Melawan keterbatasan diri di kampus inklusif
Padang (ANTARA) - Di tengah keriuhan Auditorium Universitas Andalas yang diisi sekitar 3.000-an mahasiswa baru, empat mahasiswi di salah satu pojok ruangan mencuri perhatian. Mereka tengah asik berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Mereka adalah Kharina Putri dan Rika Nanda, dua mahasiswa baru Universitas Andalas, Sumatera Barat, yang baru saja diterima di perguruan tinggi tertua di luar Pulau Jawa tersebut.
Keduanya sedang berkomunikasi dengan dua orang juru bahasa isyarat (JBI) yang juga mahasiswa di kampus itu. Ekspresi yang begitu bersemangat tampak jelas dari wajah kedua mahasiswa itu.
Meskipun tidak bisa mendengar langsung paparan rektor karena terkendala pendengaran, keduanya terbantu oleh JBI yang disiapkan kampus. Pembekalan pada pagi itu menjadi pengalaman baru bagi keduanya karena perjalanan untuk menjadi seorang mahasiswa baru saja akan dimulai.
Tidak hanya Rika dan Kharina, Meisi Maulida Rahmah Gea dan Fadillah Riski Amelia, dua mahasiswa Unand yang menjadi JBI, juga tampak antusias membantu kedua juniornya. Dengan menggunakan bahasa isyarat, gerakan tangan, anggukan kepala, hingga gerak bibir menjadi cara Dila dan Gea menerjemahkan atau menyampaikan ulang materi yang dituturkan Rektor kepada Rika maupun Kharina.
Rika Nanda merupakan mahasiswa penyandang disabilitas rungu asal Kabupaten Pesisir Selatan yang berhasil lulus dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2024--2025 lewat jalur disabilitas. Cita-citanya yang terbilang sederhana namun sangat bermakna, yakni menjadi administrator, baru saja akan dimulai di kampus berjuluk "Power Rangers" tersebut.
Lewat penerjemah JBI, Rika bercerita gangguan pendengaran ia alami sejak lahir. Terlahir sebagai seorang penyandang disabilitas bukanlah sesuatu yang diinginkan mahasiswi Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut.
Meskipun menjadi ketetapan takdir, Rika menolak untuk kalah dalam perjuangan hidupnya. Jalan panjang pendidikannya pun tidak selalu baik. Diskriminasi dari anak-anak "normal" lainnya kerap ia alami saat masih duduk di salah satu sekolah dasar negeri di Kabupaten Pesisir Selatan.
Perlakuan diskriminasi oleh teman sekolah hingga kurangnya kepedulian guru di sekolah menjadi alasan kuat Rika pindah ke sekolah luar biasa (SLB) di daerah Painan hingga berhasil menamatkan pendidikan setara sekolah menengah atas.
Tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Rika, Kharina Putri, mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian yang mengalami gangguan pendengaran, juga melalui hal serupa.
Bahkan, mahasiswi asal Kota Padang ini tak hanya dirundung (buli), namun juga kerap dihina hingga mendapat perlakuan kekerasan fisik saat masih duduk di bangku sekolah. Namun, berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang ia terima, tidak menjadikannya lemah apalagi menyimpan dendam kepada teman-temannya.
Justru Kharina tetap menjadikan orang yang merundungnya sebagai teman. Ia memilih berdamai dengan keadaan, tidak menyimpan dendam hingga terus berbuat baik adalah cara dia untuk bisa melangkah lebih jauh dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pengusaha sukses.
Teman yang peduli
Sebagai mahasiswa berkebutuhan khusus, Rika dan Kharina memahami untuk menjalani hari-harinya bukanlah sesuatu yang mudah terutama saat menimba ilmu. Semasa masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan, Kharina mengaku terbantu dengan adanya teman-teman yang selalu mendukungnya saat proses pembelajaran.
Saat guru menerangkan atau menyampaikan materi, Kharina kerap kesulitan mencerna atau mendengar apa yang disampaikan gurunya. Namun, beberapa teman di kelasnya sangat peduli dan membantunya. Teman-temannya dengan senang kembali menjelaskan bagian materi yang kurang dipahami Kharina.
"Saya sangat terbantu karena saat masih di SMK teman-teman selalu membantu menjelaskan ulang materi dari guru yang kurang saya pahami," kenang dia.
Setelah diterima di Universitas Andalas, ia berharap pihak kampus memberikan kepedulian yang lebih kepada mahasiswa penyandang disabilitas. Ia tetap ingin mendapatkan teman yang peduli saat seperti masih berseragam putih abu-abu.
Sama halnya dengan Kharina, Rika pun berharap demikian. Kampus yang inklusif dan ramah bagi semua mahasiswa terutama penyandang disabilitas merupakan harapan yang ada di kepalanya.
Kedua mahasiswi ini berkeyakinan perguruan tinggi negeri yang diresmikan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 7 September 1955 tersebut merupakan kampus inklusif, dan peduli kepada setiap mahasiswa tanpa ada diskriminasi.
Meisi Maulida Rahmah Gea dan Fadillah Riski Amelia merupakan dua mahasiswa Universitas Andalas yang berperan besar dalam membantu teman tuli yang ada di lingkungan perguruan tinggi itu. Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional dan Bahasa Inggris tersebut juga menjadi JBI membantu Kharina dan Rika dalam menyampaikan ulang setiap paparan rektor saat pembekalan bagi mahasiswa baru.
Kedua mahasiswi ini mengaku sangat tertarik dengan bahasa isyarat. Ketertarikannya terhadap bahasa isyarat berawal dari kegiatan Hari Disabilitas Internasional pada Desember 2023. Pelajaran dan pelatihan bahasa isyarat ia peroleh di American Corner Universitas Andalas.
Selain aktif sebagai mahasiswa, keduanya juga volunter atau sukarelawan di American Corner yang merupakan wadah literasi kebudayaan Amerika di kampus tersebut. Selama 7 bulan lebih keduanya rutin belajar bahasa isyarat.
Bagi Gea dan Dila, sapaan akrab keduanya, menjadi seorang JBI merupakan sesuatu yang menyenangkan. Selain dapat membantu teman tuli, mereka juga belajar sesuatu yang baru dan yang tidak pernah didapatkan di bangku perkuliahan.
"Belajar bahasa isyarat itu menyenangkan," kata Gea dan Dila.
Menurut mereka, cukup banyak orang salah dalam memahami penyandang disabilitas atau teman tuli. Salah satunya anggapan disabilitas rungu tidak komunikatif. Padahal, sebetulnya teman tuli sangat komunikatif dan ekspresif.
Ia berharap semua mahasiswa di perguruan tinggi tersebut ramah dan tidak membeda-bedakan mahasiswa berkebutuhan khusus seperti disabilitas rungu. Selain itu, keduanya juga berharap Universitas Andalas terus berbenah dan menjadi kampus yang semakin inklusif serta ramah bagi semua kalangan.
Kampus inklusif
Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri berbadan hukum, Universitas Andalas dengan motonya "Untuk Kedjajaan Bangsa" bertekad memajukan aspek pendidikan dan penelitian dari berbagai aspek.
Sementara itu, Rektor Universitas Andalas Efa Yonnedi mengatakan pada tahun ajaran 2024--2025 kampus itu kembali menerima mahasiswa disabilitas dalam rangka implementasi perguruan tinggi yang ramah disabilitas dan inklusif.
Tahun ini Unand kembali mengafirmasi mahasiswa yang berkebutuhan khusus lewat jalur Sima Disabilitas.
Pada tahun ajaran baru 2024--2025 perguruan tinggi itu menerima tiga mahasiswa berkebutuhan khusus. Rinciannya, Kharina Putri mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian (disabilitas rungu), Rika Nanda mahasiswa Program Studi Administrasi Publik (disabilitas rungu), dan Siti Hardini Akhna El Charoz dari Program Studi Sistem Informasi (tunadaksa).
Eks konsultan Bank Dunia itu mengatakan secara akademik ketiga mahasiswa berkebutuhan khusus tersebut tergolong mampu sehingga dinilai layak diterima di Universitas Andalas. Mahasiswa itu memiliki kebutuhan khusus yang harus didukung oleh lingkungan kampus.
"Secara akademik nilai rapor mereka bagus dan Unand memberikan kesempatan lewat jalur disabilitas," ujar Efa Yonnedi.
Hingga kini perguruan tinggi tersebut tercatat memiliki 18 mahasiswa disabilitas dari berbagai macam program studi.
Penerimaan mahasiswa disabilitas merupakan bukti dan komitmen kuat Universitas Andalas dalam mendukung pendidikan yang inklusif di tanah air tanpa ada diskriminasi. Bahkan, kampus itu juga menyiapkan sarana pendukung seperti jalur atau trek kursi roda, juru bahasa isyarat, dan penunjang lainnya.
Implementasi kampus inklusif merupakan salah satu upaya pendidikan tinggi untuk menciptakan dan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas tanpa ada perbedaan.
Hakikat tujuan pendidikan nasional, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ialah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melawan keterbatasan diri di kampus inklusif
Mereka adalah Kharina Putri dan Rika Nanda, dua mahasiswa baru Universitas Andalas, Sumatera Barat, yang baru saja diterima di perguruan tinggi tertua di luar Pulau Jawa tersebut.
Keduanya sedang berkomunikasi dengan dua orang juru bahasa isyarat (JBI) yang juga mahasiswa di kampus itu. Ekspresi yang begitu bersemangat tampak jelas dari wajah kedua mahasiswa itu.
Meskipun tidak bisa mendengar langsung paparan rektor karena terkendala pendengaran, keduanya terbantu oleh JBI yang disiapkan kampus. Pembekalan pada pagi itu menjadi pengalaman baru bagi keduanya karena perjalanan untuk menjadi seorang mahasiswa baru saja akan dimulai.
Tidak hanya Rika dan Kharina, Meisi Maulida Rahmah Gea dan Fadillah Riski Amelia, dua mahasiswa Unand yang menjadi JBI, juga tampak antusias membantu kedua juniornya. Dengan menggunakan bahasa isyarat, gerakan tangan, anggukan kepala, hingga gerak bibir menjadi cara Dila dan Gea menerjemahkan atau menyampaikan ulang materi yang dituturkan Rektor kepada Rika maupun Kharina.
Rika Nanda merupakan mahasiswa penyandang disabilitas rungu asal Kabupaten Pesisir Selatan yang berhasil lulus dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun akademik 2024--2025 lewat jalur disabilitas. Cita-citanya yang terbilang sederhana namun sangat bermakna, yakni menjadi administrator, baru saja akan dimulai di kampus berjuluk "Power Rangers" tersebut.
Lewat penerjemah JBI, Rika bercerita gangguan pendengaran ia alami sejak lahir. Terlahir sebagai seorang penyandang disabilitas bukanlah sesuatu yang diinginkan mahasiswi Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tersebut.
Meskipun menjadi ketetapan takdir, Rika menolak untuk kalah dalam perjuangan hidupnya. Jalan panjang pendidikannya pun tidak selalu baik. Diskriminasi dari anak-anak "normal" lainnya kerap ia alami saat masih duduk di salah satu sekolah dasar negeri di Kabupaten Pesisir Selatan.
Perlakuan diskriminasi oleh teman sekolah hingga kurangnya kepedulian guru di sekolah menjadi alasan kuat Rika pindah ke sekolah luar biasa (SLB) di daerah Painan hingga berhasil menamatkan pendidikan setara sekolah menengah atas.
Tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Rika, Kharina Putri, mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian yang mengalami gangguan pendengaran, juga melalui hal serupa.
Bahkan, mahasiswi asal Kota Padang ini tak hanya dirundung (buli), namun juga kerap dihina hingga mendapat perlakuan kekerasan fisik saat masih duduk di bangku sekolah. Namun, berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang ia terima, tidak menjadikannya lemah apalagi menyimpan dendam kepada teman-temannya.
Justru Kharina tetap menjadikan orang yang merundungnya sebagai teman. Ia memilih berdamai dengan keadaan, tidak menyimpan dendam hingga terus berbuat baik adalah cara dia untuk bisa melangkah lebih jauh dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pengusaha sukses.
Teman yang peduli
Sebagai mahasiswa berkebutuhan khusus, Rika dan Kharina memahami untuk menjalani hari-harinya bukanlah sesuatu yang mudah terutama saat menimba ilmu. Semasa masih duduk di bangku sekolah menengah kejuruan, Kharina mengaku terbantu dengan adanya teman-teman yang selalu mendukungnya saat proses pembelajaran.
Saat guru menerangkan atau menyampaikan materi, Kharina kerap kesulitan mencerna atau mendengar apa yang disampaikan gurunya. Namun, beberapa teman di kelasnya sangat peduli dan membantunya. Teman-temannya dengan senang kembali menjelaskan bagian materi yang kurang dipahami Kharina.
"Saya sangat terbantu karena saat masih di SMK teman-teman selalu membantu menjelaskan ulang materi dari guru yang kurang saya pahami," kenang dia.
Setelah diterima di Universitas Andalas, ia berharap pihak kampus memberikan kepedulian yang lebih kepada mahasiswa penyandang disabilitas. Ia tetap ingin mendapatkan teman yang peduli saat seperti masih berseragam putih abu-abu.
Sama halnya dengan Kharina, Rika pun berharap demikian. Kampus yang inklusif dan ramah bagi semua mahasiswa terutama penyandang disabilitas merupakan harapan yang ada di kepalanya.
Kedua mahasiswi ini berkeyakinan perguruan tinggi negeri yang diresmikan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 7 September 1955 tersebut merupakan kampus inklusif, dan peduli kepada setiap mahasiswa tanpa ada diskriminasi.
Meisi Maulida Rahmah Gea dan Fadillah Riski Amelia merupakan dua mahasiswa Universitas Andalas yang berperan besar dalam membantu teman tuli yang ada di lingkungan perguruan tinggi itu. Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional dan Bahasa Inggris tersebut juga menjadi JBI membantu Kharina dan Rika dalam menyampaikan ulang setiap paparan rektor saat pembekalan bagi mahasiswa baru.
Kedua mahasiswi ini mengaku sangat tertarik dengan bahasa isyarat. Ketertarikannya terhadap bahasa isyarat berawal dari kegiatan Hari Disabilitas Internasional pada Desember 2023. Pelajaran dan pelatihan bahasa isyarat ia peroleh di American Corner Universitas Andalas.
Selain aktif sebagai mahasiswa, keduanya juga volunter atau sukarelawan di American Corner yang merupakan wadah literasi kebudayaan Amerika di kampus tersebut. Selama 7 bulan lebih keduanya rutin belajar bahasa isyarat.
Bagi Gea dan Dila, sapaan akrab keduanya, menjadi seorang JBI merupakan sesuatu yang menyenangkan. Selain dapat membantu teman tuli, mereka juga belajar sesuatu yang baru dan yang tidak pernah didapatkan di bangku perkuliahan.
"Belajar bahasa isyarat itu menyenangkan," kata Gea dan Dila.
Menurut mereka, cukup banyak orang salah dalam memahami penyandang disabilitas atau teman tuli. Salah satunya anggapan disabilitas rungu tidak komunikatif. Padahal, sebetulnya teman tuli sangat komunikatif dan ekspresif.
Ia berharap semua mahasiswa di perguruan tinggi tersebut ramah dan tidak membeda-bedakan mahasiswa berkebutuhan khusus seperti disabilitas rungu. Selain itu, keduanya juga berharap Universitas Andalas terus berbenah dan menjadi kampus yang semakin inklusif serta ramah bagi semua kalangan.
Kampus inklusif
Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri berbadan hukum, Universitas Andalas dengan motonya "Untuk Kedjajaan Bangsa" bertekad memajukan aspek pendidikan dan penelitian dari berbagai aspek.
Sementara itu, Rektor Universitas Andalas Efa Yonnedi mengatakan pada tahun ajaran 2024--2025 kampus itu kembali menerima mahasiswa disabilitas dalam rangka implementasi perguruan tinggi yang ramah disabilitas dan inklusif.
Tahun ini Unand kembali mengafirmasi mahasiswa yang berkebutuhan khusus lewat jalur Sima Disabilitas.
Pada tahun ajaran baru 2024--2025 perguruan tinggi itu menerima tiga mahasiswa berkebutuhan khusus. Rinciannya, Kharina Putri mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian (disabilitas rungu), Rika Nanda mahasiswa Program Studi Administrasi Publik (disabilitas rungu), dan Siti Hardini Akhna El Charoz dari Program Studi Sistem Informasi (tunadaksa).
Eks konsultan Bank Dunia itu mengatakan secara akademik ketiga mahasiswa berkebutuhan khusus tersebut tergolong mampu sehingga dinilai layak diterima di Universitas Andalas. Mahasiswa itu memiliki kebutuhan khusus yang harus didukung oleh lingkungan kampus.
"Secara akademik nilai rapor mereka bagus dan Unand memberikan kesempatan lewat jalur disabilitas," ujar Efa Yonnedi.
Hingga kini perguruan tinggi tersebut tercatat memiliki 18 mahasiswa disabilitas dari berbagai macam program studi.
Penerimaan mahasiswa disabilitas merupakan bukti dan komitmen kuat Universitas Andalas dalam mendukung pendidikan yang inklusif di tanah air tanpa ada diskriminasi. Bahkan, kampus itu juga menyiapkan sarana pendukung seperti jalur atau trek kursi roda, juru bahasa isyarat, dan penunjang lainnya.
Implementasi kampus inklusif merupakan salah satu upaya pendidikan tinggi untuk menciptakan dan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas tanpa ada perbedaan.
Hakikat tujuan pendidikan nasional, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ialah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Melawan keterbatasan diri di kampus inklusif