Pemkot Bekasi Perketat Izin Pendirian Perumahan "Cluster"

id Pemkot Bekasi Perketat Izin Pendirian Perumahan "Cluster"

Bekasi, (Antara) - Pemerintah Kota Bekasi, Jawa Barat, memperketat perizinan pendirian rumah konsep "cluster" di wilayah setempat guna menjamin keseimbangan daya dukung lingkungan. "Sampai sekarang kami belum memberikan batasan terhadap izinnya, sehingga perumahan 'cluster' semakin marak," kata Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, di Bekasi, Minggu. Menurut dia, sejumlah evaluasi terhadap kebijakan yang berkaitan dengan izin pendirian "cluster" akan dilakukan. "Selama ini perizinan pendirian rumah 'cluster' hanya sampai tingkat kecamatan saja sudah cukup, tapi nanti akan kita libatkan instansi di atasnya yakni Dinas Tata Ruang dan Dinas Bina Marga dan Tata Air (Bimarta)," ujarnya. Menurut dia, keterlibatan Dinas Tata Ruang dimaksudkan agar lokasi proyek pembangunan rumah "cluster" tidak berada di lahan yang salah. "Dinas Tata ruang juga akan mengatur tentang program penambahan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH)," katanya. Menurutnya, perumahan dengan konsep satu pintu itu jarang mengalokasikan kebutuhan RTH akibat minimnya lahan. "Sekarang rumah cluster sudah bisa dibangun hanya pada lahan di bawah 300 meter per segi. Bagaimana pengembang akan mengalokasikan lahan RTH," katanya. Sementara dilibatkannya Dinas Bimarta untuk mengatur instalasi air agar tidak mengakibatkan banjir dan merugikan lingkungan sekitar. "Mungkin saat ini dampak negatif dari kehadiran bangunan-bangunan tersebut belum nampak jelas, tapi 15 atau 20 tahun ke depan kita akan rasakan," katanya. Menurut Rahmat, kehadiran pemukiman "cluster" juga turut menyumbang gangguan lalu lintas di sekitar lingkungan. "Kita juga perlu kaji dari aspek lalu lintasnya. Jangan sampai terjadi penumpukan kendaraan di badan jalan akibat pertambahan penduduk di suatu lingkungan," katanya. Secara terpisah, anggota DPRD Kota Bekasi Roy Ahyar mengatakan modus yang biasa dilakukan oknum pengembang untuk menghindari kewajiban menyediakan RTH adalah dengan memecah lahan luas menjadi komplek kecil (cluster). "Misalnya, tanah yang semula luasnya ribuan meter persegi, namun dalam prosesnya tanah tersebut dipecah dijadikan komplek yang berbentuk cluster secara terpisah dengan nama berbeda," katanya. Menurutnya, oknum pengembang demikian telah merugikan pemerintah daerah terkait pengadaan RTH sebesar 40 hingga 60 persen. (*/wij)