Pilkada Langsung atau tak langsung? DPR gelar forum diskusi
Jakarta (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar forum legislasi membahas persoalan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.
Forum tersebut mendatangkan pembicara dari politikus hingga akademikus guna membahas persoalan yang terjadi selama pelaksanaan pilkada, termasuk apakah sistem tersebut relevan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebetulnya di dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak dikatakan kepala daerah harus dipilih secara langsung. Di sana hanya tertulis kalau kepala daerah dipilih secara demokratis, kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi di Senayan Jakarta, Selasa.
Pria yang kerap disapa Awiek itu menjelaskan pandangannya soal pilkada melalui DPRD yang lebih mudah dilakukan pengawasan dan lebih murah dari segi biaya. Mengawasi 45 orang (anggota DPRD), menurut Awiek, lebih mudah daripada mengawasi 600.000 orang (pemilih). Sebanyak 45 orang tinggal diawasi selama pendaftaran sampai pemilihan, tongkrongin saja. Tempatkan dua aparat hukum mengawal dia selama 24 jam.
"Lebih murah daripada harus mengawal 600.000 orang. Capek itu," kata Awiek.
Pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bukanlah kemunduran. Namun, yang terpenting kesejahteraan rakyat tetap menjadi tujuan, sebagaimana tujuan dari demokrasi. Demokrasi itu hanya tata cara berpolitik untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Kalau ternyata hanya untuk menghambur-hamburkan keuangan negara, sebaiknya dievaluasi.
PPP dalam berbagai kesempatan mengatakan harus ada desain ulang pemilihan secara langsung, terutama dalam sistem. Hal ini jangan lagi menjadi pasar bebas.
"Mohon maaf, ya, enggak mungkin orang bilang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Bohong itu," kata Awiek.
Berbeda dari Awiek, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa menegaskan bahwa keinginan mengembalikan pilkada langsung ke DPRD adalah langkah mundur. Pasalnya, pilkada langsung oleh rakyat merupakan evaluasi atas pilkada yang selama Orde Baru dipilih oleh DPRD.
Evaluasi pilkada memang perlu. Akan tetapi, bukan mengembalikan ke DPRD. Apalagi pilkada langsung ini makin lama makin berkualitas dalam pelaksanaannya, meningkatkan proses demokrasi, dan mampu melahirkan pemimpin daerah yang terbaik. Demikian pendapat politikus NasDem itu saat menjadi pembicara dalam forum legislasi tersebut.
Soal biaya tinggi yang disebut Awiek, Saan Mustofa mempertanyakan apakah ada jaminan pilkada yang dilakukan DPRD tidak akan berbiaya tinggi dan tidak ada politik uang (money politic)?
"Malah money politic-nya ada di DPRD karena sudah tahu jumlah dan anggota DPRD yang akan disasar. Kepala daerah dipilih DPRD tidak ada jaminan lebih murah,” kata Saan.
Jika syarat dukungan 20 persen anggota DPRD dari 80 anggota, cukup 16 anggota saja. Sebanyak 16 anggota inilah, kata Saan, yang disasar politik uang tersebut.
Selain itu, soal serangan fajar, SARA, dan sebagainya yang terjadi sewaktu pemilihan secara langsung. Hal ini, menurut dia, bisa diatasi jika sanksinya berat. Jika terbukti secara hukum, harus didiskualifikasi.
Meski dilakukan atas nama tim sukses (timses), sukarelawan, dan orang lain yang tidak dikenal, kata Saan lagi, harus dibatalkan pencalonannya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI periode 2014—2019, Fahri Hamzah memberi pandangan soal pilkada yang dipilih oleh DPRD adalah pilkada yang dilakukan berdasarkan kewenangan kelembagaan.
"Kenapa demikian? Karena kewenangannya jika administratif, dipilihnya pun bukan dipilih secara politik. Itu sama dengan posisi camat nanti yang dipilih oleh bupati," kata Fahri.
Jika teori itu digunakan, wali kota/bupati dan gubernur menjadi bukan lagi kepunyaan rakyat karena yang menjadi kepunyaan rakyat adalah mereka yang dipilih secara politik.
Soal biaya yang mahal, menurut Fahri, sebenarnya bisa didesain secara komprehensif oleh negara. Misalnya, terkait dengan dana kampanye, jika orang menggunakan dana pribadi untuk kampanye sama artinya dengan memasukkan konflik kepentingan pribadinya ke dalam pemilu.
'Ketika dia dipilih, dia merasa kalau (posisi) ini adalah perjuangan pribadinya," kata Fahri.
Lain halnya jika biaya kampanye ditanggung sepenuhnya oleh negara. Konflik kepentingan pribadi tersebut, menurut Fahri, tidak akan terjadi.
"Anda cuma datang membawa pikiran, perasaan, dan kompetensi Anda di depan rakyat. Memakai media (kampanye) yang disediakan oleh Pemerintah untuk meyakinkan rakyat. Maka, Anda enggak kehilangan uang pribadi. Selesai pemilu, Anda tidak punya utang," kata Fahri.
Fahri mengatakan bahwa masalah korupsi yang selama ini terjadi karena lingkaran setan yang dialami politikus setelah memiliki utang pascapemilu.
"Dia jual rumah, jual tanah. Nanti kalau tidak terpilih dia stres dan jadi orang gila. Akan tetapi, kalau dia terpilih, orang bilang cukup bisa untuk kembali modal. Kembali modal itu mencari uang di luar gaji," ujar Fahri.
Sementara itu, akademikus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Andriadi Achmad mengatakan bahwa sistem pilkada tidak langsung akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang paham kondisi di daerahnya.
"Saya sebenarnya lebih sepakat sebenarnya zaman Orde Baru itu bisa diaktivasikan kekinian. Kalau saya tak salah, dahulu yang jadi bupati itu mantan sekretaris daerah, kolonel kalau dia tentara begitu," ujar dia.
Dengan begitu, fenomena pengusaha ikut serta menjadi politikus bisa dihindari. Orang-orang yang dianggap mampu memimpin bisa dikedepankan oleh partai politik untuk maju sebagai kepala daerah.
"Saat ini sangat sulit terjadi itu. Kenapa? Karena pengusaha itu terjun langsung menjadi kepala daerah sehingga yang dipikirkan bagaimana mengamankan usaha. Karena yang punya modal itu pengusaha," katanya.
Ia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya tidak membiarkan itu terus terjadi. Karena dengan membiarkan itu terjadi, sama dengan membiarkan pengelolaan politik Indonesia terus-menerus berada pada level transisi demokrasi yang didefinisikan sebagai pemilihan karena uang, suku, dan pencitraan.
Anggota DPR RI bisa mengawali proses transisi demokrasi tadi menjadi konsolidasi demokrasi agar orang luar Jawa dan orang biasa-biasa pun bisa menjadi pemimpin.
"Selama orang Jawa menjadi presiden, itu berarti kita masih belum di tahapan konsolidasi demokrasi. Karena apa? Yang dilihat adalah sukunya," kata Andriadi.
Forum tersebut mendatangkan pembicara dari politikus hingga akademikus guna membahas persoalan yang terjadi selama pelaksanaan pilkada, termasuk apakah sistem tersebut relevan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebetulnya di dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak dikatakan kepala daerah harus dipilih secara langsung. Di sana hanya tertulis kalau kepala daerah dipilih secara demokratis, kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi di Senayan Jakarta, Selasa.
Pria yang kerap disapa Awiek itu menjelaskan pandangannya soal pilkada melalui DPRD yang lebih mudah dilakukan pengawasan dan lebih murah dari segi biaya. Mengawasi 45 orang (anggota DPRD), menurut Awiek, lebih mudah daripada mengawasi 600.000 orang (pemilih). Sebanyak 45 orang tinggal diawasi selama pendaftaran sampai pemilihan, tongkrongin saja. Tempatkan dua aparat hukum mengawal dia selama 24 jam.
"Lebih murah daripada harus mengawal 600.000 orang. Capek itu," kata Awiek.
Pengembalian pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bukanlah kemunduran. Namun, yang terpenting kesejahteraan rakyat tetap menjadi tujuan, sebagaimana tujuan dari demokrasi. Demokrasi itu hanya tata cara berpolitik untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Kalau ternyata hanya untuk menghambur-hamburkan keuangan negara, sebaiknya dievaluasi.
PPP dalam berbagai kesempatan mengatakan harus ada desain ulang pemilihan secara langsung, terutama dalam sistem. Hal ini jangan lagi menjadi pasar bebas.
"Mohon maaf, ya, enggak mungkin orang bilang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Bohong itu," kata Awiek.
Berbeda dari Awiek, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustofa menegaskan bahwa keinginan mengembalikan pilkada langsung ke DPRD adalah langkah mundur. Pasalnya, pilkada langsung oleh rakyat merupakan evaluasi atas pilkada yang selama Orde Baru dipilih oleh DPRD.
Evaluasi pilkada memang perlu. Akan tetapi, bukan mengembalikan ke DPRD. Apalagi pilkada langsung ini makin lama makin berkualitas dalam pelaksanaannya, meningkatkan proses demokrasi, dan mampu melahirkan pemimpin daerah yang terbaik. Demikian pendapat politikus NasDem itu saat menjadi pembicara dalam forum legislasi tersebut.
Soal biaya tinggi yang disebut Awiek, Saan Mustofa mempertanyakan apakah ada jaminan pilkada yang dilakukan DPRD tidak akan berbiaya tinggi dan tidak ada politik uang (money politic)?
"Malah money politic-nya ada di DPRD karena sudah tahu jumlah dan anggota DPRD yang akan disasar. Kepala daerah dipilih DPRD tidak ada jaminan lebih murah,” kata Saan.
Jika syarat dukungan 20 persen anggota DPRD dari 80 anggota, cukup 16 anggota saja. Sebanyak 16 anggota inilah, kata Saan, yang disasar politik uang tersebut.
Selain itu, soal serangan fajar, SARA, dan sebagainya yang terjadi sewaktu pemilihan secara langsung. Hal ini, menurut dia, bisa diatasi jika sanksinya berat. Jika terbukti secara hukum, harus didiskualifikasi.
Meski dilakukan atas nama tim sukses (timses), sukarelawan, dan orang lain yang tidak dikenal, kata Saan lagi, harus dibatalkan pencalonannya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI periode 2014—2019, Fahri Hamzah memberi pandangan soal pilkada yang dipilih oleh DPRD adalah pilkada yang dilakukan berdasarkan kewenangan kelembagaan.
"Kenapa demikian? Karena kewenangannya jika administratif, dipilihnya pun bukan dipilih secara politik. Itu sama dengan posisi camat nanti yang dipilih oleh bupati," kata Fahri.
Jika teori itu digunakan, wali kota/bupati dan gubernur menjadi bukan lagi kepunyaan rakyat karena yang menjadi kepunyaan rakyat adalah mereka yang dipilih secara politik.
Soal biaya yang mahal, menurut Fahri, sebenarnya bisa didesain secara komprehensif oleh negara. Misalnya, terkait dengan dana kampanye, jika orang menggunakan dana pribadi untuk kampanye sama artinya dengan memasukkan konflik kepentingan pribadinya ke dalam pemilu.
'Ketika dia dipilih, dia merasa kalau (posisi) ini adalah perjuangan pribadinya," kata Fahri.
Lain halnya jika biaya kampanye ditanggung sepenuhnya oleh negara. Konflik kepentingan pribadi tersebut, menurut Fahri, tidak akan terjadi.
"Anda cuma datang membawa pikiran, perasaan, dan kompetensi Anda di depan rakyat. Memakai media (kampanye) yang disediakan oleh Pemerintah untuk meyakinkan rakyat. Maka, Anda enggak kehilangan uang pribadi. Selesai pemilu, Anda tidak punya utang," kata Fahri.
Fahri mengatakan bahwa masalah korupsi yang selama ini terjadi karena lingkaran setan yang dialami politikus setelah memiliki utang pascapemilu.
"Dia jual rumah, jual tanah. Nanti kalau tidak terpilih dia stres dan jadi orang gila. Akan tetapi, kalau dia terpilih, orang bilang cukup bisa untuk kembali modal. Kembali modal itu mencari uang di luar gaji," ujar Fahri.
Sementara itu, akademikus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Andriadi Achmad mengatakan bahwa sistem pilkada tidak langsung akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang paham kondisi di daerahnya.
"Saya sebenarnya lebih sepakat sebenarnya zaman Orde Baru itu bisa diaktivasikan kekinian. Kalau saya tak salah, dahulu yang jadi bupati itu mantan sekretaris daerah, kolonel kalau dia tentara begitu," ujar dia.
Dengan begitu, fenomena pengusaha ikut serta menjadi politikus bisa dihindari. Orang-orang yang dianggap mampu memimpin bisa dikedepankan oleh partai politik untuk maju sebagai kepala daerah.
"Saat ini sangat sulit terjadi itu. Kenapa? Karena pengusaha itu terjun langsung menjadi kepala daerah sehingga yang dipikirkan bagaimana mengamankan usaha. Karena yang punya modal itu pengusaha," katanya.
Ia mengatakan bahwa pemerintah seharusnya tidak membiarkan itu terus terjadi. Karena dengan membiarkan itu terjadi, sama dengan membiarkan pengelolaan politik Indonesia terus-menerus berada pada level transisi demokrasi yang didefinisikan sebagai pemilihan karena uang, suku, dan pencitraan.
Anggota DPR RI bisa mengawali proses transisi demokrasi tadi menjadi konsolidasi demokrasi agar orang luar Jawa dan orang biasa-biasa pun bisa menjadi pemimpin.
"Selama orang Jawa menjadi presiden, itu berarti kita masih belum di tahapan konsolidasi demokrasi. Karena apa? Yang dilihat adalah sukunya," kata Andriadi.