Padang (ANTARA) -
Pemerintah daerah di Provinsi Sumatera Barat didorong untuk terus menggenjot investasi guna mengantisipasi dampak deflasi jangka panjang di Ranah Minang.
"Solusi jangka panjang Sumbar harus berani membuka kran investasi," kata anggota DPRD Provinsi Sumbar Albert Hendra Lukman di Padang, Kamis.
Hal tersebut disampaikan Albert terkait deflasi yang dialami Provinsi Sumbar untuk kelima kalinya selama periode Januari hingga September 2024.
Sayangnya, kata dia, setiap investor yang ingin menanamkan saham di Ranah Minang kerap kali dihadapkan dengan persoalan klasik seperti konflik tanah ulayat.
Untuk itu, masyarakat dan pihak terkait harus melihat persoalan tanah ulayat dari segi manfaat jangka panjang, salah satunya pembangunan infrastruktur yang bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Kemudian untuk jangka pendek, ia menyarankan agar pemerintah provinsi menyiapkan insentif kepada petani mau pun pedagang yang terdampak langsung akibat deflasi selama beberapa bulan terakhir.
"Tapi, kita harus memastikan dulu apakah Sumbar memiliki anggarannya. Sebab, selama ini kita cukup mengandalkan pusat," kata dia.
Bahkan, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2023 defisit sebesar Rp350 miliar.
Oleh karena itu, politisi PDI Perjuangan tersebut mendorong Pemprov Sumbar membuat terobosan baru dalam upaya memaksimalkan potensi yang ada.
Terpisah, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumbar Sugeng Arianto menyebutkan, pada September 2024 provinsi setempat mengalami deflasi sebesar 0,44 persen.
Berdasarkan survei yang dilakukan tim BPS Sumbar, deflasi yang terjadi dipengaruhi oleh kelompok makanan. Turunnya harga sejumlah komoditas makanan berimbas pada deflasi di September 2024.
Namun, secara year on year (yoy) BPS setempat mencatat Ranah Minang masih mengalami inflasi sebesar 1,52 persen. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Dharmasraya 2,85 persen dengan IHK 107,00 persen.
Sementara inflasi terendah terjadi di Kota Padang yakni sebesar 1,28 persen dengan IHK sebesar 106,02 persen.