Kisah Perjuangan dari sudut Rumah Gadang Chatib Sulaiman

id chatib sulaiman, berita padang, berita sumbar

Kisah Perjuangan dari sudut Rumah Gadang Chatib Sulaiman

Anak Chatib Sulaiman, Sudarman (74) menunjukan foto ayahnya, di Rumah Gadang peninggalan keluarga Chatib Sulaiman, di Nagari Sumpu, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. (Antara/Iggoy El Fitra)

Padang (ANTARA) - Pagi baru saja datang, tapi burung pipit sudah berceracau sambil berkejaran di antara buah sawo yang matang. Mereka beterbangan ke atap rumah gadang.

Di halaman, seorang lansia memperbaiki letak kacamatanya sambil menatap dinding tua rumah adat itu. Terdengar olehnya suara burung bercampur dengan deru arus sungai Batang Sumpu yang mengalir ke Danau Singkarak.

Sudarman Chatib (74), pelan-pelan menaiki tujuh anak tangga menuju dalam rumah. Rumah Gadang itu diperkirakan berusia sekitar 100 tahun lebih, dan pernah dipugar pada 1940. Di dalamnya terdapat lima kamar dan ruang tamu yang luas.

Sudarman melihat foto ayahnya, Chatib Sulaiman terpajang di dinding rumah. Lalu ia mengitari pandangan. Tidak banyak barang-barang peninggalan zaman lampau di rumah itu kecuali meja batu, kaca tua, dan lemari yang menempel di kiri-kanan rumah gadang.

Rumah itu merupakan rumah peninggalan orangtua Chatib Sulaiman, pejuang kemerdekaan Indonesia, yang berada di Jorong Seberang Aia Taman, Nagari Sumpu, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Chatib merupakan anak kelima dari pasangan Haji Sulaiman dan Siti Rahmah yang dilahirkan pada tahun 1906. Rumah Gadang tersebut diwariskan kepada saudara perempuan Chatib sebagaimana adat Minangkabau, yakni Dalimah Sulaiman dan Hindun Sulaiman.

Berdasarkan ranji keluarga, pasangan Haji Sulaiman dan Siti Rahmah memiliki tujuh anak. Lalu Chatib Sulaiman pun juga memiliki tujuh anak.

Sudarman sendiri merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, hasil pernikahan Chatib Sulaiman dengan istri keempat, Yunidar yang tinggal di Bukit Surungan, Kota Padangpanjang.

Sesekali Sudarman yang bergelar Datuak Berbangso itu sengaja mengunjungi rumah gadang tersebut untuk bersilaturahmi atau sekedar mengenang kehidupan ayahnya.

Di rumah itu, tinggal keturunan dari Dalimah dan Hindun, saudara kandung Chatib Sulaiman. Sisi rumah sebelah kanan, dihuni cucu dari Hindun, sedangkan sisi sebelah kiri dari keluarga Dalimah yang sebagian besar tinggal di rantau.

Saat itu, cucu Dalimah sedang pulang kampung dari Padang, salah satunya adalah Azifni Hosen (69).

"Saya dapat cerita dari orangtua, rumah ini sempat rusak setelah gempa Padangpanjang tahun 1926, dan juga diperbaiki tahun 1940. Dulu tangga naik ke rumah terbuat dari kayu, lalu diganti jadi beton," kata Azifni.

Ia juga ingat, ayahnya pernah bercerita saat agresi militer Belanda II, tentara Belanda mencari laki-laki di rumah Gadang, termasuk mencari Chatib Sulaiman.

"Jika sudah ada bunyi kentongan bertalu-talu, tanda ada tentara Belanda datang, maka laki-laki yang ada di atas rumah ini melarikan diri hingga ke atas bukit Guguak Sari Bulan atau ke Sawah Dalai, bagi yang tidak bisa lari terpaksa bersembunyi di bawah kolong rumah," jelas Azifni.

Ketika tidak menemukan laki-laki, kata Azifni, tentara itu marah ke perempuan yang ada di atas rumah, neneknya pun sampai ditendang-tendang.

Bahkan rumah gadang tersebut sempat dihujani mortir, sehingga membuat atap bagian dapur berlubang.

"Angku Chatib sering pulang ke rumah, rapat bersama teman-teman seperjuangannya, karena itu tentara Belanda sering juga datang menyergap namun tidak pernah bersua," tambahnya.

Pada masa itu memang ada penekanan-penekanan Belanda lewat peraturan baru seperti vergaderverbod (larangan rapat) sejalan dengan politik kolonial yang semakin menindas.

Azifni memang tidak pernah bertemu langsung, namun ia mengenal sosok Chatib Sulaiman sebagai seorang tokoh pejuang yang jangkung dengan kulit kuning langsat, gagah dan berjiwa seni serupa yang diceritakan ayah dan ibunya.

Azifni menjelaskan, selama hidupnya Chatib Sulaiman memiliki empat istri, yang pertama yakni Upik Musa atau biasa dipanggil Upiak Pasang yang tinggal di depan rumah gadang.

"Dari istri pertama, Angku Chatib cerai tanpa anak," katanya.

Kedua, Zubaidah, dengan panggilan "Bidah Gaduang" yang tinggal di jorong Nagari, Nagari Sumpu, dengan dua orang anak yakni Syahrir dan Nurcaya.

Ketiga, Emma, dari Bukitsurungan Padangpanjang, dengan anak Lastri dan Kasman.

Keempat Yunidar, menggantikan Emma kakaknya yang meninggal dan melahirkan Sudarman, Surakhman dan Erman.

Azifni berusaha mengingat-ingat, nama dan urutan saudara kandung Chatib Sulaiman yang berjumlah tujuh orang. Walaupun samar, tapi ia masih bisa menuliskan susunannya.

"Pertama Usman Sulaiman, lalu Dalimah Sulaiman nenek saya, ketiga Abbas Sulaiman dilahirkan dengan dua kembarannya, namun meninggal saat kecil dan tidak diberi nama. Kemudian Chatib Sulaiman dan Hindun Sulaiman," jelasnya.

Anak bungsu Haji Sulaiman, yakni Hindun, kata dia, adalah yang paling tahu tentang cerita dan sejarah yang terjadi di rumah ini, karena bertemu langsung dengan Chatib Sulaiman.

Namun nenek Hindun sudah meninggal pada tahun 80-an, kata Azifni, dan masih meninggalkan kisah-kisah yang belum sempat diceritakan.

Sementara itu, Sudarman mengaku, pasca ayahnya meninggal di medan perang, Chatib Sulaiman hanya meninggalkan nama dan kisah perjuangannya.

"Saat meninggal beliau berusia 43 tahun dan betul-betul mengabdi kepada bangsa dan negara, tanpa meninggalkan apapun untuk kelangsungan hidup kepada anak-anak yang ditinggalkan," jelas Sudarman.

Chatib Sulaiman, kata Sudarman, bahkan tidak meninggalkan rumah untuk keluarganya , karena rumah di Sumpu adalah rumah orangtuanya, sedangkan di Padangpanjang rumah mertuanya.

"Kami, anak-anak Chatib, tidak satupun bisa menjadi sarjana karena kesulitan hidup yang kami alami. Kami sangat berterimakasih kepada ibu kami Yunidar, yang telah membesarkan kami sejak kecil, sesuai dengan kemampuan yang ada sehingga bisa menamatkan sekolah tingkat SMA, dan alhamdulillah sampai sekarang kami bisa hidup dengan layak," jelasnya.

Sudarman membersihkan foto ayahnya yang terpajang di rumah "bakonya" (keluarga ayah) itu, lalu ia mengingat bahwa ibunya adalah tamatan sekolah bidan di zaman penjajahan Jepang yang ikut berjuang menghidupi anak-anaknya pasca tewasnya Chatib Sulaiman.

"Waktu itu mama kami mencari nafkah, masuk kampung keluar kampung, dengan pemberian hasil-hasil bumi sebagai pengganti biaya persalinan," katanya.

Pada tahun 1950-an, kata Sudarman, tokoh-tokoh pergerakan kenalan Chatib Sulaiman memberikan bantuan berupa pakaian melalui Yunidar.

"Demikian pahitnya hidup kami, sampai tahun 1965, kami terpaksa menjual barang-barang peninggalan papa kami, seperti piano, biola, bahkan ada juga digadaikan baju-baju beliau, dan sebagian dijadikan pakaian kami. Sampai sekarang tidak ada lagi peninggalan, kecuali satu lemari sebagai kenangan perkawinan," tambah Sudarman.

Menurutnya, Chatib tidak suka mengemis dan meminta-minta, setia kawan, mudah bergaul, dan sifat inilah yang menurun ke anak-anaknya.

"Kami tidak boleh mengemis, tidak boleh memanfaatkan nama orangtua. Kami baru tahu sejarah papa kami, setelah mama meninggal. Dari situlah kami tahu, bahwa papa betul-betul murni sebagai pejuang," katanya.

Oleh karena itu, hingga kini keluarga pun sangat berharap Chatib Sulaiman diangkat menjadi pahlawan nasional.

Chatib Sulaiman (tengah) bersama anaknya, Syahrir sekitar tahun 1945 dan foto Syahrir saat dewasa (Dokumen Keluarga) (Antara/Iggoy El Fitra)


Menuju Pahlawan Nasional

Sudarman menjelaskan, rencana pengajuan Chatib Sulaiman sebagai pahlawan nasional sudah dilakukan sejak tahun 1974.

"Kemudian tahun 1975, datang tim dari departemen pendidikan ke Padangpanjang, meneliti sejarah Chatib Sulaiman. Berdasarkan itulah, melalui departemen sosial diajukan sebagai pahlawan Nasional," jelasnya.

Sudarman melanjutkan, pada 1976, dipertanyakan realisasinya seperti apa. Waktu itu diusulkan tiga dari Sumbar, yakni Rahmah El Yunusiyah, Chatib Sulaiman, dan Bagindo Aziz Chan.

"Ternyata pada saat itu tidak satu pun yang lolos jadi pahlawan nasional. Kemudian pada tahun 1995, papa diberi penghargaan bintang mahaputera, setelah itu tidak terdengar lagi kabarnya," kata Sudarman.

Pada tahun 2019, kata Sudarman, kembali ada dorongan dari keluarga dan pihak terkait untuk mengangkat Chatib Sulaiman sebagai pahlawan nasional, maka diadakanlah seminar pertama di Padang.

"Ketika seminar itu, tidak ada dari Kementerian Sosial yang datang, lalu Pemkot Padangpanjang melanjutkan menggelar seminar karena ingin ikut mendukung pengajuan pahlawan nasional Chatib Sulaiman," tambahnya

Setelah dikaji, nama Chatib Sulaiman lolos untuk diajukan di tingkat nasional, disusul dengan Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) yang melakukan verifikasi lapangan ke Padangpanjang dan Kabupaten Limapuluh Kota.

Tahun 2020, pihaknya menerima surat dari Kemensos agar keluarga menyiapkan identitas dari ahli waris dan foto Chatib Sulaiman sebanyak tiga buah.

"Ini sudah dipenuhi, menurut hemat kami, pengusulan ini sudah sampai kepada dewan gelar, nanti dari dewan gelar akan mengajukan kepada presiden. Hingga kini tidak ada kendala, karena tidak ada lagi permintaan dari Kemensos kepada kami," katanya.

Namun ternyata, pada tahun 2021 tidak ada nama Chatib Sulaiman sebagai pahlawan nasional yang diumumkan Presiden Joko Widodo.

Hal tersebut karena berkasnya terlambat dimasukan, sehingga nama Chatib tidak masuk ke tim presiden, tambah Sudarman.

"Sekarang yang diperlukan adalah dorongan dari Gubernur Sumbar untuk diusulkan kembali sebagai pahlawan nasional, jangan sampai terlambat lagi. Ini harus diusulkan tiap tahun, karena setiap provinsi banyak juga yang mengusulkan. Kalau Sumbar tidak mengusulkan, akan hilang namanya," jelas Sudarman.

Pemerhati Sejarah, Fikrul Hanif mengatakan, Chatib Sulaiman sudah sangat layak disebut sebagai pahlawan nasional , didasari dengan perjuangan yang sudah dilakukannya untuk Sumatera Barat dan Indonesia.

"Chatib Sulaiman adalah Ketua Markas Pertahanan Daerah (MPRD) yang tewas dalam tugas negara, untuk memimpin rapat konsolidasi organ perjuangan PDRI pada 15 Januari 1949 di Lurah Kincia, Nagari Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluhkota," kata Fikrul.

Fikrul melanjutkan, Chatib tewas dan tetap mempertahankan dokumen negara, maupun surat perintah dari Gubernur Militer Sutan Moh. Rasjid.

"Bila ditelisik jauh ke belakang, Chatib adalah otak di belakang lahirnya Kepanduan Indonesia Muslim (KIM), Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI BARU Sumatera Barat, Merapi Institut, Koperasi untuk Tani dan Nelayan di bawah PT. Bumiputra, Gyugun, Pemuda Nippon, Volksfront, dan penggerak perjuangan semesta masa PDRI 1948-1949," jelasnya.

Menurut Fikrul, kendala pengajuan sebagai pahlawan nasional pada 2021 karena surat rekomendasi dari Gubernur Sumbar terlambat masuk ke Tim TP2GD Kemensos

"Semua persyaratan yang berhubungan dengan anugerah calon pahlawan nasional sudah dipenuhi, peluangnya ada di tahun selanjutnya," katanya.

Fikrul melanjutkan, Chatib Sulaiman mempunyai andil besar dalam benang merah yang mengantarkan Republik Indonesia di masa darurat, lewat taktik perjuangan semesta yang diilhami dari Tan Malaka.

Ide yang Chatib gerakkan dalam Gyugun, kata Fikrul, terbukti menjadi organ utama dalam pembentukan TNI di masa kemerdekaan.

"Untuk Sumatera Barat , ia menggerakkan nasionalisme dan melepas sekat tabu Islam-Nasionalis lewat Kepanduan Indonesia Muslim dan PNI BARU. Sumbangsihnya dalam pendidikan masih tetap lestari dengan masih berkiprahnya Merapi Institut di Padangpanjang," jelasnya.

Dengan seabrek perjuangan dan gerakan yang sudah dilakukan, masih banyak yang belum tahu siapa Chatib Sulaiman kecuali hanya sebatas nama jalan dua jalur di Kota Padang.

Fikrul mengusulkan agar dilakukan sosialisasi mengenai Chatib Sulaiman di tingkat perguruan tinggi, terutama jurusan sejarah melalui mahasiswa calon periset, pamong, dan guru sejarah.

"Dinas Pendidikan juga berperan dalam menambah muatan lokal untuk siswa SD - SMA, untuk persoalan bela negara dan perjuangan Chatib, bisa saja melalui penggarapan tayangan Chatib, penulisan artikel/buku/skripsi/tesis mengenai Chatib dan ranah kelahirannya di Nagari Sumpu," terangnya.

Diketahui, jika ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Chatib Sulaiman merupakan yang pertama sebagai pahlawan nasional dari Tanah Datar.

Bupati Tanah Datar Eka Putra menyatakan akan menjadi garda terdepan memperjuangkan usulan Chatib Sulaiman menjadi pahlawan nasional.

Seluruh syarat seorang pahlawan nasional, katanya, dimiliki oleh pejuang asal Nagari Sumpu itu, sehingga tidak ada alasan tidak ditetapkan menjadi pahlawan nasional.

"Beliau hidup untuk negara ini. Memimpin pergerakan, membentuk barisan untuk melawan penjajah. Beliau wafat juga karena negara ini. Untuk memimpin pertempuran menghadapi Belanda yang kembali datang merongrong kemerdekaan yang sudah diraih. Chatib Sulaiman layak jadi pahlawan nasional," jelas Eka Putra.

Eka Putra menjelaskan, selama ini dia mengetahui Chatib Sulaiman hanya sebagai nama jalan di Kota Padang dan tokoh dalam peristiwa Situjuh. Namun, setelah menjadi Bupati Tanah Datar dia mengetahui bahwa Chatib Sulaiman berasal dari Tanah Datar.

"Oleh karena itu, saya yang akan berada di garis depan berjuang agar Chatib Sulaiman ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional," ujar Eka.

Menurut Eka, semua syarat khusus mendapat gelar pahlawan nasional sudah dipenuhinya, di antaranya, pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik dan bidang lainnya untuk mencapai, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

"Beliau memimpin perjuangan politik untuk merebut kemerdekaan. Beliau memimpin perjuangan bersenjata ketika mempertahankan kemerdekaan," kata Bupati terpopuler di Indonesia versi Indonesia Indicator (I2) itu.

Eka Putra menambahkan, agar perjuangan ini membuahkan hasil, segala sesuatunya harus disiapkan. Pertama tentu saja harus ada usulan dari elemen masyarakat kepada bupati, untuk selanjutnya diteruskan kepada dinas sosial provinsi.

"Kemudian usulan ini akan diteruskan Dinas Sosial Provinsi kepada Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). Kalau oke, selanjutnya Gubernur yang akan merekomendasikan ke Menteri Sosial RI. Kalau lulus verifikasi baru diajukan ke presiden. Tahapan ini harus kita ikuti, jangan sampai ada yang tercecer," jelas Eka.

Rumah Gadang peninggalan Chatib Sulaiman di Nagari Sumpu, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. FOTO ANTARA/Iggoy el Fitra (Antara/Iggoy El Fitra)


Syahrir, Anak Sulung Chatib

Menantu Chatib Sulaiman yang juga Istri anak sulungnya, Syahrir, Emli Burhanudin (68) mengaku suaminya itu sangat dendam dengan tentara Belanda yang menembak Chatib.

Sangat berkesan sekali olehnya, kata Emli, pasca ayahnya tewas ditembak oleh Belanda, peristiwa itu terjadi waktu subuh saat akan mau mengambil wudhu.

"Kalau ndak dibunuh dek Balando tu, kan masih barayah juo den baru. Dendam bana den ka Balando, kok adoh juo Balando tu kini masih bisa lah den malawan (Kalau tidak dibunuh oleh tentara Belanda, sampai sekarang saya masih punya ayah. Dendam sekali saya, kalau Belanda masih ada masih bisa saya melawan)," kata Emli, menirukan apa yang pernah disebut suaminya itu.

Syahrir merupakan anak pertama dari hasil pernikahan Chatib Sulaiman dan Zubaidah, dilahirkan tahun 1940 di Sumpu dan meninggal tahun 1998.

Diberi nama Syahrir, kata Emli, karena Chatib Sulaiman terinspirasi dengan Sutan Sjahrir

Emli mengatakan sebelum Chatib meninggal, Syahrir diamanahkan oleh ayahnya itu agar merawat adik-adiknya yang masih kecil, yakni anak Chatib dari istri yang tinggal di Padangpanjang.

Sedangkan adik kandung Syahrir, Nurcaya, meninggal pada usia remaja.

"Ketika Tek Dar (Yunidar) masih hidup, kami sering berkunjung ke Padangpanjang untuk silaturahmi, namun setelah Tek Dar meninggal, sudah jarang," kata Emli.

Emli merupakan warga Sumpu, namun kini tinggal di Pekanbaru, Riau, bersama anak-anaknya.

Ia mengaku, tidak ada perhatian terutama pemerintah kepada suaminya yang merupakan anak sulung Chatib Sulaiman.

"Masak iya cucu Chatib Sulaiman tidak ada yang melanjutkan sekolahnya. Kata orang, saya disuruh minta tolong sama pemerintah agar membantu kami, tapi saya tidak pandai mengurus itu," kata Emli.

Emli menduga, mungkin banyak yang mengganggap Chatib Sulaiman itu orang Padangpanjang, sehingga kami di sini tidak dianggap.

Selepas Chatib meninggal, tambah Emli, memang banyak teman-teman seperjuangan Chatib yang ingin membantu Syahrir untuk bersekolah, bahkan ada penawaran sekolah ke Jepang.

"Tapi karena Syahrir satu-satunya anak, ibu Zubaidah tidak mau melepaskannya," kata Emli.

Syahrir sempat menjadi Kepala Desa Limo Jorong di Sumpu sekitar tahun 1994, setelah itu menjadi petani.

Emli berharap, agar rencana pendirian tugu mengenang Chatib Sulaiman di Sumpu diwujudkan, agar orang-orang tahu ayah Syahrir itu berasal dari Sumpu.

Ya, dari Rumah Gadang yang atapnya menyembul di antara rimbun pohon sawo. Dari jendela, dulu barangkali Chatib pernah melepaskan pandang ke luar atau menyapa orang kampung yang lewat.

Kini hening. Sudarman meletakkan kembali foto ayahnya di dinding. Membetulkan letaknya yang semula miring. Ia beranjak pulang, diiringi derik lantai rumah gadang.