Mudik bagi perantau asal Sumatera Barat populer dengan sebutan pulang basamo yang sempat populer di era Orde Baru.
Pulang basamo adalah aktivitas mudik yang diatur agar bisa dilakukan bersama-sama, bukan sekadar untuk menumbuhkan ikatan persaudaraan sebagai sesama sekampung dan orang rantau, tetapi juga menyirat makna meringankan biaya karena ditanggung bersama, serta merasa lebih aman.
Tradisi basamo melalui jalan darat dahulu membutuhkan waktu, stamina dan keberanian agar bisa selamat di kampung tujuan karena sejumlah ruas di lintas Sumatera relatif tidak aman dan dahulu disarankan untuk melintasinya di siang hari saja.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dahulu pada ruas tertentu terdapat begal dan bajing loncat.
Kini, ruas lintas tengah dan timur Sumatera relatif aman dan bisa dilalui di malam hari. Semakin majunya transportasi udara dan laut, tidak menyurutkan pemudik untuk menggunakan mobil pribadi menyusuri kota, kampung dan hutan Sumatera.
Volumenya juga semakin banyak sehingga pemerintahan Jokowi-JK merasa perlu untuk mengejar pembangunan Jalan Tol Transumatera.
Tingginya minat pulang kampung bagi perantau terlihat pada hari kedua Idul Fitri di titik tertentu di daerah wisata, seperti di Kawasan Wisata Mandeh dan Bukit Tinggi.
Beragam nomer kenderaan asal kota-kota di ujung, seperti Aceh hingga Bandar Lampung, lalu plat kenderaan dari kota-kota di Jawa.
Jalur Padang ke Bukittinggi, atau sebaliknya selama lima hari pertama lebaran terus didera macet, siang dan malam, terutama menjelang Lembah Anai yang tidak hanya memiliki spot wisata air terjun, tetapi juga di sepanjang sungainya terdapat kolam renang mini untuk memanjakan anak-anak usia sekolah dasar dan balita untuk bermain air.
Dampaknya, lalu lintas kenderaan terganggu. Begitu juga pada pertigaan dan menjelang Kota Padang Panjang.
Ironisnya, tingginya pemudik berlibur ke Bukittinggi tidak berdampak pada kunjungan ke ikon kota tersebut, yakni Jam Gadang. Sejumlah pedagang mengatakan jumlah pengunjung lebih sedikit dibandingkan Idul Fitri tahun lalu sehingga omset penjualan mereka turun hingga 50 persen.
Haji An, pedagang grosir makanan khas Bukittinggi, seperti kerupuk sanjai, belut kering, ikan bilih dan lainnya, sudah merasa ketika pesanan atas dagangannya menurunkan drastis di awal dan pertengahan puasa.
Sebagai pedagang grosir, biasanya orang memesan kerupuk jange (kulit) hingga 1,5 ton pada tahun lalu, tetapi tahun ini, 500 kg juga tidak sampai.
Kari, sejawat H An, juga mengalami nasib yang sama. Dia memperkirakan, penyebab omsetnya turun karena liburan Idul Fitri tahun ini berdekatan dengan tahun ajaran baru.
Ali, pedagang kaos souvenir juga mengakui penjualannya turun 20 persen. Dia menilai penyebab turunnya penjualan karena Pemkot Bukittinggi membuat aturan baru dimana mobil dan motor dilarang parkir di kawasan dan di sekitar Jam Gadang.
"Orang malas turun, karena parkirnya jauh. Jadi, mereka melihat saja dari mobil lalu terus keluar dari areal Jam Gadang," ucap Ali yang berusia sekitar 50-an dan sudah berdagang di daerah itu lebih dari 10 tahun.
Keluhan yang sama juga disampaikan Sari, pedagang kaos souvenir khas Jam Gadang dan Bukittinggi. Di awal Lebaran, omsetnya turun 35 persen. Di hari ke-4 dan ke-5 turun hingga 50 persen.
Dia terpaksa menjual murah saja atau mengambil untung tipis untuk sekadar balik modal agar tidak berhutang saja kepada penyedia barang.
Sari memperkirakan, penyebabnya, karena Lebaran tahun ini berdekatan dengan tahun ajaran baru dan turis yang datang ke Jam Gadang juga berkurang. Dia tidak bertemu dengan pelanggan dari Riau dan Pekanbaru, kecuali yang dari Medan.
Sari menduga karena tempat parkir jauh dan tidak ada atraksi menarik di halaman Jam Gadang. Tahun lalu dia tidak bisa duduk ketika menjaga kedai karena pelanggan datang silih perganti. Lebaran tahun ini dia bisa berleha-leha menanti pelanggan.
Kondisi yang lebih memprihatinkan dialami Hasan, penjualan asesoris gelang, kalung dan gantungan kunci. Tahun lalu, dia bisa mengantongi Rp9 juta hingga hari ke-4. Tahun ini hanya Rp2 juta pada periode yang sama.
"Tahun ini, penjualan paling parah," katanya. Hasan menyatakan, salah satu penyebabnya, dia dan teman-temannya tidak boleh berjualan di halaman Jam Gadang.
Namun, tidak semua pedagang mengalami kerugian. Nasrul, penjual asesoris, gelang tasbih, gelang modern, miniatur Jam Gadang dan miniatur rumah adat mengatakan omsetnya naik berlipat ganda.
Meski hanya diizinkan berjualan mulai pukul 16.00 karena persaingan tidak sehat dari pedagang pemilik kios di dalam gedung pasar, tetapi dia berpendapatan semakin "diinjak", maka rejeki dia semakin baik.
Pria yang bernama panggilan Naro itu menyatakan, kejujuran modal utama dalam berusaha. Dia mengaku tidak mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang dagangan.
Hanya bermodal mulut dan kepercayaan saja, dia bisa berdagang di Kawasan Wisata Jam Gadang.
Susana di Jam Gadang memang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kemacetan menjelang dan saat di kawasan wisata disiasati petugas dengan membebaskan halaman Jam Gadang dari lahan parkir kenderaan. Kondisi yang sama juga diperlakukan di jalan-jalan sekitar jam besar itu.
Dampaknya, kenderaan harus parkir jauh dari lokasi dan berjalan ke ikon Kota Bukittinggi atau hanya melintas di sekitar jam lalu melanjutkan perjalanan atau mencari parkir di luar kawasan.
Titik macet di sekitar jam memang berkurang. Dampaknya, pengunjung juga berkurang.
Kondisi ini seperti buah simalakama. Diijinkan parkir, macet total di sekitar jam, tidak diijinkan, pengunjung jadi melenggang melanjutkan perjalanan ke obyek wisata lain karena malas jalan dari tempat parkir yang jauh.
Pedagang mengeluh, omset turun jauh. (*)