Inilah tarian Mentawai yang dipelajari dari alam

id Mentawai, tarian, tradisional, sikerei

Inilah tarian Mentawai yang dipelajari dari alam

Sikerei atau dukun tradisional Mentawai menampilkan turuk atau tarian tradisional daerah tersebut. (Antara Sumbar/Syahrul R/18)

Malam sudah semakin larut ketika seorang pembawa acara meminta Sanggar Uma Jaraik Sikerei untuk mengambil tempat di atas panggung guna menampilkan kesenian tradisional khas Mentawai, Sumatera Barat.

Beberapa penari yang diantaranya adalah sikerei atau dukun tradisional masyarakat adat Mentawai mulai mengambil tempat yang kemudian diiringi oleh tiga orang pemusik.

Pemusik tersebut duduk berbaris di belakang penari yang masing-masingnya memegang gajeuma, gendang khas Mentawai yang menggunakan kulit ular atau biawak sebagai sumber bunyi.

Sikerei yang bertindak sebagai penari, tampil dengan mengenakan pakaian adat dengan berbagai kelengkapan, perlahan mereka mulai bergerak mengikuti alunan musik yang dihasilkan dari gajeuma, sesekali mereka menghentakkan kaki ke lantai kayu sehingga menjadi instrumen tambahan.

Dentuman irama gendang khas musik primitif dengan ritme berulang dan datar, yang biasa digunakan untuk keperluan ritual tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi orang yang menyaksikan.

Tarian tradisional yang bagi masyarakat Mentawai dikenal dengan sebutan Turuk Lagai itu sesekali diiringi dengan nyanyian dalam bahasa setempat yang dilantunkan oleh penari.

Ratusan pasang mata terbawa suasana menyaksikan pertunjukan tersebut, pertunjukan itu ditampilkan guna memperkenalkan budaya Suku Mentawai kepada tamu yang sengaja hadir untuk menyaksikan Festival Masyarakat Adat yang khusus mengangkat kearifan budaya lokal.

Selain hentakan kaki yang seirama, sesekali mereka mengembangkan lengan menyerupai burung. Di ujung jari mereka, tepatnya diantara telunjuk dan jari manis terselip sehelai daun.

Selain di sela-sela jari, dedaunan juga dipasangkan pada beberapa bagian lain di tubuh, seperti pada lengan, dan di bagian belakang tubuh, dedaunan tersebut disematkan pada cawat atau kabit yang merupakan pakaian tradisional masyarakat Mentawai.

Sebagai sikerei, hampir seluruh tubuh para penari tersebut dihiasi oleh tato tradisional, di bagian kepala, mereka mengenakan luat, ikat kepala yang terbuat dari manik-manik, serta jara-jara yang dipasangkan di belakang kepala serupa rambut tambahan.

Pada bagian leher terdapat tuddak yang menyerupai kalung, kalung itu pun tidak dapat dikenakan oleh sembarang orang, hanya sikerei lah yang diperkenankan mengenakannya.

Selain mengenakan cawat atau kabit, pada bagian pinggang penari juga dikenakan sabok, serupa kain penutup dari pinggang hingga lutut dengan motif garis-garis yang memadukan warna merah, putih dan hitam. Sementara pada bagian lengan atas terdapat lekkau yang juga berguna untuk menyelipkan dedaunan.

Pada penampilan turuk, jumlah peserta tidak dibatasi, akan tetapi biasanya tidak dilakukan oleh terlalu banyak orang, karena jika terlalu ramai, maka irama hentakan kaki di lantai akan terlalu ramai sehingga berpengaruh pada estetika bunyi.

"Siapa pun boleh mempelajari dan menampilkan turuk, akan tetapi sikerei adalah orang yang diwajibkan menguasainya, sebab turuk juga dipergunakan dalam ritual pengobatan," tutur pelatih seni di Sanggar Uma Jaraik Sikerei, Mateus Sakukuret.

Belajar dari Alam

Pada pertunjukan turuk yang ditampilkan oleh tiga orang sikerei asal Desa Muntei Kecamatan Siberut Selatan tersebut, terdapat dua macam turuk yang ditampilkan, yaitu Turuk Uliyat Manyang dan Tutuk Uliyat Bilou.

Pada dasarnya, turuk memiliki arti tarian, uliyat dapat diartikan menyerupai dan manyang berarti camar, dengan demikian Turuk Uliyat Manyang dapat diartikan sebagai tarian yang menyerupai burung camar.

Begitu juga dengan Turuk Uliyat Bilou, yaitu tarian yang menyerupai bilou. Bilou sendiri merupakan primata yang menjadi endemik Kepulauan Mentawai.

Terinspirasi dan belajar dari alam sejak dahulu kala, turuk yang ditarikan oleh Sikerei Ailekkok Satoleuru, Sikerei Pangarita Tasiritoitet dan Sikerei Aikub Sakalio itu mencerminkan betapa erat hubungan antara manusia dengan alam di sekitarnya.

Sejak zaman dahulu, masyarakat Mentawai hidup dan menggantungkan kehidupan mereka dari hutan, sehingga interaksi antara manusia dan hutan menjadi begitu intens dam ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakat.

"Biasanya masyarakat Mentawai itu beraktifitas di hutan dan bertemu dengan berbagai macam tumbuhan dan binatang, sehingga hal itu menjadi inspirasi dalam menciptakan tarian," ujar Mateus.

Pada gerakan Turuk Uliyat Manyang, beberapa gerakan yang terlihat menyerupai burung adalah ketika para penari mengibaskan tangan, serupa seekor burung yang mengepakkan sayap ketika terbang.

Pada gerakan lain juga diperlihatkan bagaimana seekor burung yang sedang bercengkrama ketika mencari makanan. Begitu juga dengan gerakan pada Turuk Uliyat Bilou.

Melestarikan Tradisi

Mulai masuknya arus globalisasi, tentunya juga berdampak pada eksistensi kesenian tradisional yang ada di Mentawai, hal inilah yang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Mateus dan beberapa penggerak kesenian yang ada di Desa Muntei.

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, maka pada tahun 2011 ia bersama beberapa masyarakat lain mulai mendirikan sebuah sanggar seni untuk melestarikan beberapa kesenian dan kebudayaan yang mulai terancam punah.

Sanggar yang awalnya bernama Manai Sikerei ini memiliki anggota yang terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dan bahkan orang tua.

Menurut Mateus, sanggar tersebut merupakan sanggar seni tertua yang ada di Mentawai, dan sejak berdiri, sanggarnya telah melakukan banyak pertunjukan untuk memperkenalkan budaya Mentawai kepada masyarakat luas.

Tidak hanya di dalam negeri, pertunjukan tersebut bahkan sudah menyambangi beberapa negara di dunia, seperi Jerman, Belgia, Belanda dan Perancis dan Australia.

Untuk proses latihan sendiri biasanya dilakukan di dalam uma atau rumah adat Mentawai dengan jadwal dua kali dalam satu bulan. Selain itu, latihan juga dilakukan ketika akan diadakannya pementasan.

Bergabung bersama Sanggar Uma Jaraik Sikerei memberikan banyak pelajaran dan pengalaman bagi anak-anak Mentawai, berbagai pemahaman terkait adat dan budaya yang tidak diperoleh di sekolah, dapat mereka gali di sanggar tersebut.

"Ada rasa bangga tersendiri ketika dapat ikut melestarikan budaya nenek moyang saya," ujar salah seorang anggota Sanggar Uma Jaraik Sikerei, Gilbertus Sakakaddut (19) yang sudah ikut bergabung sejak sanggar itu didirikan.

Sebagai anak Mentawai, Gibertus yang saat ini berusia 19 tahun itu ikut merasakan kecemasan terhadap keberadaan budaya asli akibat adanya modernisasi.

Semakin lama budaya Mentawai semakin luntur dan bisa saja suatu saat akan hilang, menurutnya, apabila tidak ada yang mempelajari, maka suatu saat nanti budaya Mentawai hanya bisa dibaca di buku atau dilihat di dalam video maupun foto.

Keikutsertaannya dalam sanggar tersebut nyatanya ikut memotivasi anak-anak lain untuk ikut bergabung. Selain itu dukungan dari pihak keluarga membuatnya semakin mantap untuk terus mempelajari dan mendalami budaya Mentawai.

"Saya berharap budaya dan seni yang ada di Mentawai dapat bertahan dan terus bertahan hidup hingga akhir zaman," katanya. (*)