Potensi pembangkit listrik tenaga sampah di Padang mencapai 5 megawatt

id Pembangkit Listrik Tenaga Sampah,Arcandra Tahar

Potensi pembangkit listrik tenaga sampah di Padang mencapai 5 megawatt

Ilustrasi - Pekerja melakukan penutupan permukaan sampah dengan geomembran, pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) gas metana, di tempat pembuangan akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/5). Proyek PLTSa yang menempati lahan seluas 9 hektar dengan perkiraan akan menghasilkan energi listrik sebesar 0,8 megawatt tersebut ditargetkan selesai pada Oktober 2018. ANTARA FOTO/R. Rekotomo/ama/18

Padang, (Antaranews Sumbar) - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar mengatakan wilayah Kota Padang, Sumatera Barat, memiliki potensi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebesar lima MW.

"Kalau pasokan sampahnya 600 ton per hari, itu banyak sekali. Diolah jadi listrik bisa mencapai lima MW. Meski, nanti kita lihat dulu jenis sampahnya seperti apa, biasanya kalau perkotaan akan sama dengan lainnya," katanya di Padang, Sumbar, Jumat.

Usai menghadiri peresmian lampu penerangan jalan umum dengan tenaga surya di Universitas Andalas, Padang, ia menjelaskan, kalau kebutuhan per rumah sekitar 1.000 Watt, maka akan terbagi menjadi 5.000 rumah dari lima MW itu.

Namun demikian, Arcandra menjelaskan potensi itu masih akan dikaji lebih dalam lagi. Jika kajian dan survei telah selesai, maka akan dibantu oleh pemerintah untuk membangun PLTSa.

"Kan kalau kotanya bersih, akan banyak turis mampir ke sini, imbasnya perekonomian juga turut naik kan," katanya.

Tarif jual listrik dari PLTSa tergantung dari jumlah volume atau besaran sampahnya.

Selain tergantung dari jumlah sampah yang dapat diolah, kemampuan pemda dalam biaya pengelolaan sampah per meter kubik (tipping fee) di daerahnya juga menentukan besaran harga jual listrik dari PLTSa.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan meminta kepada pemerintah daerah memberikan kelonggaran pada aturan "tipping fee" demi mendorong pengembangan PLTSa.

"Tipping fee" adalah biaya yang dikeluarkan sebagai anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau m3.

Jonan menegaskan bahwa sampah kota bukan merupakan isu utama energi, melainkan lingkungan.

"Ini bukan isu energi yang dipertanggungjawabkan kepada kami sebagai penanggung jawab sektor. Sampah ini lebih kepada isu daerah, isu lingkungan," katanya.

Kementerian ESDM, imbuhnya, berkontribusi atas pengelolaan sampah pada bagian pengaturan harga jual listrik PLTSa dan menugaskan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembeli listrik.

Atas dasar tersebut, Jonan meminta pemda lebih proaktif mengelola sampah. (*)