Asteroid dan petaka di Bumi

id Asteroid,LAPAN

Asteroid dan petaka di Bumi

Tangkapan layar makalah Peneliti Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Abdul Rachman yang menjelaskan sabuk asteroid dalam Tata Surya dalam kajian Meteor Jatuh dan Bencana di Bumi secara live streaming dari Bern, Swiss, Minggu malam (3/5/2020). (ANTARA/Virna P Setyorini)

Jakarta (ANTARA) - Giuseppe Piazzi, astronom kelahiran kota kecil bernama Ponte in Valtellina di Italia menemukan 1 Ceres tepat pada hari pertama di tahun 1801. Awalnya ia mengira apa yang ditemukannya adalah sebuah bintang, karenanya dinamainya benda langit itu "bintang baru".

Pada perkembangannya, Ceres yang mengambil nama dewi pertanian Romawi itu diketahui merupakan asteroid pertama yang pernah ditemukan umat manusia. Dan sejak 24 Agustus 2006, benda langit yang memiliki diameter 950 kilometer (km) tersebut diberi status planet katai atau planet kerdil oleh Persatuan Astronomi Internasional.

1 Ceres sebagai asteroid tidak lah sendiri. Ia ditemukan bergerak mengorbit Matahari bersama 2 Pallas dan 4 Vesta, dan sejutaan lainnya di antara Planet Mars dan Planet Jupiter sehingga membentuk sabuk asteroid.

Peneliti Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Abdul Rachman menyebut asteroid terbentuk sekitar 4,6 miliar tahun lalu, dan merupakan sisa dari pembentukan planet-planet dalam Tata Surya, seperti Merkurius, Venus dan Bumi. Ukurannya sangat beragam, ada yang tidak terlihat karena sangat kecil tapi ada pula yang besar, kira-kira seluas Bandung-Jakarta atau Bandung Bekasi.

"Di antara orbit Mars dan Jupiter ada kumpulan benda seperti batu yang tidak beraturan. Nah ini lah wilayah ditemukan banyak asteroid. Bahkan oleh karena itu diberi nama khusus yakni sabuk asteroid. Ditemukan sangat banyak jumlah asteroid, di situ bisa dilihat juga ada orbit lintasan miring. Kalau lainnya dalam satu bidang tapi yang ini bidangnya sangat miring," katanya.

Jarak dari Mars ke Jupiter memang lebih jauh jika dibandingkan jarak antar planet lainnya di sistem Tata Surya. Hasil pengamatan tahun 1999 menemukan ada asteroid yang bisa diketahui, namun ada pula yang tidak teramati karena keterbatasan teknologi, bahkan oleh mereka negara-negara maju, kata Rachman.

Hasil pengamatan di 2009 memperlihatkan jumlahnya semakin banyak seiring semakin majunya teknologi keantariksaan. Jumlah asteroid yang dapat diamati menjadi semakin lebih banyak di 2018, jika melihat secara keseluruhan dari yang dekat dengan Bumi maupun yang berada di sabuk asteroid di antara Jupiter dan Mars.

Setidaknya ada 1,1 juta hingga 1,9 juta asteroid berukuran lebih besar dari 1 kilometer (km) yang ada di sabut asteroid. Sedangkan total keseluruhannya di Tata Surya diperkirakan ~150 juta.

Mendekati Bumi

Lalu apakah asteroid bisa bertabrakan dengan Bumi?

Matahari menjadi pusat Tata Surya. Planet-planet dan benda-benda langit termasuk asteroid berputar mengelilingi sesuai orbitnya.

Abdul Rachman mengatakan dengan melihat orbitnya atau lintasannya maka dapat diketahui asteroid memang dapat mendekat ke Bumi. Itu karena ada asteroid yang memiliki orbit yang berpotongan dengan Bumi.

“Tidak semua memotong orbit Bumi memang, tapi yang lain bisa memotong. Intinya bisa dekat dengan orbit Bumi, jadi kalau sedikit saja orbit Bumi berubah itu berbahaya,” ujar Abdul Rachman.

Populasi asteroid di dekat Bumi cukup banyak. Saat ini, menurut dia, ada sekitar 2.000 asteroid atau sekitar sembilan persen dari total sekitar 20.000 benda antariksa alami dekat dengan Bumi dan masuk dalam daftar asteroid berbahaya (PHAs).

Menurut dia, ternyata sebagian besar benda langit ataupun asteroid di dekat Bumi yang sudah teramati mencapai sekitar 20.000 tersebut memang berasal dari sabuk asteroid. Itu terjadi karena ada gangguan gravitasi dari planet-planet besar seperti Jupiter, sehingga ada perubahan orbit dan akhirnya masuk dekat orbit Bumi.

“Itu bukan asteroid saja, komet juga seperti itu. Karena itu semakin penting melakukan pengamatan secara kontinu. Sekali lagi itu tugas dunia internasional,” ujar dia.

Dengan kondisi tersebut PBB, menurut dia, juga sudah membentuk jaringan atau organisasi dunia yang khusus dibentuk untuk mengantisipasi meteor besar atau benda antariksa lainnya jatuh ke Bumi

“Tapi memang ada juga yang tidak bisa kita ketahui karena masih ada keterbatasan," ujar dia.

Benda-benda astronomi, menurut dia, kecerlangannya bisa diamati, namun untuk asteroid memang lebih sulit karena banyak yang sangat redup sehingga baru dapat teramati ketika sudah dekat dengan Bumi.

Ia mencontohkan asteroid ZLAF9B2 berdiameter hingga lima meter dengan energi diperkirakan setara 11 kiloton TNT atau setengah kekuatan bom atom Nagasaki yang baru tetangkap sistem Catalina Sky Survey di pangkalan Amerika Serikat (AS) hanya beberapa jam sebelum jatuh di Afrika.

Ada pula asteroid 2005YU55 yang terdeteksi bergerak memotong orbit Bumi pada 8 November 2011, berada di dalam orbit Bulan ke Bumi.

Petaka di Bumi

Apakah cukup kuat untuk menimbulkan petaka global?

Para ilmuwan membuat perkiraan waktu dan jenis asteroid yang memiliki kemungkinan bertabrakan dengan Bumi. Mereka memperkirakan asteroid dengan energi setara bom atom Hiroshima dapat bertabrakan dengan Bumi dalam kurun waktu tahunan, sedangkan yang berenergi setara peristiwa Tunguska di Rusia tahun 1908 dapat terjadi dalam hitungan abad.

Lalu mereka memperkirakan asteroid dengan energi yang memicu "tsunami danger" dapat terjadi dalam kurun waktu 10.000 tahun. Dan asteroid yang mampu menyebabkan bencana global terjadi dalam kurun waktu jutaan tahun.

Ilmuwan juga menghitung efek tumbukan asteroid berdiameter 50-100 meter (m) mampu menghasilkan energi 10-100 Megaton (Mt) yang mampu membuat kawah seluas 1 km. Sedangkan asteroid berdiameter 100-500 m diperkirakan memiliki energi 100-10.000 Mt yang mampu membuat kawah seluas 5 km, sebuah kota kecil hancur atau tsunami.

Sementara itu, asteroid berdiameter 0,5 km hingga 2 km mampu menghasilkan energi 10.000 hingga 500.000 Mt dan menghasilkan kawah seluas 20 km, menyebabkan satu negara kecil hancur, tsunami, dan mempengaruhi iklim Bumi.

Dan asteroid berdiameter 2 hingga 10 km mampu membuat kawah seluas 100 km dan dampak global yang berakibat pada kepunahan massal.

Bahaya dampak tabrakan asteroid dengan Bumi itu adalah contoh risiko paling ekstrem dengan probabilitas sangat rendah tetapi konsekuensi sangat besar. Secara statistik, itu bisa terjadi kapan saja, tetapi itu tidak membantu mengurangi risiko, kata astronom senior AS David Morrison.

Karenanya, menurut Abdul Rachman, AS memasang target untuk dapat mendeteksi 90 persen asteroid berukuran besar.

Namun demikian ia menjelaskan keistimewaan Bumi yang diselimuti atmosfer dan menjadi pelindung saat benda langit hendak menghantam. “Kita bisa belajar tumbukan yang terjadi di Bulan yang tidak memiliki atmosfer dan menciptakan banyak kawah di permukaannya”.

Atmosfer Bumi, menurut dia, setidaknya mampu menahan asteroid atau benda antariksa hingga berukuran diameter 50 meter. Benda antariksa tersebut akan terbakar di atmosfer.

Kawah seluas 2 km di Arizona, AS, menjadi salah satu contoh bekas tumbukan benda langit ke Bumi. Ilmuwan juga percaya punahnya dinosaurus jutaan tahun lalu juga terjadi sebagai dampak dari tabrakan asteroid dengan Bumi yang membuat iklim berubah, memunculkan debu atau asap sehingga menghalangi cahaya Matahari, akhirnya membuat tanaman mati, ujar Abdul Rachman.

Yang terbaru adalah peristiwa Chelyabinsk di Rusia pada 2013, yang menimbulkan gelombang kejut di langit ketika asteroid menabrak atmosfer dan memecahkan kaca-kaca di kota sehingga melukai seribuan warga, kata dia.

“Dari segi sains apa yang kita dapat dengan mengamati benda yang sangat jauh ya sangat banyak. Kita bisa lebih memahami teori fisika yang sudah ada,” kata peneliti sains antariksa LAPAN itu menjelaskan manfaat mengamati benda-benda antariksa.

Alam semesta itu laboratorium, ujar Abdul Rachman. Sehingga dengan melakukan eksperimen dan pengamatan, pembuktian teori-teori yang sudah ada seperti teori relativitas milik Einstein juga dapat dilakukan.