Menebas bibit radikalisme dengan silek tradisi

id silek,radikalisme,terorisme

Menebas bibit radikalisme dengan silek tradisi

Murid sekolah dasar menampilkan atraksi Silek Minangkabau, di Lab School UNP, Padang, Sumatera Barat, Kamis (27/2/2020). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.

Padang (ANTARA) - Peluh dan pasir bergelimang mengotori pakaian hitam longgar bocah-bocah yang bergerak lincah di bawah sinar lampu 60 watt, nun di sudut kampung di

pinggiran Kota Padang, Sumatera Barat. Bau bacin terendus samar, tapi tak seorangpun yang peduli.

Kaki-kaki kecil itu terus bergerak. Tidak terlalu cepat bahkan cenderung lembut. Seperti memiliki alur mandiri. Seolah menyusuri harmoninya sendiri.

Pitunggua, begitu kesatuan kerak itu biasa disebut. Yaitu konsep keseimbangan menyeluruh dalam Silek Minangkabau.

Beberapa bocah yang merasa melakukan kesalahan, mengulangi lagi gerak itu mulai dari kudo-kudo (kuda-kuda), gelek (mengubah posisi tubuh tanpa

berpindah tempat), balabek (gerak tangan yang melindungi tubuh), sanding (gerak menggunakan sudut-sudut yang tajam pada tubuh seperti siku) hingga

gajabau (gerak yang menghasilkan bunyi seperti bertepuk).

Makin malam, peluh makin menganak air. Tubuh makin licin oleh keringat. Namun semangat masih terpancar dari wajah-wajah itu. Wajah penuh

antusiasme kanak-kanak yang menyerap semua hal baru seperti sebuah spons. Akankah nanti mereka yang akan mewarisi harmonisasi “keseimbangan”

gerak lahir dan kekuatan batin Silek Minangkabau?

Ataukah nanti nasib akan membawa mereka tersesat dalam kekerasan, bahkan lebih buruk lagi misalnya, radikalisme? Terorisme?

Praktisi dan peneliti Silek Minang, Buya Zuari Abdullah menilai generasi muda Minangkabau yang belajar dan memahami silek sejak dini, cenderung akan

lebih berhati-hati dalam melangkah, arif dan bijaksana sehingga kemungkinan untuk terperosok ke dalam jurang radikalisme apalagi terorisme, sangat kecil

bahkan mungkin bisa dikatakan tidak ada.

Lahie silek silaturahmi, batin silek mangana diri (Lahir silat silaturahim, batin silat mengenal diri sendiri). Inilah filosofi yang menjadi pondasi atas

pembentukan sikap dan kearifan tersebut.

Semakin dalam menggali tentang Silek Minang, akan semakin dalam pula pencarian tentang tujuan sejati kehidupan. Untuk mencari tujuan kehidupan

manusia harus mencari jati diri. Untuk mencari jati diri, manusia harus tetap memelihara tanya, dari mana, sedang di mana dan hendak ke mana.

Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi alarm dalam diri agar tidak terperosok pada ajaran-ajaran yang salah yang berdasarkan pada pemahaman-

pemahaman yang dangkal pada agama seperti radikalisme dan terorisme.

Selain silek, orang Minangkabau juga punya “modal” lain yang juga memiliki “vaksin” anti radikalisme. “Vaksin” itu bernama sifat egaliter.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengatakan seorang pemimpin di Minangkabau benar-benar hanya “ditinggikan seranting”. Tidak ada penghormatan

berlebihan apalagi pemujaan yang buta terhadap orang. Semua dianggap sederajat. Sikap itu membuat ajaran-ajaran yang mengkultuskan seseorang

menjadi tidak laku di Sumbar.

Silek Minangkabau makin meranggas di telan zaman

Seperti pohon tua meranggas menunggu mati. Seperti itulah ibarat Silek Minangkabau saat ini. Meski masih ada juga yang mempelajari, namun sudah tidak

banyak lagi.

Semakin lama Silek Minangkabau semakin ditinggalkan terutama oleh generasi muda. Generasi yang sebenarnya paling diharapkan mewarisi kekayaan

budaya dan tradisi itu.

Buya Zairi Abdullah menyebut penilaian yang salah terhadap silek yang dianggap terlalu lembut, membuat generasi muda lebih memilih bela diri full

contack
yang terkesan lebih kuat.

Padahal, dalam kelembutan Silek Minangkabau itu tersimpan energi besar yang bisa lepas kapan saja. Yang bisa menggulung, melipat patah bahkan

melumat tanpa ampun.

Ia meyakini, setelah lebih dari 20 tahun meneliti Silek Minangkabau, aliran bela diri itu tidak akan kalah dari jenis bela diri manapun di dunia.

Generasi muda yang menginginkan hasil yang serba instan juga menjadi salah satu latar belakang Silek Minangkabau mulai ditinggalkan.

Begitu dalamnya nilai-nilai yang terkandung di dalam silek tidak mungkin bisa direguk dalam sebulan dua bulan saja. Butuh berbilang tahun untuk

memasakkan pemahaman tentang silek. Hal itulah yang tidak sanggup dijalani oleh sebagian besar generasi muda yang berharap hasil instan.

Tampuak/Ketua Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah, Irwandi Pandeka Tareh Batimba mengakui pula kondisi yang memiriskan itu. Silek

tradisi Minangkabau sudah benar-benar berada di ujung tanduk. Tinggal menunggu waktu hingga ia menjadi sejarah, lelap dalam buku-buku dan cerita

menjelang tidur.

Tuo-tuo silek di negeri itu, yang telah "masak" pengetahuan dan pemahamannya tentang beladiri tradisi juga sudah semakin jarang ditemui. Di seantero

Minangkabau saat ini menurut Pandeka Tareh Batimba, hanya tinggal puluhan orang saja tuo-tuo silek itu yang masih hidup.

Jika mereka dipanggil oleh Sang Pemberi Hidup, maka lenyap pula tempat bertanya jalan "pamutuih kaji" (menamatkan pelajaran). Hilang pula penjaga

tradisi turun temurun dari nenek moyang orang Minangkabau itu. Ratusan aliran silek di Minangkabau akan putus turunan.

Ironisnya menurut Pandeka Tareh Batimba, silek tradisi itu malah tumbuh subur di luar negeri. Setidaknya ada 20 ribu orang murid Silek Tradisi

Minangkabau di luar negeri. Angka yang mencengangkan mengingat beladiri itu sudah hampir punah di negeri sendiri.

Sebagian dari murid-murid dari luar negeri itu malah menyempatkan diri untuk "pulang" ke Sumbar. Ke Ranah Minang. Mencari tuo silek, mencari jalan

untuk memutus kaji menamatkan pelajaran.

Dalam duapuluh atau limapuluh tahun ke depan, mungkin generasi Minangkabau yang "tiba-tiba" timbul kesadaran ingin belajar silek tradisi, harus terbang

ke London, Paris atau ke AS, tempat beladiri itu berkembang pesat.

"Alangkah malangnya kita bila itu benar-benar terjadi," kata Tampuak Pahimpunan Tuo Silek Minangkabau Luak Limopuluah itu. Matanya menerawang

langit. Gelap. Segelap masa depan Silek Tradisi Minangkabau yang mengawang-awang di depan mata.

Angin segar untuk silek, angin segar untuk kontra radikalisme

Perda Nomor 1 Tahun 2020 di Sumatera Barat terkait Budaya Minangkabau memberi angin segar untuk pelestarian silek di kampung asalnya.

Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Gemala Ranti mengatakan aturan perundang-undangan itu memungkinkan silek masuk dalam kurikulum muatan lokal

Budaya Alam Minangkabau (BAM) mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga SMA.

Wacana itupun akan bisa melibatkan sasaran-sasaran silek yang ada di berbagai daerah di Sumbar untuk menjadi pelatih di sekolah-sekolah sehingga

tercapai simbiosis mutualisme. Generasi muda Sumbar akan kembali mengenal nilai-nilai silek sebagai budaya daerah, sementara sasaran juga tidak akan

kekurangan murid lagi.

Namun, meskipun landasan hukum sudah ada, namun kepastian masuknya silek dalam kurikulum masih harus menunggu kajian lebih lanjut. Butuh

“campur tangan” pihak-pihak yang peduli terhadap generasi muda bebas radikalisme untuk mendorongnya terealisasi.

Hal itu penting untuk segera dilaksanakan karena Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar mengungkap data statistik bahwa saat ini generasi muda adalah

target dari kelompok teroris untuk ikut dalam aksi kejahatan teror. Generasi muda ini diperdaya sehingga seolah-olah melaksanakan misi khusus.

Segala upaya mesti dilakukan untuk membendung pengaruh negatif itu supaya tidak ada generasi muda Indonesia yang harus berhubungan dengan hukum

berkaitan dengan kejahatan terorisme.

Begitulah. Besar harapan generasi yang “melek” Silek Minangkabau itu nantinya akan bisa menjadi generasi emas yang arif bijaksana. Yang tak terjerumus

dalam jurang bernama radikalisme dan terorisme.*