Kenangan Mudik Hingga Solidaritas Palestina

id Kenangan Mudik Hingga Solidaritas Palestina

Kenangan Mudik Hingga Solidaritas Palestina

Seribu Rumah Gadang di Solok Selatan.

Mudik bagi sebagian orang tidak sekadar menjaga silatuhrami dengan orang tua, sanak saudara, dan kerabat, tetapi juga menjaga kenangan indah masa kecil hingga dewasa di kampung halaman yang tak terlupakan.

Kenangan setiap orang bisa muncul karena teringat pada tempat, seperti sawah, ladang, sungai, hutan, rumah, lingkungan dan bisa juga karena suasana, seperti terbitnya matahari di sela bukit, suara gemericik air sungai atau pancuran, bunyi alu penumbuk padi atau bebauan masakan kue kembang goyang, hingga alunan musik tradisional, seperti saluang (suling).

Semua itu mendorong banyak orang menyisihkan sebagian uangnya, meluangkan sebagian waktunya dan berpayah payah menembus jarak untuk mudik ke kampung halaman.

Banyak kekhasan kampung yang tak bisa difotocopi oleh sosialita kota, seperti kekerabatan yang erat, saling sapa dan tradisi menjaga silaturahmi dan saling berkunjung. Tidak perlu jauh untuk mencari contoh. Di Jakarta, maksudnya di pinggiran ibu kota, masyarakat Betawi masih membuat dodol sebagai penganan dan antaran kepada tetangga menjelang dan saat berlebaran.

Bau ketan yang diaduk dengan gula aren memberi nuansa berbeda. Bagi pendatang, kesan itu akan mengingatkannya saat pertama kali datang merantau ke tanah Betawi, di mana Jakarta sekarang tentu berbeda jauh dengan tahun pertengahan 80-an, misalnya.

Apalagi jika kenangan itu jauh di pedalaman Solok Selatan, Sumatera Selatan misalnya. Sebuah daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Kerinci, Jambi.

Bakar Lamang

Tradisi membakar lamang, masakan ketan yang dikukus dan dibakar di dalam buluh mengingatkan perantau pada masa kecil. Ketika, jamban belum ada di dalam rumah.

Sekejab, dia akan teringat pada masa kecil, ketika masih berlari mengejar capung di sawah yang kering. Bau tanah basah ketika hujan pertama turun dan bebauan itu melesak dalam dada.

Kondisi itu tentu kini berbeda, tetapi sawah, sungai dan gunung yang berawan masih ada meski teman sejawat sudah pada beruban. Amak yang perkasa mengolah sawah dan ladang kini jalan tertatih menuju dapur kusamnya.

Kondisi itu semakin terasa berbeda, ketika ustadz Edi Murdi menjadi khatib di Mushalla HM Thaib, Desa Pulakek, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan. Dia mengulas aksi beringas Israel di Gaza, Palestina yang membunuh ibu-ibu dan anak-anak.

Dia mempertanyakan reaksi dunia yang dinilai lamban dan tidak sensitif. Dia mempertanyakan sikap Amerika Serikat yang jauh berbeda ketika menanggapi penyerbuan tentara asing ke Crimea.

Ustadz Edi melihat kejahatan kemanusiaan tampak nyata di depan mata tetapi tidak ada aksi konkrit untuk menghentikan kebiadaban Israel itu.

Jika, pernyataan Khatib Edi disampaikan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya, mungkin tidak istimewa. Yang berbeda, keprihatinan itu disampaikan di surau kecil yang hanya menampung puluhan jamaah.

Makmum shalat Idul Fitri sebagian besar adalah petani yang bergulat dengan lumpur dan serangga di ladang. Apakah mereka peduli dengan pembantaian di Gaza?

Ustadz Edi agaknya menilai, dimanapun tempatnya, di Gaza sekalipun, solidaritas muslim harus tetap dijaga. Dia mengingatkan kembali bahwa muslim, dimana pun dia berada, apapun warna kulitnya, mereka bersaudara.

Penjahat

Ketika, muslim di Gaza dibunuh, rumah mereka dibom, anak-anak, ibu dan wanita tewas sia-sia maka sewajarnya umat muslin di Pulakek, Solok Selatan itu merasa tersakiti. Karena itu dia mengajak dan memanjatkan doa agar aksi biadab Israel dihentikan dan pimpinan negara itu diseret ke pengadilan sebagai penjahat.

Di sisi lain, di dalam negeri, dia merasa perlu mengingatkan bahwa berjihad bukan mengebom kaum muslim atau umat manusia lainnya yang tidak bersalah. Memenuhi kebutuhan keluarga, memperhatikan anak yatim dan piatu serta peduli pada lingkungan, dan membantu si miskin termasuk berjihad di jalan Allah.

Bentuk lain dan konkrit dari berjihad adalah menahan nafsu selama Ramadhan yang pembuktiannya akan diuji pada 11 bulan berikutnya. Akankah perilaku yang terjaga selama Ramadhan teraplikasi juga hingga Ramadhan tahun berikutnya?

Jika tidak, maka sesungguhnya puasa yang dilaksanakan hanya baru menahan lapar dan haus, tetapi belum bisa mengendalikan hawa nafsu untuk menjadi muslim yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Usai shalat Idul Fitri, tradisi berkunjung dan makan di rumah tetangga serta saudara masih terjaga. Jika tidak pintar mengatur pola makan, maka baru dua rumah saja, perut akan terasa begah (kenyang).

Untuk itu diperlukan taktik agar bisa tetap makan hingga ke rumah terakhir, caranya, makan secukupnya. Dikatakan cukup, karena takarannya tidak bisa ditentukan. Pada rumah tertentu, tuan rumah menyendokkan nasi secara tiba-tiba ketika pinggan (piring) tamu yang sudah kosong.

Tamu tidak dapat menolak, karena tidak mungkin nasi yang sudah di pinggan dikembalikan ke baskom.

"Batambuah"

Makan "batambuah" (tambah nasi dan lauk) adalah suatu kewajiban yang tidak tertulis. Makan "batambuah" dapat juga diartikan menghormati tuan rumah karena hidangannya dinilai lezat.

Tidak terasa waktu berjalan cepat. Masa berbincang dan tertawa bersama kerabat dan sahabat masa kecil berlalu demikian cepat. Jarak yang jauh, menjadikan pemudik antarpulau harus memperhitungkan sisa waktu berlibur.

Tidak hanya memperhitungkan jarak, tetapi juga harus memperhitungkan jalan berlubang yang membuat laju kendaraan melambat, hingga pasar tumpah dan perilaku pemudik yang tidak bisa diprediksi di Pelabuhan Bakauheni, Lampung.

Acap kali, pemudik balik bersamaan sehingga antrean panjang berkilo-kilo meter. Sementara truk pengangkut sayur dan buah dari Sumatera sudah lama mengantre. Jika masih menunggu lagi maka sayur dan buah menjadi busuk.

Volume kendaraan yang terus meningkat dan visi Prof Sedyatmo pada 1960 untuk membangun Jembatan Selat Sunda, hingga kini (54 tahun) masih sekadar angan.

Untuk sementara, kelancaran lalu lintas arus balik diserahkan pada yang di Atas dan bapak-bapak pengelola feri. Jika mereka tangkas, maka penyeberangan akan lancar. Jika, mereka sangat tangkas dan volume kendaraan terus meningkat maka berapa pun dermaga dan feri yang disediakan, hanya akan sia-sia.

Secara hitungan sederhana, melintas di atas jembatan akan jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan menumpang feri yang harus melalui proses bongkar dan muat kendaraan, lalu berlayar dalam cuaca yang tak tentu kondisinya.

Jika suatu saat Jembatan Selat Sunda terwujud, tentu hal ini akan mendorong kemajuan ekonomi, sekaligus memudahkan pemudik antarpulau Sumatera-Jawa yang telah puluhan tahun memiliki kenangan dengan kapal penyeberangan. ***