Karbala pada 10 Muharam.
Warga Pariaman memperingatinya dengan setiap tahun dengan membuat Tabuik (tabut) dari bambu oleh anak Nagari Pasa dan Subarang yang akan mencapai puncaknya pada Minggu (9/11).
Peringatan itu mulanya diperingati kaum Syiah setiap tahun sejak 1831. Namun, warga Pariaman bukan penganut Syiah, hanya budaya dan tradisi yang diwariskan di kota tersebut.
Tabuik dibuat sebagai perwujudan seekor buraq yang membawa peti di punggungnya untuk mengangkut jenazah Imam Hussein.
Menjelang Tabuik dibuat, ada tujuh prosesi yang digelar sejak 1 Muharram, yakni "Maambiak Tanah", "Maambiak Batang Pisang", "Maradai", "Maatam", "Maarak Jari-jari", "Maarak Saroban", "Tabuik Naik Pangkek", dan Tabuik Dibuang ke Laut.
Kendati demikian, prosesi ritual tersebut tidak berjalan semestinya. Mulai dari jadwal yang tidak bertepatan dengan penanggalan bulan muharram, sampai minimnya promosi bahkan di kota Pariaman sendiri.
Salah seorang Tetua Tabuik Nagari Subarang, Nasrun Jon mengatakan, seharusnya dinas terkait mengemas acara kebudayaan ini sedemikian rupa sehingga dapat menarik orang datang ke Pariaman.
"Baru saja selesai prosesi ritual, baru terlihatlah pengumuman mengenai jadwal Tabuik ini," katanya.
Ia menyayangkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Pariaman yang mengaku akan menyerahkan prosesi tabuik sepenuhnya kepada anak Nagari, tapi dilepaskan begitu saja dan tanpa koordinasi.
Menurutnya, Tabuik ini bukan sekedar dibuat lalu dipertontonkan orang banyak, karena jika hanya demikian, Tabuik seperti itu ada di mana-mana.
"Tabuik bisa dipertontonkan di mana-mana, di luar negeri, di Jakarta, tapi ini di Pariaman, tempat terciptanya Tabuik, maka prosesi ritual yang membuat menjadi lengkap," katanya.
Ia mencontohkan, prosesi ritual "Maambiak Batang Pisang" seharusnya dilaksanakan pada tanggal 5 Muharram, tapi tahun ini tanggal 4 Muharram.
Tetua Tabuik Nagari Pasa, Zulfikar mengatakan Tabuik sudah meninggalkan tradisi karena waktu untuk prosesi ritual yang harus dijalankan berbeda dengan tanggal sebenarnya.
"Bahkan hari puncak saat Tabuik dihoyak dan dibuang ke laut, berbeda enam hari, seharusnya 10 Muharram, sekarang 16 Muharram," katanya.
Dikatakannya, pada 10 Muharram 1436 Hijriyah bertepatan dengan hari Senin (3/11), seharusnya hari itu juga dilaksanakan puncak Pesta Budaya Tabuik.
Kendati hari Senin, kata dia, Tabuik akan tetap ramai dikunjungi orang-orang karena acara itu hanya sekali setahun dan ditunggu-tunggu.
"Kalau seperti ini, saya bilang inilah Tabuik terburuk dibandingkan sebelumnya," katanya.
Mengapa ia mengatakan demikian, pertama karena minusnya atribut-atribut terkait tabuik di kota itu, kedua prosesi ritualnya tidak jelas karena tidak adanya koordinasi pihak terkait dengan Tetua Tabuik.
Ketiga, kata dia, acara kesenian hiburan rakyat tidak menarik untuk ditonton, karena seniman-seniman Pariaman termasuk Dewan Kesenian tidak diikutsertakan dalam membuat materi acara.
Ke depan sebaiknya tabuik dikembalikan lagi kepada anak nagari, dan Pemkot Pariaman cukup menjadi fasilisator dan mengontrol pelaksanaannya.
Senada dengan Zulfikar, Ninik Mamak (Pemimpin Adat) Nagari Pasa, Yusran Yatim menegaskan, pemerintah daerah sudah memasuki wilayah adat dengan membuat jadwal tanpa persetujuan anak nagari.
"Jadwal prosesi Tabuik ini adalah hak veto kami sebagai Ninik Mamak dan Tetua di rumah Tabuik, namun sudah dibuat tanpa diskusi," katanya.
Yusran berharap ke depan, Pesta Budaya Tabuik diserahkan penyelanggaraannya ke Nagari agar nilai tradisi tidak hilang. Silahkan pemerintah kota terlibat tapi wilayah adat jangan dicampuri," tegasnya.
<b>Pertimbangan Hari Libur</b>
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pariaman, Yusrizal mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan dua Nagari dalam hal menentukan jadwal Tabuik.
Dijelaskannya, karena 10 Muharram bertepatan dengan hari Senin, maka puncak Pesta Budaya Tabuik diundur menjadi Minggu (9/11).
Hal itu dilakukan, mempertimbangkan wisatawan domestik dan mancanegara serta perantau, karena hari itu sekaligus berlibur ke Pariaman sehingga kota itu menjadi ramai.
Ia tidak menampik, Tabuik sekarang memang merupakan Tabuik Pariwisata, yang mengutamakan unsur kepariwisataan agar Pariaman lebih dikenal.
"Dulu memang Tabuik tradisi, tapi sekarang sudah Tabuik Pariwisata, maka kita sesuaikan jadwalnya dengan kebutuhan wisata," katanya.
Ia juga mengakui, kurangnya promosi dalam penyelanggaraan Tabuik tahun ini, terkait tidak adanya kerjasama dengan pihak swasta.
Pemkot Pariaman menganggarkan dana sebesar Rp736 juta menggunakan dana APBD kota untuk pelaksanaan Pesta Budaya Tabuik tahun ini termasuk promosi.
Tetua Tabuik Subarang, Nasrun Jon menyatakan, menurutnya biaya Tabuik tahun ini banyak digunakan dalam acara kesenian yang sebenarnya bukan inti dari prosesi ritual.
"Untuk modal pembuatan Tabuik itu sekitar Rp22 juta per satu tabuik, tidak sampai ratusan juta termasuk biaya prosesi ritual, ini biaya habis karena acara kesenian saja," katanya.
Sedangkan prosesi ritual, katanya, yang sebenarnya memiliki nilai jual terutama bagi wisatawan malah jadi terabaikan.
Menurutnya, wisatawan domestik maupun mancanegara ingin melihat Tabuik karena tradisinya, bukan acara seremonial pemerintah.
"Jangan sampai ada kesan, pemerintah berladang di punggung nagari dengan Tabuik ini," katanya.
Sementara itu, Pengamat Kebudayaan Pariaman, Abrar Khairul Ikhirma mengakui tabuik semakin lama semakin jauh dari tradisi.
"Apa salahnya jika tabuik dilaksanakan dengan tradisinya. Pemerintah sudah ambil alih dari even rakyat menjadi event pemkot, ini perlu dikaji ulang," tegasnya.
Berdasarkan historis, Tabuik lah yang mempersatukan masyarakat Pariaman sejak dulu.
Ia menilai, boleh saja Tabuik dikatakan sebagai Tabuik Pariwisata, namun sampai beberapa tahun ini daya tarik semakin menurun.
Karena di Pariaman, katanya, tidak ada yang menarik selain Tabuik yang ditunggu-tunggu setiap tahun.
Maka itu ada istilah, "Pariaman tadanga langang, Batabuik mangkonyo rami" (Pariaman terdengar lengang, bertabuik maka ramai).
Namun sekarang masih saja sepi, seminggu ke depan, pada Minggu (9/11) diperkirakan barulah kota pantai itu disesaki pengunjung yang ingin menyaksikan Tabuik dibuang ke laut.
Tanpa jejak dan kenangan, orang-orang hanya akan tahu, itulah Tabuik seharga puluhan juta, yang dipertontonkan dan dibuang ke laut hanya dalam sehari saja. (*)