Langsung atau tidak langsung, Wapres: sistem pilkada harus dikaji

id Wapres Ma'ruf Amin,pilkada, pilkada langsung,pilkada tidak langsung,evaluasi pilkada langsung,Mendagri, Tito Karnavian

Langsung atau tidak langsung, Wapres: sistem pilkada harus dikaji

Wakil Presiden Ma'ruf Amin di Kantor Wapres Jakarta, Jumat (8/11/2019). (Fransiska Ninditya)

Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Ma'ruf Amin menilai polemik terkait perubahan sistem pemilihan umum kepala daerah (pilkada) harus dilakukan pengkajian secara menyeluruh terhadap kedua sistem, baik langsung maupun tidak langsung.

"Kalau memang nanti ada evaluasi, kita lihat nanti seperti apa. Nanti akan ada evaluasi, kalau langsung seperti apa, kalau tidak langsung seperti apa," kata Ma'ruf Amin kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Jumat.

Perdebatan terkait sistem pilkada langsung dan tidak langsung selalu mengemuka secara terbuka, kata Ma'ruf, sehingga untuk dapat menerapkan sistem pilkada yang sesuai memang diperlukan penelitian mendalam terhadap pilihan langsung atau tidak langsung itu.

Namun untuk saat ini, Wapres Ma'ruf menilai sistem pilkada langsung masih relevan diterapkan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

"Itu kan tarik-menarik yang selalu terjadi. Tempo hari hampir juga diubah kan, tapi tidak jadi. Jadi ya kita ikut UU saja dulu, ikut mekanisme yang disepakati saja," ujarnya.

Rencana revisi terhadap UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota dimunculkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dengan alasan pilkada langsung lebih banyak mudaratnya.

Tito menilai pilkada langsung memakan biaya politik tinggi, sehingga menyebabkan politik uang menjadi hal yang mudah ditemui dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.

Menurut Tito, untuk menjadi calon bupati-wali kota di suatu kabupaten-kota, seseorang setidaknya harus memiliki uang sebesar Rp30-50 miliar. Tito juga mengatakan banyaknya kasus penangkapan kepala daerah terkait kasus korupsi juga disebabkan oleh mahalnya biaya politik dalam pilkada.