Fenomena Pilkada

id Fenomena Pilkada

Banyak yang mengeluh ketika akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan anggota legislative. Hal tersebut terkait dengan banyaknya permintaan yang harus dipenuhi ketika mencalonkan diri. Permintaan itu semuanya tak terlepas dari uang. Sebelum terpilih menjadi calon anggota legislative dan kepala daerah sudah mengeluarkan uang yang banyak. Mulai dari proses pencalonan, masa kampanye dan pemilihan. Ketika sudah terpilih permintaan juga tak berhenti. Banyak proposal dan sumbangan yang harus dilayani oleh anggota dewan dan kepala daerah. Itulah sebagian fenomena yang terjadi dengan diberlakukanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat.Jika dahulu Pilkada masih dilakukan oleh anggota DPRD terkesan tidak merakyat. Pilihan DPRD kadang-kadang tidak sesuai dengan pilihan rakyat. Rakyat seakan pasrah saja dengan pilihan DPRD. Begitu juga dengan pemilih yang banyak disuatu daerah hanya diwakili oleh beberapa orang wakil rakyat saja. Rasanya tidak adil. Apalagi adanya isu permainan uang yang kental waktu pemilihan. Kasus-kasus seperti itu menambah apriori rakyat terhadap pilihan DPRD. Demikian juga halnya dengan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah, ada indikasi hanya akan menguntungkan kepentingan anggota DPRD. Kepentingan rakyat sedikit terpingirkan oleh elit karena rakyat memang tidak dilibatkan dalam pemilihan itu. Kepala daerah tidak akan dijatuhkan oleh rakyat. Sehingga kepala daerah hanya takut kepada anggota DPRD.Tetapi setelah rakyat diberi kesempatan menggunakan hak pilihnya secara langsung, timbul beberapa persoalan. Terutama terjadi konflik dan kerusuhan akibat pelaksanaaan Pilkada. Akibatnya suasana kehidupan masyarakat tidak berjalan secara normal. Seperti kejadian di Maluku Utara atau daerah lain yang sempat berkonflik tahun 2005 yang lalu. Kemudian persolan lainnya adalah masyarakat mudah tergiur dengan uang untuk memilih kepala daerah.sehingga terkesan menjadi pragmatis. Akibatnya keterpilihan kepala daerah akan berdasarkan jumlah uang yang ia keluarkan tetapi bukan berdasarkan program dan visi yang disampaikan oleh calon kepala daerah. Selain itu Pilkada juga rentan memunculkan kerusuhan di daerah. Ikatan emosional masyarakat dalam pilkada langsung lebih erat dibandingkan dalam pemilihan presiden. Pilkada langsung juga akan menyulitkan daerah yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) yang minim. Pasalnya, biaya pelaksanaan pilkada tidak boleh menggunakan dana subsidi sehingga bertumpu pada PAD yang dimilikinya masing-masing. Namun tak dapat dipungkiri tujuan Pilkada secara langsung untuk mengobati keinginan masyarakat yang selama ini terpasung. Harusnya rakyat berterima kasih dengan cara benar-benar memanfaatkan momen Pilkada untuk mencari pemimpin yang memiliki integritas dan kualitas. Tapi jangan sampai Pilkada ini dijadikan kesempatan untuk menggeruk kepentingan pribadi. Apalagi sampai kabablasan yang berakibat buruknya kualitas pemimpin yang akan dihasilkan. Menurut Ryaas Rasyid jika rakyat memilih kepala daerahnya secara langsung, maka kedaulatan benar-benar ada di tangan rakyat. Selain itu, secara teori, pilkada secara langsung juga dapat memberikan pendidikan politik kepada rakyat. Salah satu dampak positif lain dari sistem pilkada langsung adalah dapat meningkatkan ekonomi politik. Saat pilkada, akan tercipta lapangan kerja baru secara informal seperti misalnya tukang sablon dan pembuat pamflet.Terkait dengan calon dalam Pilkada langsung akan memberi ruang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih. Artinya setiap orang yang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih, tanpa memilah seseorang menurut status sosialnya (miskin atau kaya, bodoh atau pintar, radikal atau moderat) dapat menjadi anggota parlemen dan kepala daerah.Namun salah satu kelemahan pilkada langsung terlalu mengandalkan diri pada prinsip suara mayoritas sesuai dengan doktrin one share one vote. Pihak mana yang paling banyak suaranya, ialah yang paling menentukan keputusan. Prinsip demokrasi itu identik dengan system kapitalis didalam dunia bisnis yang mengutamakan prinsip one man one vote. Siapa yang paling banyak memiliki saham, ialah yang menentukan keputusan. Padahal, mayoritas suara belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan.Akibat banyaknya persoalan yang dihasilkan, maka ada wacana agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Persoalan krusial adalah banyaknya uang yang dialokasikan untuk membiayai Pilkada. Kemudian tingkat konflik horizontal ditingkat masyarakat yang sulit dihindari. Sehingga kesejahteraan masyarakat tidak lagi mendapat porsi lebih dari kepala daerah yang akan memimpin. Semoga saja dampak buruk Pilkada tersebut tidak terjadi. (*)* Penulis adalah Wasekjend Forum Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Minang (FORAHMI), Jakarta.