Penerapan PPn 12 persen pada 2025, apa dampaknya bagi ekonomi Indonesia?

id Ppn 12 persen

Penerapan PPn 12 persen pada 2025, apa dampaknya bagi ekonomi Indonesia?

Pegawai KPPN Padang memberikan edukasi kepada siswa SD dalam kegiatan Kemenkeu goes to school. (Antara/HO/DJPb Provinsi Sumatera Barat)

Padang (ANTARA) - Beberapa hari lalu Pemerintah Indonesia mengumumkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 untuk barang-barang tertentu. Langkah ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 2021.

Meski bertujuan meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini menuai beragam respons dari masyarakat dan pelaku ekonomi. Di satu sisi, kenaikan tarif ini dianggap penting untuk menopang pembangunan. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan menambah beban masyarakat dan menekan daya beli, khususnya di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Mengapa PPn dinaikkan?

PPn adalah salah satu sumber penerimaan utama negara. Pada tahun 2023 penerimaan dari PPn menyumbang sekitar 40 persen dari total penerimaan perpajakan. Dengan tarif yang dinaikkan menjadi 12 persen, pemerintah berharap dapat menambah pendapatan negara untuk membiayai program prioritas seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Langkah ini juga sejalan dengan praktik internasional. Banyak negara lain memberlakukan tarif PPn yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Sebagai perbandingan, rata-rata tarif PPn di negara-negara Uni Eropa berkisar 20 persen, sementara di kawasan ASEAN, beberapa negara seperti Filipina dan Vietnam sudah menerapkan tarif 12 persen.

Selain itu, kenaikan tarif ini juga bertujuan untuk memperluas basis pajak dan mengurangi ketergantungan pada utang. Dengan beban fiskal yang semakin besar akibat berbagai subsidi dan stimulus ekonomi, langkah menaikkan PPn dianggap sebagai solusi strategis untuk menjaga keberlanjutan keuangan negara. Dampak positif kenaikan PPn peningkatan penerimaan negara kenaikan PPn menjadi 12 persen diproyeksikan dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.

Dana tambahan ini dapat digunakan untuk membiayai program sosial meningkatkan layanan publik, dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Harmonisasi kebijakan pajak regional dengan menaikkan tarif PPn, Indonesia dapat menyelaraskan kebijakan pajaknya dengan negara-negara tetangga. Ini penting untuk menciptakan iklim investasi yang kompetitif dan meningkatkan daya saing regional.

Mengurangi ketergantungan pada utang

dalam beberapa tahun terakhir, rasio utang terhadap PDB Indonesia terus meningkat, meski masih dalam batas aman. Dengan tambahan penerimaan dari PPn, pemerintah memiliki peluang untuk mengurangi defisit anggaran dan menurunkan tekanan pada utang.

Meningkatkan kepatuhan pajak bersamaan dengan kenaikan tarif PPn, pemerintah juga berkomitmen memperbaiki sistem administrasi pajak seperti melalui digitalisasi dan pengawasan lebih ketat. Langkah ini dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengurangi praktik penghindaran pajak.

Dampak negatif dan tantangan tekanan pada daya beli masyarakat peningkatan tarif PPn berpotensi menaikkan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya akan menekan daya beli masyarakat. Hal ini terutama akan dirasakan oleh kelompok menengah ke bawah yang pendapatannya terbatas.

Risiko inflasi

Kenaikan tarif PPn dapat mendorong inflasi karena produsen biasanya akan meneruskan kenaikan biaya kepada konsumen. Jika inflasi tidak terkendali, daya beli masyarakat dapat semakin tergerus, dan pertumbuhan ekonomi pun terancam melambat. Efek domino pada sektor bisnis terutama UMKM mungkin akan terdampak oleh kenaikan PPn. Dengan meningkatnya biaya produksi dan distribusi, banyak pelaku usaha kecil yang khawatir kehilangan pelanggan karena harga produk mereka menjadi kurang kompetitif.

Penerimaan publik kebijakan menaikkan pajak cenderung tidak populer, khususnya jika masyarakat merasa bahwa manfaatnya tidak langsung dirasakan. Kepercayaan terhadap pemerintah dalam mengelola dana pajak menjadi faktor penting untuk memastikan dukungan publik terhadap kebijakan ini.

Strategi untuk memitigasi dampak

agar kenaikan tarif PPn tidak menimbulkan gejolak ekonomi yang signifikan, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah mitigasi berikut:

Memberikan insentif untuk barang kebutuhan pokok, barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, dan obat-obatan sebaiknya tetap dikecualikan dari PPn atau dikenakan tarif yang lebih rendah.

Langkah ini dapat melindungi daya beli masyarakat miskin dan rentan. Meningkatkan transparansi penggunaan dana pajak salah satu cara untuk mendapatkan dukungan publik adalah dengan menunjukkan bagaimana dana pajak digunakan secara efektif. Misalnya, melalui laporan rutin tentang alokasi pajak untuk pembangunan infrastruktur, program pendidikan, atau layanan kesehatan.

Mendorong digitalisasi dan simplifikasi sistem pajak pemerintah perlu terus memperbaiki sistem administrasi pajak agar lebih sederhana, transparan, dan efisien. Dengan demikian, pengumpulan pajak dapat lebih optimal tanpa terlalu membebani wajib pajak. Memberikan dukungan kepada UMKM

untuk melindungi sektor UMKM, pemerintah dapat memberikan insentif khusus seperti pengurangan pajak bagi pelaku usaha kecil, subsidi biaya produksi, atau pelatihan untuk membantu mereka beradaptasi dengan kebijakan baru.

Kesimpulan

Penerapan tarif PPn 12 persen pada tahun 2025 adalah langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara dan menopang pembangunan nasional. Namun, kebijakan ini juga membawa risiko terhadap daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi, khususnya bagi kelompok rentan dan pelaku usaha kecil.

Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan pemerintah dalam memitigasi dampak negatifnya dan memastikan bahwa manfaat dari peningkatan penerimaan pajak benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat. Dengan perencanaan yang matang, transparansi, dan pelaksanaan yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi tonggak penting dalam menciptakan sistem perpajakan yang adil, berkelanjutan, dan mendukung pembangunan Indonesia yang lebih inklusif.

Penulis adalah Kepala Sub Bagian Umum Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Padang, Dendi Andrian.