Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah memperbaiki data kasus positif COVID-19 sehingga tidak ada lagi kejadian perbedaan data antara pemerintah pusat dan daerah.
"Data inilah yang kita harapkan menjadi dasar untuk menyusun peta penyebarannya. Peta ini dibutuhkan untuk menentukan langkah mengantisipasi dan menangani COVID-19 secara baik," kata Saleh di Jakarta, Senin.
Wakil Ketua Fraksi PAN DPR RI itu meminta Kementerian Kesehatan memberikan semua data yang dibutuhkan kepada Gugus Tugas Penanganan COVID-19 dan BNPB.
Menurut dia, saat ini semua data harus dibuka kepada masyarakat sehingga mereka akan berpartisipasi dan bergotong-royong dalam menghadapi situasi sulit yang kita hadapi saat ini.
Dia menilai ketidaksinkronan data pemerintah terkait COVID-19 merupakan dampak dari komunikasi yang tidak baik antara pemerintah pusat dan daerah.
"Sering sekali terbaca di media adanya data dan kebijakan yang berbeda yang disampaikan ke publik. Itu bahkan terjadi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah DKI Jakarta yang faktanya berdekatan secara geografis," ujarnya.
Selain itu menurut Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI itu, aturan-aturan hukum yang menjadi aturan pelaksana penanganan COVID-19 dinilai juga agak sedikit terlambat, akibatnya pelaksanaan penanganan menjadi terlambat.
Saleh mengatakan, hal yang membuat orang semakin ragu terhadap data yang ada adalah tidak adanya sanksi tegas bagi pihak yang melanggar kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah seperti "social distancing", "physical distancing", dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Aturan ini sebetulnya baik jika semua menaati namun faktanya kebijakan itu masih banyak yang dilanggar sehingga tidak heran jika banyak orang yang berkesimpulan bahwa mata rantai penyebaran virus corona sulit diputus. Hal ini sekali lagi tentu berimplikasi pada keabsahan data yang dimiliki pemerintah," katanya.
Ketua DPP PAN itu menilai, keraguan terhadap data yang disampaikan didukung pula pada fakta bahwa "rapid test" COVID-19 dan pengujian kesehatan bagi masyarakat sangat terbatas.
Hal itu menurut dia karena jumlah orang yang dites sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, persebarannya juga tidak merata padahal virus tersebut sudah ditemukan di hampir semua provinsi yang ada.