Cerita prahara "gol hantu" Luis Garcia ke gawang Chelsea

id luis garcia,liverpool,chelsea,liga champions,berita padang, berita sumbar

Cerita  prahara "gol hantu" Luis Garcia ke gawang Chelsea

Pemain Liverpool Luis Garcia melakukan segera melakukan selebrasi setelah meyakini bola sontekannya berbuah gol ke gawang Chelsea dalam laga kedua semifinal Liga Champions di Stadion Anfield, Liverpool, Inggris, Selasa, 3 Mei 2005. (ANTARA/AFP/Adrian Dennis)

Jakarta (ANTARA) - Pada 3 Mei 2005, Luis Garcia mencetak sebuah gol ke gawang Chelsea untuk membawa Liverpool menang dalam laga kedua semifinal Liga Champions sekaligus mencetak satu tiket untuk The Reds ke partai final.

Saking kontroversialnya, manajer Chelsea saat itu Jose Mourinho segera menyematkan istilah "gol hantu" kepada gol yang dicetak Luis Garcia dan mengantarkan Liverpool ke final Liga Champions tersebut.

"Gol hantu" kian mendapat peran yang semakin penting sebab Liverpool akhirnya menjadi juara Liga Champions 2004/05 setelah menjadi protagonis dalam lakon kebangkitan bersejarah atas AC Milan di Istanbul tiga pekan kemudian.

Liverpool menjamu Chelsea di Anfield setelah main imbang nirgol di Stamford Bridge sepekan sebelumnya dan memasuki empat menit pertandingan berjalan terjadi kemelut di hadapan gawang tim tamu.

Umpan manis dari kapten Steven Gerrard berusaha dikejar oleh Milan Baros, tapi kiper Petr Cech menerjang dan bola liar disontek oleh Garcia yang sukses memperdaya kapten Chelsea John Terry dan William Gallas menyapunya keluar dari gawang.

Namun, wasit yang bertugas saat itu, Lubos Michel asal Slowakia, memutuskan bola sudah terlebih dulu melewati garis gawang sebelum disapu oleh Gallas dan Liverpool memperoleh keunggulan 1-0.

Keunggulan itu bertahan hingga peluit tanda laga usai berbunyi, memastikan langkah Liverpool ke final di Istanbul, tempat yang kemudian bakal menjadi panggung lakon kebangkitan bersejarah mereka untuk menjuarai Liga Champions 2004/05.

Selepas pertandingan Mourinho menyebutnya sebagai "gol hantu" dan bersikeras meyakini bola belum melewati garis gawang Chelsea dan Gallas melakukan penyelamatan.

Halaman selanjutnya: Sedangkan Garcia...
Mantan pemain Liverpool, Luis Garcia, saat membantu pengundian babak 16 besar Liga Champions 2018/19 di markas UEFA di Nyon, Swiss, Senin, 17 Desember 2018. (ANTARA/REUTERS/Denis Balibouse)


Sedangkan Garcia seusai gantung sepatu sejak 2016 kerap diberondong pertanyaan mengenai gol tersebut. Dalam program The Football Social asuhan stasiun televisi Sky Sports pada 2019, Garcia menegaskan keyakinannya bahwa gol itu sah adanya.

"Sejujurnya, saya paham kalau ada orang-orang yang bilang bola belum masuk, terlebih pada masa itu belum ada teknologi penunjang ataupun kamera yang dipasang sejajar garis gawang untuk memastikan hal tersebut," kata Garcia.

"Tapi, saya akan tetap bilang itu masuk...reaksi saya saat itu, setelah menendang bola dan melihatnya sudah masuk ke gawang, seketika saya melupakan semuanya. Jika saya tidak melihat bola sudah masuk atau ada keraguan, pasti saya menoleh ke hakim garis atau wasit."

"Saya melihat bola masuk, seketika saya berlari melakukan selebrasi. Bahkan saya tidak sadar bola kemudian disapu oleh Gallas, saya tidak peduli."

"Setelah hampir 15 meter berlari saya menyadari tidak ada rekan setim menghampiri dan atmosfer stadion juga saat itu seketika sepi setelah sempat sorak sorai ramai, ketika menoleh saya baru melihat rekan-rekan mendatangi saya ikut berselebrasi."

"Tapi, tidak sedetik pun terbersit keraguan soal bola itu sudah masuk gawang atau belum. Saya tahu pendapat suporter Chelsea ataupun Gallas, dan bisa memahami jika mereka bilang sebaliknya."

Di sepak bola era dewasa ini, insiden dramatis seperti "gol hantu" ataupun "Gol Tangan Tuhan" milik Diego Maradona agaknya tak akan terjadi sebab diterapkannya teknologi asisten wasit video (VAR) untuk membantu meminimalisasi kesalahan keputusan wasit dalam sebuah pertandingan.

Namun demikian, kehadiran VAR tetap menghadirkan drama dalam cara yang berbeda, termasuk berlarut-larutnya penentuan keputusan atau bungkamnya sorak sorai manusia ditikam keputusan yang diambil dengan bantuan mesin.

Atau lebih buruk lagi, munculnya narasi para pecundang yang menyebut VAR hadir hanya dan hanya untuk memberi keuntungan bagi salah satu kubu dalam sebuah pertandingan.