Kendaraan Pribadi Bermotor dan Road Pricing

id transportasi publik, berita padang, berita sumbar Oleh Wempie Yuliane

Kendaraan Pribadi Bermotor dan Road Pricing

Kendaraan terjebak kemacetan di Jalan Gatot Subroto dan Tol Dalam Kota, Jakarta, (Antara/Akbar Nugroho)

Padang (ANTARA) - Banyak yang tidak menyadari persoalan penggunaan kendaraan pribadi bermotor baik roda empat maupun roda dua telah menimbulkan banyak masalah yang sangat komplek dan menemukan kerumitan yang sulit untuk di atasi. Katakanlah kemacetan yang awalnya hanya beberapa menit saja, hanya dalam waktu beberapa tahun sudah meningkat menjadi puluhan menit atau bahkan sampai hitungan jam terutama di jam-jam sibuk, pagi dan sore.

Ahli ekonomi transportasi mengatakan menyerahkan permasalahan transportasi kepada pasar tidak akan membawa masyarakat pada tingkat kesejahteraan yang optimal. Karena ada eksternalitas negatif berupa kemacetan, polusi, kecelakaan dan lainnya yang akan mengurangi kesejahteraan masyarakat.

Untuk itu para ahli mengusulkan sebuah mekanisme pajak yang mengacu kepada pajaknya Pigou untuk menginternalisasi eksternalitas negatif. Harapannya adalah berkurangnya permintaan perjalanan dengan kendaraan pribadi bermotor beralih kepada moda transportasi lain yang lebih ramah lingkungan seperti transportasi umum dan jalan kaki atau sepeda.

Terkait dengan pajak jalan atau di banyak kota-kota besar dunia seperti London, Singapura, Stockholm istilah yang digunakan adalah road pricing, yang khusus diterapkan kepada jalan-jalan yang sibuk dengan tingkat kemacetan parah. Apa yang disampaikan oleh Elliasson bahwa fenomena jalan raya adalah fenomena non linier yang mana kenaikan jumlah kendaraan akan menyebabkan kenaikan yang jauh lebih banyak, sebaliknya penurunan jumlah kendaraan menyebabkan penurunan yang juga jauh lebih banyak.

Maksud dari ini adalah pembiaran kendaraan pribadi di jalan akan menyebabkan kenaikan jumlah yang jauh lebih banyak daripada kenaikan linier sehingga kemacetan yang awalnya ringan akan menyebabkan kemacetan sedang dan parah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Begitu juga sebaliknya, penerapan pajak jalan atau road pricing akan mengurangi jumlah kendaraan yang jauh lebih banyak dari yang diperkirakan.

Pengalaman Kota Stocholm Swedia dalam menerapkan road pricing membuktikan hal tersebut. Pembiaran jalan kepada mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah menyebabkan insentif bagi pengguna jalan raya (pelaku perjalanan) untuk masuk ke pasar perjalanan dengan kendaraan pribadinya, dan itu menyebabkan konsekuensi kemacetan yang sangat parah.

Sebaliknya penerapan road pricing akan diikuti dengan penurunan jumlah kendaraan pribadi juga dengan jumlah yang non linier sehingga kemacetan secara otomatis bisa teratasi. Keunggulan road pricing dibandingkan kebijakan genap ganjil adalah ketersediaan ruang bagi willingness to pay (keinginan untuk membayar) masyarakat untuk menentukan apakah dia bersedia atau tidak bersedia membayar pajak jalan tersebut. Kalau bersedia, maka dia akan melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadinya. Dan kalau tidak bersedia, maka dia akan menggunakan alternatif lainnya seperti transportasi umum atau kendaraan pribadi tidak bermotor seperti jalan kaki dan sepeda.

Pertanyaannya apakah di negara berkembang seperti Indonesia dengan mulai maraknya dan bertumbuhnya satu-satu persoalan kemacetan di banyak kota di Indonesia, penerapan road pricing bisa diterapkan. Ada prasyarat yang mesti ada sebelum road pricing diterapkan, yaitu pertama, ketersedian alternatif moda transportasi lainnya sebagai konsekuensi migrasinya pengguna transportasi pribadi bermotor ke moda transportasi umum dan jalan kaki atau sepeda. Kemampuan keuangan kota tersebut untuk investasi awal peralatan dan operasional penerapan road pricing.

Belajar dari pengalaman Kota Stockholm, sebelum penerapan road pricing, pemerintah kota menambah jumlah kendaraan umum dan memperbanyak rute kendaraan umum. Kebijakan ini tanpa road pricing hanya menambah jumlah pengguna transportasi umum kurang dari 10 %. Tetapi setelah penerapan road pricing, kenaikan jumlah pengguna transportasi umum meningkat lebih dari 50 %. Secara implisit ini mengindikasikan berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi secara sangat signifikan sehingga mengurangi kemacetan di jalan raya.

Menurut pendapat saya, baru Kota Jakarta yang kemungkinan besar mampu untuk menerapkan road pricing karena ketersediaan transportasi umum yang sudah sangat memadai ditambah integrasi sistem tarif dan ketersediaan fasilitas publik yang nyaman bagi pejalan kaki dan pesepeda.

Dengan demikian persyaratan yang mesti ada untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi bermotor di jalanan adalah transportasi umum yang memadai dan integrasi dengan fasilitas pejalan kaki dan pengguna sepeda. Ini yang saya rasa tugas berat bagi seluruh kota-kota besar di Indonesia karena penyediaan transportasi umum membutuhkan subsidi operasional yang cukup besar tergantung tingkat full capacity kendaraan umum serta penyediaan sarana pra sarana transportasi umum dan fasilitas bagi pejalan kaki dan pesepeda, membutuhkan anggaran besar untuk mewujudkannya.

Selanjutnya untuk penerapan road pricing, menggunakan ukuran cost benefit analysis (CBA) untuk proyek road pricing ini, di beberapa kota besar dunia yang saya sebutkan di atas ada yang memiliki hasil positif seperti Kota Stockholm dna ada yang negatif seperti Singapura.

Dalam jangka panjang hasil analisis B/C akan meningkatkan nilai manfaat sehingga net benefit bisa mengalami peningkatan atau negative net benefit bisa berkurang. Kalau seandainya kota-kota besar di Indonesia melihat persoalan kemacetan akibat bebasnya penggunaan kendaraan pribadi di jalan perlu segera diatasi, maka percepatan penyediaan transportasi umum menjadi syarat mutlak agar pelaku perjalanan commuter bisa beralih transportasi pribadi bermotor kepada transportasi umum dan transportasi non bermotor.

Kalau belum memadai untuk mengurangi kemacetan maka obatnya adalah road pricing tentu dengan investasi dan pengawasan yang juga nantinya membutuhkan biaya. Apakah besaran kota menjadi ukuran keberhasilan road pricing? Wallohu a’lam bis showab

Penulis merupakan Dosen Ekonomi Transportasi Universitas Andalas