Padang (ANTARA) - Selagi waras, rasanya tidak ada orang yang berharap untuk sakit, apalagi sakit parah yang bisa merenggut jiwa.
Semua ingin sehat-sehat saja. Bisa bekerja, berkumpul dengan berkeluarga. Sesekali menikmati liburan. Bahagia.
Tapi bak kata pepatah, untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak. Kadang mereka yang sudah benar-benar memproteksi diri agar tidak sakit, malah sakit parah. Sementara mereka yang abai, malah sehat-sehat saja.
Itu pula yang terjadi pada Rona Meiga Fitria (37) di Padang, Sumatera Barat. Ia yang tidak kemana-mana. Menghabiskan sebagian besar waktu mengaduk adonan kue di rumah dinyatakan positif COVID-19. Sementara banyak orang yang berseliweran di luar bahkan kadang tanpa masker, terlihat sehat-sehat saja.
Ia harus menghabiskan 13 hari dalam ruang isolasi di Rumah Sakit Unand. Berjuang melawan sesak nafas, tensi "drop", pusing dan muntah-muntah. Semua itu harus dihadapi sendirian dalam kamar isolasi tak berjendela, tanpa sanak keluarga yang bisa mendampingi.
Sungguh, bila membayangkan kembali masa-masa itu ia tidak tahu bagaimana bisa kuat menghadapinya. Beruntung ia masih memiliki keluarga dan sahabat yang terus menyemangati melalui telepon dan video call, satu-satunya saluran komunikasi yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar.
Beruntung pula perawat dan dokter di RS Unand memberikan pelayanan yang sangat baik hingga ia serasa memiliki teman di ruang isolasi.
Namun ternyata cobaan COVID-19 itu tidak berhenti begitu ia dinyatakan sembuh setelah dua kali tes swab PCR dengan hasil negatif.
Cobaan itu masih berlanjut di rumah, tempat yang ia kira paling nyaman di atas dunia setelah keluar dari RS. Tempat yang seharusnya ia bisa bercengkrama dengan "dunsanak" dan sahabat, mengobat sepi yang berkarat dalam isolasi.
Tiba-tiba ia merasa isolasi menjadi lebih riuh dibanding di rumah. Setidaknya saat isolasi, ponselnya tiap sebentar berdering. Banyak simpati yang mengalir menghangatkan hati. Tapi di rumah? Selain suami dan anak-anak, ia serasa hidup di dunia yang asing.
Orang-orang seperti mengelak. Menghindar. Anak-anak tetangga tiba-tiba berlari kencang seolah melihat setan saat melintasi rumahnya. Orang yang lewat serasa hanya melempar senyum basa-basi.
Apakah mereka mengira ia telah berubah menjadi sarang virus yang bisa menginfeksi siapa saja. Bahkan hanya dengan sekadar lewat di depan rumahnya?
Bagaimanapun ia merasa telah benar-benar sehat. Hasil swab PCR memastikan ia negatif COVID-19. Sederhananya virus itu tidak terdeteksi lagi dalam tubuhnya. Lalu apa yang akan ia tularkan pada orang-orang itu?
Kenyataan itu membuatnya benar-benar sedih. Apalagi, anaknya yang tertua, yang barusia sembilan tahun ternyata juga mendapatkan perlakuan yang sama dari teman-temannya.
Suatu kali saat pulang mengaji di TPA di masjid dekat rumah, sang anak bercerita tentang teman-temannya yang tidak lagi mau membawanya bermain. Anaknya disebut kena corona. Duh!
Padahal saat ia dinyatakan positif, seluruh keluarga, suami dan anak-anaknya telah tes swab PCR dan dinyatakan negatif COVID-19.
Beruntung guru mengajinya di masjid cukup paham arti negatif COVID-19 itu. Ia masih bisa ikut mengaji saban sore, meski tidak berkawan lagi.
Beruntung pula sang anak sepertinya tidak terlalu mempersoalkan semua itu. Ia tetap pergi mengaji setiap hari. Ia tetap terlihat ceria saat bermain dengan adiknya. Teman satu-satunya saat ini.
Stigma negatif yang terlanjur melekat itu seolah menjadi beban bagi Rona untuk bangkit dari keterpurukan dan memulai kembali segalanya dari bawah.
Selama isolasi di RS hingga benar-benar pulih setelah istirahat di rumah, usaha kuenya otomatis terhenti. Memulai kembali setelah hampir sebulan lebih vakum, bukan perkara mudah. Namun ia optimistis, dengan kerja keras semua bisa diatasi.
Ia ingin membuktikan bahwa "alumni" COVID-19 bukan orang yang harus ditakuti, tetapi orang yang patut dihargai dengan semua kerja kerasnya.
Stigma negatif terhadap "alumni" COVID-19 dan keluarganya itu ternyata tidak hanya dirasakan Rona. Teman satu ruangannya saat isolasi asal Agam, Era (43) juga merasakan kondisi yang sama.
Lingkungan sekitar tidak lagi sama seperti saat sebelum ia dinyatakan positif COVID-19. Tidak banyak lagi teman yang datang bertamu. Tidak ada simpati.
"Padahal kita yang seharusnya takut dengan mereka. Kita sudah tes swab PCR dan pasti negatif COVID-19. Mereka kan belum tentu bagaimana kondisinya? Jangan-jangan malah OTG. Orang positif COVID-19 tapi tanpa gejala?"- Begitu ia terus memotivasi diri.
Ia kemudian jadi cuek dengan kondisi lingkungan. Bodo amat. Asal suami dan anak-anak masih sayang, yang lain ia jadi tidak peduli lagi.
Ia tetap saja melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa. Mau orang menghindar, mau orang menjauh, ia tidak peduli. Asalkan tidak mengganggu diri dan keluarganya, itu sudah cukup.
Namun bila ada yang terang-terangan menuding jelek diri dan keluarganya, ia akan dengan senang hati memberi ceramah "2 SKS". Sekadar memberikan pemahaman pada orang-orang yang tak tahu, tapi sok tahu itu bahwa pasien COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh, tidak bisa menularkan virus. Tidak perlu ditakuti.
Pasien COVID-19 asal Payakumbuh, H Desmon juga pernah mendapatkan perlakuan kurang mengenakkan saat isolasi mandiri di rumah. Pernah ada penjual makanan yang datang ke rumahnya mendapatkan perlakuan tidak bagus dari masyarakat sekitar.
Padahal hubungan sosial yang buruk oleh stigma "alumni" COVID-19 itu malah akan berpengaruh negatif pada kejiwaan mereka yang telah menjadi korban coronavirus.
Begitulah. Korban COVID-19 tidak hanya harus berjuang melawan virus, tapi juga harus berjuang untuk bisa kembali hidup normal di tengah stigma jelek masyarakat.
Ironisnya mereka, yang entah sengaja entah tidak, ikut menyisihkan "alumni" COVID-19 itu, sebagian adalah orang yang mengaku tidak percaya adanya coronavirus (SARS-COV2). Mereka yang dengan santai tidak menggunakan masker kemana-mana lalu menuding Rumah Sakit (RS) lah yang latah meng-COVID-19 kan pasien.
Tidak percaya COVID-19 tetapi ikut menyisihkan "alumni" COVID-19. Tidakkah itu sebuah ironi?
Salah satu solusi yang saat ini bisa dilakukan adalah saling menguatkan sesama "alumni" COVID-19. Saling berkomunikasi lewat telepon dan media sosial. Saling memetik hikmah dari tekanan yang mereka rasakan.
Rona, Era dan H Desmon hanyalah tiga orang yang merasakan stigma buruk "alumni" COVID-19 itu. Mungkin saja cerita sedih itu tidak hanya dirasakan oleh mereka? Mungkinkah ada korban stigma lain?
Juru Bicara COVID-19 Sumbar, Jasman mengakui pemahaman masyarakat terhadap coronavirus masih belum merata. Masih cukup banyak masyarakat yang salah memahami cara penyebaran, antisipasi hingga perlakuan pada pasien positif dan keluarganya. Banyak juga yang abai dengan bahaya COVID-19. Bahkan ada pula yang tidak percaya.
Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan lain menurutnya telah berupaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa COVID-19 berbahaya, tetapi bukanlah aib.
Masyarakat seharusnya memberikan dukungan pada keluarga yang salah satu anggotanya positif COVID-19, bukannya malah menjauhi atau malah memberikan stigma buruk. Dukungan dari masyarakat itu akan mendorong pasien positif COVID-19, terutama yang menjalani isolasi mandiri di rumah untuk cepat pulih kembali.
Dari beberapa orang pasien yang berhasil sembuh dari COVID-19, selain obat dan vitamin, menjaga pikiran tetap positif juga menjadi salah satu faktor untuk mempercepat kesembuhan.
Dukungan dari lingkungan sekitar tentu akan bisa menjaga pikiran positif dari pasien tersebut. Sebaliknya jika stigma jelek dilekatkan, tetangga menghindar bahkan menyisihkan, psikologi pasien bisa tertekan hingga memperburuk kondisi.
Namun yang terpenting dari semua itu menurut Jasman adalah menjaga diri dan keluarga dari kemungkinan terpapar COVID-19. Gunakan masker, cuci tangan dan jaga jarak.
Sementara itu, data Kementerian Kesehatan hingga Jumat (2/10) ada 221.340 orang yang berhasil sembuh dari COVID-19 di Indonesia. Di Sumbar hingga Jumat ada 3.424 orang yang sembuh.
Mudah-mudahan tidak ada lagi kisah sedih tentang stigma jelek pada "alumni" COVID-19 seperti yang dirasakan Rona, Era dan H. Desmon itu. Kalaulah ada, tentu patut pula mendapatkan perhatian semua pihak, termasuk pemerintah bagaimana cara menghapus stigma jelek itu agar semua penyintas COVID-19 dan keluarganya bisa bangkit kembali. Bisa hidup normal lagi.
Mungkin tidak harus sekarang saat pemerintah masih fokus untuk menekan angka penyebaran coronavirus yang makin menggila itu.
Mungkin nanti, setelah penyebaran COVID-19 di Sumbar dan di Indonesia mereda. Atau saat vaksin berhasil ditemukan dan pandemi berakhir. *