Blantyre (ANTARA) - Pemimpin oposisi Malawi, Lazarus Chakwera (65), diumumkan sebagai presiden terpilih dalam pemilu ulang negara itu, Sabtu (27/6), setelah pemilu 13 bulan lalu memenangkan petahana, Peter Mutharika (79).
“Komisi pemilu mengumumkan bahwa Lazarus Chakwera... telah memperoleh jumlah suara mayoritas yang dibutuhkan, sehingga terpilih sebagai presiden,” ujar ketua komisi pemilu Malawi, Chifundo Kachale.
Menurut data komisi pemilu, Chakwera meraih suara sebanyak 58,57% dalam pemungutan suara ulang yang digelar pada Selasa (23/6) lalu.
“Kemenangan ini adalah kemenangan bagi demokrasi. Dan, hati saya dipenuhi kegembiraan,” kata Chakwera usai pengumuman.
Sementara itu, Mutharika dihadapkan pada dua pilihan, yakni mengajukan banding di pengadilan atas hasil pemilu atau menerima kekalahannya tersebut.
Para analis politik menilai bahwa pemungutan suara ulang di Malawi itu merupakan pengujian terhadap kemampuan pengadilan-pengadilan di Afrika untuk menangani kecurangan pemilu dan membatasi kekuasaan presiden.
Pada Februari, dewan pengadilan membatalkan hasil pemilu presiden Mei 2019 yang menyatakan Mutharika kembali terpilih untuk periode kedua dengan alasan terdapat ketidakberesan dalam pemungutan suara itu, serta memerintahkan pemilu ulang.
Hasil pemilu 2019 yang dibatalkan itu turut memaksa perubahan pada sistem pemilihan umum, yakni dari sistem pluralitas (pemenang adalah yang meraih suara terbanyak) menjadi sistem proporsional (pemenang harus meraih lebih dari 50% total suara).
Setelah kemenangan Mutharika yang kontroversial pada pemilu pertama pun, muncul aksi protes anti-pemerintah selama beberapa bulan di negara Afrika Timur tersebut.
Sebelumnya, di hari yang sama dengan pengumuman, Mutharika sempat menyebut bahwa justru terdapat ketidakberesan pada pemilu ulang ini, termasuk kekerasan dan intimidasi terhadap pengawas pemilu dari partainya.
Tuduhan tersebut dibantah oleh pihak oposisi, serta ditolak oleh komisi pemilu.
Tidak ada laporan independen soal ketidakberesan pemilu ulang Malawi, namun juga tidak ada pengawas internasional ketika itu karena kendala pandemi COVID-19. Sementara pengawas lokal menyatakan pemungutan suara berlangsung secara bebas dan adil.
Sumber: Reuters