Sastrawan Raudal Tanjung Banua dan Sasti Gotama jadi pembicara pada seminar Festival Sastra Marah Roesli

id Sastrawan Raudal Tanjung Banua ,Festival Sastra Marah Roesli,Kebudayaaan Sumatera Barat di Padang.

Sastrawan Raudal Tanjung Banua dan Sasti Gotama jadi pembicara pada seminar Festival Sastra Marah Roesli

Akademisi dari Universitas Andalas Sudarmoko (kedua kiri) bersama sastrawan Indonesia Raudal Tanjung Banua (kedua kanan), penulis peraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 Sasti Gotama (kanan) dan moderator yang juga akademisi dari Universitas Negeri Padang Nofrahadi (kiri) mengisi seminar nasional pada Festival Sastra Marah Roesli di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat, di Padang, Rabu (17/12/2025). ANTARA/Iggoy el Fitra

Padang (ANTARA) - Sastrawan Indonesia Raudal Tanjung Banua dan Sasti Gotama, menjadi pembicara pada seminar nasional Festival Sastra Marah Roesli 2025 di Gedung Kebudayaaan Sumatera Barat di Padang.

Kepala Seksi Produksi dan Kreasi Seni Budaya Taman Budaya Sumbar Ade Efdira mengatakan, kedua sastrawan nasional ini juga akan menjadi pemateri pada workshop sastra Festival Sastra Marah Roesli 2025.

"Pak Raudal adalah sastrawan nasional yang banyak menerima penghargaan sastra di Indonesia, kebetulan beliau berasal dari Kabupaten Pesisir Selatan, tapi bermukim di Yogyakarta," kata Ade saat pembukaan Festival Sastra Marah Roesli di Padang, Rabu.

Sementara itu, Sasti Gotama adalah penulis muda yang sekarang namanya sedang naik daun, terakhir ia meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2025.

Raudal Tanjung Banua menyampaikan materi berjudul Bermuka-muka dengan Ironi di Negeri Penuh Ironi.

"Festival Sastra Marah Roesli 2025 mengambil tema Negeri dan Ironi, dimulai dengan sayembara menulis cerita pendek Nasional bertema sama. Tema ini sebentuk penekanan bahwa ironi adalah perangkat majas dan ruang imajis untuk menyentuh kenyerian masyarakat menghadapi suka-duka hidup di negeri penuh ironi ini," jelas Raudal.

Ia melihat bagaimana karya sastra sebagai suara zaman menggunakan ironi sebagai perangkat estetik dan ideologis.

Menurutnya, ironi jelas bukan sebatas majas yang digunakan dalam teks sastra, namun mengandung waham, kecenderungan, bahkan visi dan misi tertentu.

Unsur ini sebenarnya telah terdedah dalam banyak karya sastra kita, dari dulu hingga sekarang, tetapi umumnya hanya dipandang sebatas perangkat estetik, minus ideologis.

"Ada banyak faktor penyebab, mulai kurangnya kesadaran ideologis itu sendiri, masifnya lembaga sensor hingga latar belakang kultural para pengarang," katanya.

Sasti Gotama menyampaikan pada makalahnya, bahwa sastra sebagai suara zaman yang menampilkan negeri dan ironi.

Menurut Sasti, ketika realitas tidak ideal dengan apa yang kita inginkan, seperti ketidakadilan, ketimpangan, diskriminasi dan lain-lain, maka biarkan sastra yang menyampaikan.

Selain Raudal dan Sasti, seminar tersebut juga menghadirkan akademisi dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Sudarmoko dan dimoderatori oleh akademisi dari Universitas Negeri Padang Nofrahadi. (*)

Pewarta :
Editor: Antara Sumbar
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.