Mencari Pintu Taubat di Panti Rehabilitasi

id Mencari Pintu Taubat di Panti Rehabilitasi

"Habis gelap, terbitlah terang", kalimat pendek ini setidaknya menjadi semangat sebagian perempuan yang pernah terjebak dalam "dunia malam" untuk keluar dari lembah kegelapan tersebut.

Membangun kehidupan yang sesuai dengan norma-norma adat dan agama, masih terselip dalam jiwa sebagian mereka yang kini menjalani rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita (PsKW) Andam Dewi Sukarami, Solok, Sumatera Barat.

Secuil harapan yang masih tersisa dalam lubuk hati sebagian Pekerja Seks Komersial (PSK) itu, mewujudkannya tentu bukan persoalan mudah.

Betapa tidak, hambatan selain "streotip" yang melekat di masyarakat terhadap dirinya. Kemudian mereka dihadapkan kesulitan mendapatkan modal usaha yang benar dan halal tersebut.

Hal inilah yang dialami Nel (bukan nama asli, red) satu dari 40 orang perempuan yang sudah ke tiga kalinya menjalani rehabilitasi di panti sosial milik pemerintah provinsi itu.

Siang itu, tepatnya awal pekan kedua November 2012 ketika ditemui di ruang keterampilan PsKW Adam Dewi, Nel menuturkan dirinya punya keinginan untuk berubah dan berusaha jualan makanan setelah keluar dari rehabilitasi.

Namun, tak kunjung bisa dia mewujudkan impiannya setelah menjalankan rehabilitasi. Ketika keluar tak ada modal untuk memulai usaha.

Meski modal tahap awal yang dibutuhkan untuk membuka usaha makanan hanya sekitar Rp3 juta. Bagi perempuan empat anak ini cukup berat untuk mendapatkannya.

Ingin bekerja sama orang lain, kata dia, entah ada yang mau menerima atau berpandangan positif terhadap dirinya.

"Saya saat keluar yang kedua kali dari rehabilitasi, sudah ingin menjalankan usaha makanan. Apa daya modal tidak ada dan mudah-mudahan keluar yang ketiga ini dapat jalan keluar," harap perempuan yang sudah tiga kali masuk ke panti itu.

Setiap perempuan yang dikirim Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dari hasil razia, harus menjalankan masa rehabilitasi selama enam bulan di panti itu.

Perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini, selama menjalankan rehabilitasi menekuni kecakapan hidup bidang tata boga.

"Awak...(saya, red) lebih suka memasak dibandingkan keterampilan lainnya, seperti menjahit, sulaman dan bordir. Makanya setelah keluar nanti ingin jualan nasi," kata dia sembari sambil mengusap wajah dengan kerudungnya.

Dia menceritakan, semasa bersuami sudah pernah bekerja pada satu markas TNI sebagai juru masak dan clening servis. Hanya berlangsung sekitar lima bulan, karena gaji tidak mencukupi kebutuhan keluarga.

Sedangkan suami sebagai buruh dan selalu memperlakukan sikap dan perilaku kekerasan. Sekecil apapun persoalan amarahnya sama saja seperti menghajar fisik seorang laki.

"Saya sudah tak sanggup menahan perlakukan kasar dan sasaran amarah suami. Maka dipilih bercerai dari pada mati karena dihajar. Saya memikirkan empat orang anak yang membutuhkan biaya hidup," ungkapnya.

Kalimat perempuan ini mulai terpatah-patah ketika pembicaraan tentang empat orang buah hatinya, karena kini mereka ditinggalkan di tempat yang terpencar.

Dua orang dari empat anaknya yang duduk di bangku sekolah. Si bungsu (6 tahun) belum masuk usia sekolah dan sulung (16 tahun) sudah lama berhenti.

Perempuan asal Padang itu, terjebak ke dalam dunia malam setelah dirinya bercerai dengan sang suami --pelaku KDRT-- lima tahun silam.

Sulit mendapatkan pekerjaan setelah menjadi janda dan enak butuh biaya.

Ada tetangganya yang berbaik hati menawarkan bekerja di sebuah cafe di kota itu. Nel tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, karena memerlukan uang untuk biaya hidup.

"Disitu awal mulanya kenal dengan dunia malam. Padahal, sebelumnya tak mengerti sama sekali, walau pun besar di Padang," tuturnya.

Perempuan itu, mengaku tidak pula fokus di dunia malam tersebut, dapat uang Rp100 ribu-Rp200 ribu, lalu pulang dan digunakan untuk kebutuhan anak-anak.

Nel pun masih ingin punya suami yang sah setelah dirinya keluar dari panti itu, tapi tak sama dengan pengalaman masa lalu yang dialaminya.

"Saya ingin bersuami yang sah, meski pun seorang petani yang kerjanya ke sawah atau ke ladang, asalkan tidak melakukan tidak kekerasan terhadap dirinya dan anaknya," katanya.

Hal senada diungkapkan Bunga (nama samaran, red) perempuan yang ditangkap di batas Sumbar-Riau itu, dirinya terperangkap dalam kehidupan malam hanya sebagai usaha sampingan.

Kesulitan hidup membawa dirinya terjebak ke lembah "hitam" itu. Perempuan ini siangnya bekerja sebagai buruh angkat di suatu pasar tradisional untuk memenuhi nafkah keluarganya.

Dia terjaring aksi razia yang dilakukan Satpol PP, kini menjalankan rehabilitasi dan berniat tak kembali menjalani kehidupan malam.

Pintu taubat dan ingin berubah ke arah lebih baik terbuka bagi semua orang, termasuk perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) itu.

Sulit Pemasaran

Selama menjalankan masa rehabilitasi itu, para perempuan itu diberi kecakapan hidup sesuai kemampuan dan keinginannya.

Kepala Seksi Pelayanan, Pembinaan Mental Kependidikan PSKW Adam Dewi, Syahbana, menjelaskan pelatihan diberikan meliputi menjahit, sulaman, bordiran, tata boga, pertanian dan membuat keset.

Berbagai jenis produk yang dihasilkan susah mendapatkan pemasaran, karena tak ada instansi dan pihak terkait yang mau menampung. Meskipun ada yang jual, hanya ketika tamu datang dan tertarik sehingga mereka membeli di panti, kondisi tersebut jarang pula terjadi.

"Produk kerajinan yang dihasilkan tak kalah pula dibandingkan dengan "home industri" lainnya, tapi bagaimana untuk meningkatkan produksi terkendala pasaran," ujarnya.

Padahal, jika ada instansi dan organisasi terkait mau menampung produk kerajinan tersebut, tentu dapat menambah pembiayaan pembinaan dan uang saku bagi warga binaan.

Sebab, setiap harinya masing-masing warga binaan diberi uang saku Rp5.000 per orang yang bersumber dari APBD provinsi. Justru itu, apabila ada pemasukan dari penjualan keterampilan mereka, tentu dapat menambah variasi, corak dan dasar kain untuk keterampilan warga binaan tersebut, karena mengandalkan biaya APBD terbatas.

"Kita berhadapan adanya dukungan dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda), baik kabupaten maupun provinsi membantu dalam pemasaran," ujarnya.

Selain itu, ketika mereka keluar nanti diharapkan mendapat dukungan pula dari Dinas Koperasi atau instansi lainnya di setiap daerah. Keterampilan yang ditekuni selama proses rehabilitasi dapat jadi bekal mereka menata usaha mandiri yang benar dan tak kembali lagi ke "kehidupan nestapa" tersebut.

Menurut dia, ada PSK yang berulang kali masuk ke panti itu, ketika ditanya kenapa tak dimanfaatkan keterampilan yang telah dimiliki? Jawabnya terkendala modal untuk berusaha mandiri.

Padahal, setiap mereka yang keluar dan telah menjalankan rehabilitasi selalu dikirimkan surat tembusan kepada Dinas Sosial daerah asal mereka.

Tujuannya, agar ada upaya dan langkah konkret untuk pembinaan lanjutan terhadap mereka, baik pemberian suntikan modal dan mencarikan usaha yang halal.

Perempuan-perempuan yang menjalankan rehabilitasi, setelah keluar dibekali pula dengan paket 17 item, mulai dari mesin jahit, benang, kain dan Al-quran.

Belajar Mengaji

Setelah suara adzan berkumandang terdengar di kaki Gunung Talang, Kabupaten Solok siang itu, terlihat kaum hawa berbondong menuju musalla kecil.

Mereka laksana remaja sedang menjalankan pesantren kilat, karena mengenakan kerudung dan baju kurung berbahan batik. Sebagian yang lainnya berseragam biru celana dongker.

Inilah suasana siang di panti rehabilitasi Adam Dewi, secara bergantian perempuan-perempuan itu memutar kran air yang terpasang di sisi dinding musalla untuk mengambil wuduk.

Sekitar 30 orang perempuan itu, mulai merapatkan dan meluruskan shaf shalatnya setelah takbir dimulai pada shalat Suhur di Senin (12/11) siang itu.

Setelah menjalankan shalat empat rakaat yang dilanjutkan dengan do''a langsung dipimpin Imam yang merupakan instruktur bidang pembinaan keagamaan di panti itu.

Kaum hawa itu, tak langsung saja ke luar meninggalkan ruangan musalla, tapi menunggu diabsensi dulu oleh guru, panggilan akrab Ali Amur (54) oleh perempuan-perempuan yang menjalani rehabilitasi tersebut.

Satu persatu mereka menyebutkan namanya dengan ucapan "hadir guru... hadir guru... hadir guru, begitu seterusnya" kalimat singkat ini secara bergantian dan begitu lantang terdengar sampai keluar ruangan musalla kecil itu.

Selanjutnya baru mereka bergantian keluar menuju asrama dan sebagian ada langsung keruangan pelatihan --tempat mereka mengasah dan menimbah kecakapan hidup--.

Ali Amur mengatakan, para perempuan ini menjalankan masa rehabilitasi enam bulan, mereka belajar mengaji dan shalat. Banyak pula di antara perempuan itu sama sekali tidak pandai baca Al-quran dan bacaan shalat ketika masuk ke sana.

Meski usia sudah dewasa, tapi sama sekali tak punya dasar membaca Al-quran, sehingga ada yang memulai belajar mengaji dari Iqra''. Sebaliknya, bagi benar-benar ingin belajar dan berubah cukup dalam kurun waktu tiga bula saja, sudah bisa baca Al-quran.

"Mengajar orang dewasa, apalagi mereka dari dunia malam bukan berarti berjalan mulus. Mereka tidak sama dalam menerima pelajaran keagamaan, bahkan ada pula yang membantah dan dongkol," kata pria yang selalu berpeci hitam itu.

Guru sudah sejak 2005 mengabdi menjadi instruktur dan membina para perempuan hasil tanggapan Polisi Pamong Praja di wilayah Sumbar itu.

Pembinaan bidang agama, khususnya tentang dasar-dasar agama Islam dilaksanakan ba''dah shalat maqrib sampai waktu shalat Isha.

"Semua perempuan yang menjalankan rehabilitasi diwajibkan menjalankan shalat berjamaah dan pengajian, kecuali bagi yang berhalangan," kata pria tiga anak itu.

Bagi yang melanggar dan sengaja mencari dalih atau alasan, ada sanksi yang harus dijalani, di antaranya membersihkan lingkungan panti.

Dibalik perjuangan yang dihadapi sang guru mengaji itu, ada pula hal yang mengesankan dirinya. Dari sekian banyak perempuan yang telah diberi pembinaan mental, ternyata ada datang ke rumahnya.

"Ya...ada yang datang, mereka ada yang membawa bingkisan seperti kain sarung dan baju. Sebagai wujud terima kasih, tentu patut dihargai," tutur dia.

Pengelola PsKW untuk membangun kepercayaan diri warga binaan, diadakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) antar perempuan-perempuan tersebut di panti itu. (*/jno)