Belajar jati diri Minangkabau di Nagari Pariangan

id Nagari Pariangan

Belajar jati diri Minangkabau di Nagari Pariangan

Kawasan Desa Wisata Pariangan, Tanah Datar, Sumatera Barat. (ANTARA SUMBAR/Syahrul Rahmat)

Ketika program ini saya luncurkan pada awal 2018, tanggapan dari masyarakat cukup baik, banyak yang antusias dan ingin mengikuti program ini
"Pada masa sekarang ini, banyak masyarakat Minang, terutama yang berada di rantau, sudah tidak mengenali jati dirinya sebagai orang Minang," kata Irwan Malin Basa.

Hal itulah yang pertama kali disampaikan Irwan Malin Basa selaku Direktur Komunitas Nagari Tuo Pariangan saat ditanyakan perihal tujuannnya membuka program Sekolah Adat Surau Budaya di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Berawal dari keresahan ketika setiap perjalanan yang ia lakukan ke beberapa daerah di dalam maupun di luar negeri dan bertemu dengan masyarakat Minang, banyak di antara mereka yang tidak lagi mengenal adat dan budaya aslinya.

Ketika seseorang ditanya, Irwan menceritakan ia akan mengaku sebagai seorang keturunan Minang, akan tetapi ketika ditanya lebih lanjut tentang asal usul, silsilah serta nama penghulunya, mereka menggeleng.

Hal tersebut, menurutnya, berlaku umum bagi seluruh perantau yang tersebar di seluruh daerah, baik di dalam maupun luar negeri, terutama yang sudah merantau selama puluhan tahun.

Berangkat dari kekhawatiran tersebut, kemudian Irwan berupaya mencarikan jalan keluar agar seluruh masyarakat yang menurutnya mulai kehilangan identitas diri tersebut dapat kembali mengenali jati dirinya.

Pada awal 2018, ia bersama Komunitas Nagari Tuo Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, meluncurkan program pendidikan yang fokus pada pengenalan adat dan budaya Minang terhadap siapa pun yang tertarik untuk mengenali Minangkabau lebih jauh.

Program itu tidak hanya diperuntukkan bagi perantau keturunan Minang saja, akan tetapi bagi siapa saja sekalipun ia bukan orang Minang juga dapat mengikuti program tersebut.

"Ketika program ini saya luncurkan pada awal 2018, tanggapan dari masyarakat cukup baik, banyak yang antusias dan ingin mengikuti program ini," katanya.

Lebih lanjut Irwan menjelaskan program pendidikan ini dibagi pada beberapa kategori, mulai dari masyarakat umum yang ingin mengenal adat dan budaya Minang hingga peneliti.

Masyarakat umum nantinya akan diberi waktu paling singkat selama satu minggu untuk belajar. Sementara bagi peneliti pihaknya akan memberikan waktu yang lebih lama, bisa satu hingga dua bulan.

Program pendidikan akan dilakukan secara intensif, pendidikan tidak hanya dilakukan di dalam ruangan, akan tetapi juga di lapangan sehingga para peserta dapat langsung mengaplikasikan apa yang dipelajarinya di masyarakat.

Untuk hal tersebut ia menyusun kurikulum khusus, mulai dari pembelajaran tentang adat dan budaya Minang, seperti pemahaman tentang macam-macam adat yang dimulai dari Adat nan Sabana Adat, Adat nan Teradat, Adat nan Diadatkan dan Adat Istiadat.

Selanjutnya peserta didik juga akan diajarkan tentang tugas dan fungsi keluarga di Minangkabau, di dalam ini mereka diajarkan hubungan antara satu individu dengan individu lain dalam keluarga, seperti hubungan antara kemenakan dengan mamak serta fungsi masing-masingnya dalam setiap upacara adat.

Selain itu mereka juga diajarkan salah satu sastra lisan yang berkembang di Minangkabau, yaitu pasambahan atau petatah petitih dan pada bidang olahraga nantinya diajarkan silat.

Di bidang kesenian peserta didik akan diajarkan tentang kesenian tradisional, seperti kesenian musik saluang dan alat tiup lainnya, tari-tarian serta randai yang merupakan sebuah pertunjukan drama tradisional Minang.

Ia mengatakan tenaga pendidik selama program ini bukan orang sembarangan, namun mereka yang sehari-hari bergelut di bidang tersebut, dengan kata lain guru yang mengajar pada program ini adalah para pelaku adat, pelaku kesenian, serta guru silat yang ada di Nagari Pariangan.

"Para peserta didik akan diajarkan langsung oleh orang-orang yang paham di bidangnya, sebab pendidikan sejatinya harus diajarkan oleh orang yang paham dengan apa yang mereka ajarkan," ujarnya.

Tidak hanya itu, pembelajaran adat nantinya akan dilaksanakan di rumah gadang dan di surau, belajar silat di halaman, sehingga peserta benar-benar merasakan dan memahami keraifan lokal yang selama ini ada di Minangkabau.

Selain itu di akhir kegiatan para peserta akan diberikan angket sebagai evaluasi dan tolok ukur sejauh mana pemahaman mereka tentang adat dan budaya Minang antara sebelum dan sesudah program.

Sementara itu budayawan Sumbar Musra Dahrizal Katik Mangkuto juga merasakan keresahan tersebut dan menilai pemahaman masyarakat Minang terkait adat dan budaya saat ini sudah semakin tipis.

Budayawan yang juga menjadi dosen luar biasa di Universitas Andalas ini bahkan pernah mendapat jawaban yang mengejutkan dari mahasiswanya ketika ia bertanya tentang gelar datuak atau penghulu suku mereka masing-masing.

"Dari 46 orang mahasiswa yang saya tanyakan, 32 orang di antaranya bahkan tidak tahu gelar dari datuak atau penghulu suku mereka," katanya.

Menurutnya hal tersebut memprihatinkan. Artinya generasi muda saat ini sudah tidak mendapatkan pendidikan adat dari keluarga, baik itu orang tua maupun mamak.

Selain itu ia mengungkapkan pendidikan adat tidak akan cukup jika hanya didapatkan dari bangku sekolah formal dengan waktu pembelajaran lebih sedikit dibanding pelajaran lain.

Ia mengakui semenjak tahun 1976 sudah mulai menggalakkan agar pendidikan adat harus dilakukan agar masyarakat Minang dapat mengenali jati diri mereka dan setiap pemerintahan nagari atau desa harus menfasilitasi hal tersebut.

Generasi muda harus diperkenalkan lagi tentang budaya dan kesenian tradisional Minang, sebab hal tersebut merupakan salah satu cara untuk pembentukan karakter yang telah ada sejak lama.

Senada dengan Irwan Malin Basa, ia juga berpendapat bahwa pemahaman tentang adat dan budaya Minang harus diajarkan oleh mereka yang paham tentang hal tersebut, agar tidak ada kesalahpahaman dalam pembelajaran.

Selain itu ia mengatakan bahwa pemahaman tentang adat dan budaya tidak hanya diberikan kepada generasi muda, akan tetapi para orang tua juga harus diberi pemahaman akan hal tersebut, sebab keluarga merupakan pihak yang paling bertanggung jawab tentang paham atau tidaknya seorang anak tentang adat.

Irwan mengharapkan melalui program ini setidaknya para peserta dapat mengetahui bagaimana adat dan budaya Minang sebenarnya, sehingga ketika ditanyakan tentang hal tersebut mereka dapat menjawab dan tidak lagi berkata tidak tahu atau tidak paham.

Dia tidak mengharapkan mereka yang ikut pendidikan ini dapat langsung paham, setidaknya mereka tahu tentang adat dan budaya, serta yang paling penting mereka dapat mengenali jati diri sebagai orang Minang. (*)