Padang, (ANTARA) - Berdasarkan survei yang dilakukan pada 2019 oleh Otoritas Jasa Keuangan terungkap tingkat inklusi keuangan masyarakat sudah mencapai 76 persen dan tingkat literasi mencapai 35 persen.
Kendati tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia masih berada pada angka 76 persen, namun trendnya terus naik dari tahun ke tahun menunjukan semakin banyak lapisan masyarakat yang terjangkau oleh lembaga keuangan.
Memang hari ini masih ada dijumpai individu yang tidak memiliki rekening bank, akan tetapi dengan sosialiasi intensif menyasar kalangan pelajar diharapkan tingkat inklusi keuangan akan terus bertumbuh.
Berbicara soal tingkat inklusi keuangan tidak bisa dilepaskan dari lembaga perbankan yang merupakan salah satu institusi keuangan strategis.
Tidak hanya berperan sebagai tempat menyimpan uang, memudahkan transaksi bank juga berperan strategis dalam perekonomian.
Secara garis besar pada hari ini perbankan nasional dapat dibagi atas dua jenis yaitu bank konvensional dan bank syariah.
Bank konvensional adalah bank yang dalam setiap transaksi dan pelayanannya berbasis bunga. Sedangkan bank syariah merupakan sebuah bank alternatif bagi umat Islam yang ingin melakukan transaksi perbankan tanpa ada bunga.
Secara umum dalam operasionalnya bank syariah berlandaskan pada hukum syariah yang bersumber pada Al Quran dan Hadis meliputi prinsip larangan terhadap riba.
Menurut Syafie Antonio dalam buku Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum memaparkan larangan riba dalam Islam hakikatnya adalah penolakan terhadap risiko keuangan tambahan yang diterapkan dalam transaksi keuangan atau modal jual beli yang dibebankan pada satu pihak saja.
Perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang adalah investasi merupakan kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan ketidakpastian dan perolehan kembalinya tidak pasti, sementara membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembali berupa bunga relatif pasti dan tetap.
Menurutnya bunga, pinjaman uang, modal, barang dalam segala bentuk dan macamnya baik untuk tujuan konsumtif maupun produktif dengan tingkat bunga yang rendah ataupun tinggi adalah riba karena itu dalam bank Islam sistem bunga tidak dapat diterapkan karena mengandung unsur riba.
Kemudian bank syariah sebagaimana bank umum lainnya juga mempunyai tujuan bisnis, namun bisnis yang dijalankan tidak bebas nilai. Hubungan yang terjalin antara bank syariah dengan nasabah bukan hanya sebatas bisnis tetapi ada hubungan yang lebih tinggi yaitu mengharap ridha Allah.
Selain itu terdapat prinsip keadilan mengacu pada hubungan yang saling tidak menzalimi, saling mengikhlaskan antara pihak yang terlibat dengan persetujuan yang matang. Pada bank Islam prinsip keadilan diwujudkan melalui keseimbangan dalam kepentingan sehingga kepentingan nasabah dan debitur diharmonisasikan dengan menawarkan nilai bagi hasil.
Yang paling utama dalam bank syariah ada akad serta harus memenuhi syarat antara lain barang dan jasa harus halal, harga barang dan jasa harus jelas, tempat penyerahan harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi, dan barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Sejak dekade tahun 1970 umat Islam di berbagai negara telah berusaha mendirikan bank syariah untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dan prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan, perbankan dan bisnis- bisnis lain yang terkait.
Di lingkungan Majelis Ulama Indonesia wacana tentang bunga bank sudah mulai dibicarakan sejak awal tahun 1990 dalam Forum Musyawarah Nasional Alim Ulama tentang bunga bank.
Pada waktu itu terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang menyatakan halal, ada yang menyatakan haram dan ada yang berpendapat bahwa bunga bank statusnya subhat.
Akan tetapi forum tersebut merekomendasikan agar segera diupayakan dan ditempuh langkah-langkah untuk terwujudnya sebuah lembaga keuangan terutama bank yang tidak berdasarkan pada sistem bunga.
Rekomendasi MUI tersebut kemudian didukung dan diprakarsai oleh beberapa pejabat pemerintah, para pengusaha perbankan dan kemudian Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Soedharmono kala itu bersedia menjadi pendukung utama agar didirikan sebuah lembaga perbankan yang tidak berbasis bunga yang kemudian diberi nama Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 November 1991.
Pada awal perkembangan Bank Muamalat yang merupakan bank syariah pertama di Indonesia mengalami beberapa persoalan yang dihadapinya.
Diantaranya kurangnya perangkat hukum yang mendukung operasional dan masalah sosialisasi pada masyarakat bahwa telah ada lembaga perbankan yang menawarkan transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
Hal ini disebabkan oleh sistem perbankan syariah yang memang relatif baru di kalangan masyarakat sehingga banyak yang kurang mengerti dan penuh keraguan terhadap perbankan syariah.
Karena minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga perbankan syariah, umumnya masyarakat belum mengetahui keberadaanya apalagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini sudah terbiasa dengan pelayanan bank konvensional yang berbasis bunga.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan keuangan syariah karena penganut Islam merupakan yang terbesar di dunia.
Berdasarkan data Global Islamic Economi Repotr 2019 dari 15 negara di dunia Indonesia berada pada rangking 10 dan urutan pertama diraih oleh Malaysia dalam pencapaian keuangan Islam.
Tetapi ada perkembangan yang cukup menggembirakan karena aset keuangan syariah di Tanah Air sudah mencapai Rp1.377 triliun hingga Februari 2019 dengan market share syariah sebesar 9,08 persen.
Apalagi keuangan syariah sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap lembaga keuangan memiliki karakter dekat dengan pengembangan sektor rill dan memperhatikan aspek sosial serta mengusung prinsip.
Berdasarkan hasil penelitian tentang Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat Terhadap Bank Syariah Di Sumatera Barat didapatkan tiga pemahaman masyarakat tentang bunga bank yaitu pragmatis, pemahaman moderat dan pemahaman fundamentalis.
Menurut Damsar dalam Paper Kebudayaan Minangkabau Dan Perilaku Ekonomi Perbankan kelompok yang mempunyai pandangan pragmatis menilai bunga bank boleh dengan alasan bank konvensional telah menolong ekonomi masyarakat, lebih banyak manfaatnya dari pada mudharatnya.
Sementara pemahaman moderat menilai bunga bank adalah perkara syubhat dan pemahaman fundamentalis menekankan bahwa bunga bajnk hukumnya haram sesuai AlQuran dan Sunah karena itu apapun jenis bunga bank baik bank konvensional ataupun bank pemerintah hukumnya adalah haram.
Berdasarkan hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)PT BPD Sumatera Barat atau Bank Nagari, akhirnya resmi konversi dari bank konvensional menjadi bank syariah.
Keputusan konversi Bank Nagari ke bank syariah disepakati dalam RUPSLB pada 30 November 2019 secara aklamasi oleh seluruh pemegang saham.
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyampaikan secara prinsip upaya untuk konversi dari bank konvensional menjadi bank syariah sejak beberapa tahun belakangan sudah di mulai.
Namun, setelah penetapan oleh pemegang saham di akhir November 2019, tentu secara total sistem beralih ke bank syariah.
Kepala Humas Bank Nagari Aulia Alfadil menyampaikan pihaknya diberi waktu dua tahun untuk mempersiapkan semua perangkat dan beroperasi penuh sebagai bank syariah.
Menjelang berstatus murni sebagai bank syariah setidaknya ada empat persiapan yang perlu dilakukan oleh Bank Nagari yaitu sistem operasi, SDM dan perangkat, sosialisasi masif.
Salah satu persoalan masih adanya keraguan di tengah masyarakat terhadap bank syariah disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai kegiatan usaha bank syariah.
Keterbatasan informasi tadi menyebabkan banyaknya muncul persepsi yang tidak tepat mengenai operasional bank syariah.
Untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut perlu diadakan langkah-langkah dan upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bank syariah.
Disamping itu perlu dilakukan pengembangan. jaringan kantor bank syariah dalam rangka perluasan jangkauan kepada masyarakat disamping pengenalan dan sosialisasi sistem perbankan syariah yang lebih luas.
Menurut Setiawan Budi Utomo dalam proses pengembangan perbankan syariah di Indonesia juga mengalami hambatan-hambatan yang bersifat kultural antara lain kendala simbolisme.
Masyarakat Indonesia khususnya umat Islam baik dari kalangan praktisi usaha maupun masyarakat umum lebih sering terjebak pada simbolisme dan melupakan aspek substansi ajaran syariat Islam itu sendiri yang mengajarkan istiqomah dalam ucapan, pengakuan, dan tindakan keseharian secara komprehensif , dan bukan menjadikan simbol-simbol agama sekadar slogan kampanye, promosi serta pengakuan simbolik formal untuk kepentingan sosial, ekonomi dan politik.
Kendala lainnya adalah sebagian besar masyarakat berharap kehadiran bank syariah bisa memberikan pelayanan jasa bank yang Islami dan tidak seberat sistem bunga sehingga membantu.
Masyarakat punya persepsi bahwa bank syariah karena adanya label syariah lebih berorientasi menolong dibanding mengedepankan aspek profesionalitas. Pandangan ini muncul dari sikap pragmatis yang sudah membudaya dalam masyarakat.
Walau bagaimana pun perbankan syariah merupakan sebuah lembaga yang dalam operasionalnya dituntut aspek profesionalitas. Karena merupakan sebuah lembaga yang baru berkembang tentu bank syariah punya keterbatasan dibandingkan bank konvensional yang sudah ada ratusan tahun.
Merupakan sesuatu yang wajar bila dalam masa perintisan dan pengembangannya dibutuhkan pengorbanan kolektif atau secara agregat dibutuhkan cost bersama untuk mencoba suatu sistem sosial ekonomi yang baru.
Hal ini perlu dipahami masyarakat sehingga tidak menuntut adanya bagi hasil yang besar bila menabung atau mengharapkan produk pembiayaan yang lebih murah dibanding suku bunga kredit konvensional meskipun hal tersebut mungkin saja terpenuhi bila kinerja bank syariah sudah menjadi lebih baik dan mapan sebagaimana di Malaysia yang tingkat bagi hasilnya lebih besar dibandingkan suku bunga bank konvensional.
Berikutnya selama ini masyarakat dan berbagai unsur yang ada cukup tertarik dengan wacana ekomi Islam dan fenomena bank syariah dalam bentuk kajian, riset, kritik, pengamatan dan berbagai forum diskusi.
Hal ini merupakan sesuatu yang positif bagi perkembangan bank syariah. Akan tetapi selama ini masyarakat umum, akademisi dan para ulama hanya asyik dan sibuk menjadi pengamat, pembahas dan membentuk berbagai lembaga pengamatan ekonomi dan perbankan syariah semacam syariah economic banking watch dengan cukup hanya sekadar mengkritik produk-produk dan kinerja lembaga ekonomi syariah.
Namun dalam tataran implementasi masih masih terlibat dengan bunga ribawi, bahkan termasuk lembaga yang terkait dengannya masih belum menggunakan rekening syariah. Hal ini merupakan suatu ironi yang kontra produktif.
Di sini dituntut keterlibatan dan pengembangan yang lebih konkret bagi semua unsur masyarakat dengan tidak hanya sebagai pengamat tetapi menjadi pelaku bisnis syariah dan mensyariahkan semua aspek kehidupan termasuk masalah ekonominya. Artinya dituntut peran aktif untuk menjadi pengguna dan mitra bisnis syariah ataupun menjadi nasabah bank syariah