Benarkah vaksin COVID-19 tidak aman ?

id vaksinasi covid,penanggulangan covid,vaksin sinovac,berita padang, berita sumbar

Benarkah vaksin COVID-19 tidak aman ?

Arsip Foto. Petugas kesehatan menyiapkan vaksin COVID-19 dalam pelaksanaan vaksinasi tahap pertama di Puskesmas Jurang Mangu, Kota Tangerang Selatan, Banten, Jumat (15/1/2021). (ANTARA FOTO/FAUZAN)

Padang (ANTARA) - Upaya penanggulangan COVID-19 di Indonesia memasuki babak baru pada 13 Januari 2021, ketika pemerintah mulai melaksanakan vaksinasi untuk memutus mata rantai penularan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus SARS-CoV-2.

Presiden Joko Wododo, pejabat pemerintah pusat dan daerah, pemuka agama, tokoh masyarakat, hingga selebritas seperti Raffi Ahmad termasuk dalam kelompok orang yang pertama mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 buatan Sinovac, perusahaan farmasi di China.

Di Sumatera Barat, vaksinasi COVID-19 mulai dilaksanakan pada 14 Januari 2021. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno dijadwalkan menjalani vaksinasi, namun batal karena ada kendala kesehatan. Kondisi serupa terjadi pada Wali Kota Padang Mahyeldi.

Vaksinasi COVID-19 terhadap para pejabat, pemuka agama, pemuka masyarakat, dan selebritas tidak langsung menghentikan pro dan kontra yang mengemuka di kalangan masyarakat mengenai vaksin COVID-19.

Dalam Diskusi Pangilun yang digelar secara virtual oleh Keluarga Besar Perhimpunan Pelajar Islam Sumatera Barat di Padang pada 16 Januari 2021, pertanyaan-pertanyaan seputar keamanan vaksin dan keraguan mengenai pilihan vaksin mengemuka.

Pada acara diskusi mengenai kontroversi dan disinformasi perihal vaksinasi COVID-19 itu, muncul pertanyaan seperti apakah vaksin yang digunakan sudah pasti aman, apakah vaksin yang diberikan kepada Presiden dan para pejabat sama dengan vaksin untuk rakyat biasa, serta mengapa pemerintah memilih menggunakan vaksin buatan perusahaan China.

Selain itu mengemuka pula pertanyaan mengenai berapa lama vaksin COVID-19 bisa melindungi tubuh serta mengapa ibu hamil dan menyusui dan penderita penyakit berat tidak boleh divaksin.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa sebagian warga belum memahami mekanisme vaksinasi dan kebijakan pemerintah dalam melaksanakan vaksinasi untuk menanggulangi penularan COVID-19.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Sumatera Barat Jasman Rizal berpendapat, pro dan kontra perihal vaksinasi COVID-19 muncul karena warga terlalu banyak membaca informasi yang beredar di media sosial, yang tidak semuanya bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

"Sebenarnya vaksin atau imunisasi itu hal biasa dan sudah ada sejak lama, namun karena penerimaan masyarakat terhadap berita dan menyaring informasi tidak sama akhirnya terjadi gonjang ganjing," kata dia.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Sumatera Barat itu mengatakan bahwa disinformasi masih terjadi meski pemerintah sudah melakukan sosialisasi mengenai pelaksanaan vaksinasi COVID-19.

"Ada yang mengatakan setelah vaksin akan lumpuh, bahkan ada yang bilang berbulu badannya atau alat vital ukuran bertambah. Di sini diminta kecerdasan masyarakat memilah informasi yang ada," katanya.

Ia mengemukakan pentingnya warga mengedepankan logika dan rasionalitas dalam membaca informasi perihal vaksin.

"Vaksin adalah persoalan sederhana, manusia sejak bayi sudah divaksin tapi tidak ada yang ribut, jadi kalau menerima informasi apapun ditelaah dulu," ujarnya.

Guna meyakinkan masyarakat yang sebagian mengalami kebingungan akibat simpang siur informasi yang beredar mengenai vaksinasi COVID-19, para pejabat pemerintah, pemuka agama, pemuka masyarakat, dan selebritas dimasukkan dalam deretan penerima pertama vaksin.

Jasman termasuk dalam kelompok orang yang pertama divaksin di Sumatera Barat.

"Yakinlah, pemerintah tidak akan mungkin mencelakakan masyarakat. Kalau soal status halal, MUI sudah menyatakan halal dan saya ikut ulama," kata dia.

Kerja Vaksin

Saat kuman dan virus, termasuk virus penyebab COVID-19, menyerang tubuh manusia dan menggandakan diri, mereka menyebabkan infeksi yang menimbulkan penyakit.

Sistem kekebalan tubuh manusia menggunakan beberapa alat untuk melawan infeksi, termasuk di antaranya sel-sel darah putih di dalam darah.

Sel-sel darah putih melawan infeksi dengan cara yang berbeda.

Sel darah putih yang disebut makrofag menelan dan mencerna kuman/virus serta sel-sel yang sekarat dan mati. Makrofag meninggalkan bagian-bagian kuman yang disebut antigen. Tubuh akan mengidentifikasi antigen sebagai bahaya dan merangsang antibodi untuk menyerang mereka.

Sel darah putih yang disebut sel limfosit B menjalankan fungsi pertahanan dengan menghasilkan antibodi yang menyerang bagian virus yang ditinggalkan oleh makrofag dan tipe sel darah putih lain yang disebut sel limfosit T akan menyerang sel-sel tubuh yang sudah terinfeksi.

Vaksin akan membantu tubuh membentuk kekebalan terhadap virus, termasuk virus penyebab COVID-19, tanpa mengakibatkan kesakitan.

Menurut informasi yang disiarkan di laman resmi Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat, tipe vaksin yang berbeda bekerja dengan cara yang berbeda dalam memberikan perlindungan.

Kendati demikian, vaksin-vaksin tersebut membuat tubuh memiliki suplai sel memori berupa sel limfosit T dan sel limfosit B yang mengingat cara untuk melawan virus tersebut.

"Pada fase awal, ketika vaksin masuk ke tubuh manusia, antibodi akan terbentuk dan bertahan selama empat sampai enam bulan namun sel memori sebagai pengingat akan tetap ada," kata ahli kedokteran Universitas Andalas Padang Dr Andani Eka Putra.

Butuh beberapa pekan bagi tubuh untuk menghasilkan sel limfosit T dan sel limfosit B, karenanya ada kemungkinan orang bisa terinfeksi virus beberapa saat sebelum atau sesudah vaksinasi dan kemudian sakit karena vaksin tidak punya cukup waktu untuk memberikan perlindungan.

Andani, yang menjabat sebagai Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Terpadu Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, mengemukakan bahwa vaksinasi merupakan bagian dari upaya penanggulangan COVID-19.

Ia yakin, vaksin COVID-19 yang digunakan pemerintah dalam vaksinasi aman karena telah melalui pengujian keamanan.

"Kalau ditanya apakah vaksin aman saya akan katakan Insya Allah aman karena sudah melewati fase I dan II. Sejak uji fase I dan II keamanan vaksin sudah bisa terlihat," katanya.

"Kalau keberhasilannya 30 persen maka 30 persen terlindungi, jika 60 persen maka 60 persen terlindung dan baru akan bisa dilihat setahun ke depan (hasilnya)," ia menambahkan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), ia melanjutkan, juga sudah mengeluarkan fatwa mengenai kehalalan vaksin COVID-19 buatan Sinovac yang digunakan pemerintah dalam vaksinasi tahap pertama.

"Saya tidak terlalu pusing memikirkan ini. Kalau pun ternyata ada kandungan zat yang tidak halal, saya memutuskan tetap melakukan vaksin dengan pertimbangan dalam keadaan darurat," ujarnya.

Mengenai efek samping vaksinasi COVID-19, ia mengemukakan bahwa semua vaksin punya efek samping.

"Jangan katakan vaksin tidak ada efek samping. Yang paling ringan adalah rasa sakit saat disuntik, lalu ada efek gatal, bengkak, merah, mual, dan sakit kepala. Bahkan untuk efek samping berat bisa pingsan," katanya.

"Yang diantisipasi adalah penanganannya," ia menambahkan.

Dia menekankan vaksinasi tidak akan serta merta menyelesaikan masalah penularan COVID-19.

"Jangan mengantungkan semua pada vaksin karena vaksin hanya salah satu dari lima pilar penanganan COVID-19 yaitu edukasi, tracing (pelacakan) dan testing, pelayanan di rumah sakit, dan penegakan hukum," katanya.

Meski vaksinasi sudah dilaksanakan, upaya-upaya penanggulangan dan pencegahan lain termasuk penerapan protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19 harus tetap dijalankan.