Dibangun di Bawah Iringan Gendang Serunai

id Dibangun di Bawah Iringan Gendang Serunai

Dibangun di Bawah Iringan Gendang Serunai

Masjid Raya Koto Baru yang amat bersejarah, berada di Nagari Koto Baru, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, Sumatera Barat, masih berdiri kokoh dan digunakan masyarakat setempat untuk beribadat. Masjid yang awalnya bernama Masjid Batu Koto Baru ini diperkirakan dibangun pada tahun 1922 dan merupakan masjid batu pertama kali di Solok Selatan. Pembangunan masjid yang bangunannya bergaya Eropa dan China yang berada di kawasan seribu rumah gadang ini memakan waktu sepuluh tahun, 1922 - 1933. "Pembangunannya secara gotong royong oleh seluruh masyarakat Alam Surambi Sungai Pagu. Waktu itu sifat gotong royong masih sangat kuat. Memanggil masyarakat untuk bergotong royong hanya menggunakan gong," jelas pemuka Masyarakat Koto Baru, Thamrin Djamal, Minggu. Masjid Raya Koto Baru, imbuh dia, memiliki lima tonggak kayu yang diambil dari hutan Sungai Abai. Karena waktu itu tidak ada kendaraan untuk mengangkut, kayu dibawa dengan cara dialirkan melalui arus Sungai Batang Bangko. "Waktu menebang kayu dan membawa kayu ke lokasi pembangunan dan pengerjaannya diiringi dengan Gendang Serunai," katanya. Dinding masjid terbuat dari batu bata dan direkatkan dengan kapur. Batu bata sumbangan masyarakat Pulakek yang berjarak sekitar 3 Km dari lokasi masjid, sedangkan batu untuk pondasi menggunakan batu yang berasal dari Sungai Batang Bangko. Puncak Masjid Empat Gonjong Selain memiliki bangunan bergaya Eropa dan China, Masjid Raya Koto Baru juga memiliki keunikan, yakni puncak masjid bergonjong empat yang masing-masing gonjong mengarah pada empat arah mata angin dan sebuah tombak yang berada di tengah empat gonjong yang melambangkan payung panji. Menurut Thamrin, empat gonjong melambangkan empat raja dari empat suku, yaitu Suku Melayu, Suku Kampai, Suku Panai, dan Suku Tigo Lareh yang berada di Alam Surambi Sungai Pagu dan tombak menjulang setinggi lebih kurang 1,5 meter itu sebagai perlambangan bahwa empat raja tersebut ber-Tuhan kepada yang satu, yakni Allah SWT. "Puncak masjid pernah akan diganti dengan kubah setengah lingkaran namun masyarakat menolak karena pembangunan masjid ini erat dengan adat dan agama seperti filosofi masyarakat Minangkabau, 'adat basandi syara', syara' basandi kitabullah," ungkapnya. Di bawah puncak masjid, dibuat balai-balai yang digunakan untuk azan dan zikir rabana atau berzikir dengan diiringi oleh alat musik rabana. Selain puncak balai-balai yang berada di bawah puncak masjid, di sisi kiri dan kanan bagian depan masjid juga dibangun puncak balai-balai yang fungsinya sama dengan puncak balai-balai yang berada di bawah puncak masjid. "Waktu dulu belum ada alat pengeras suara sehingga Azan dan Zikir Rabana dilakukan di puncak balai-balai agar masyarakat mendengarkan," jelas Thamrin. Rusak Parah Karena Gempa Tahun 1941-1942 Masjid Raya Koto Baru ikut menjadi korban keganasan gempa bumi pada tahun 1941-1942. Menurut Thamrin, dinding kiri-kanan dan depan-belakang masjid rusak parah sehingga tidak ada masyarakat yang berani beribadah di masjid tersebut. "Tidak ada satu pun masyarkat yang berani shalat di masjid karena rusak parah," katanya. Thamrin menceritakan, bersamaan dengan gempa, Jepang sudah masuk ke Indonesia dan sampai di Solok Selatan. Ketika itu ada salah seorang arsitek Jepang yang berjalan-jalan. Arsitek Jepang itu ditemui dan dimintai pendapat oleh pemuka masyarakat apakah masjid itu masih bisa dipakai. Setelah diamati sejenak, arsitek Jepang itu mengatakan kalau mesjid masih bisa digunakan untuk beribadah. "Semenjak itu masyarakat kembali beribadah di masjid batu," katanya. Renovasi dinding masjid yang rusak akibat gempa di tahun 1941-1942, tambah Thamrin, baru bisa dilaksakan pada tahun 1947 karena menunggu terkumpulnya sumbangan dari masyarakat. "Sampai sekarang perbaikan masjid masih dilakukan secara swadaya, baik dari masyarakat yang berada di Solok Selatan ataupun yang di rantau," jelasnya. Puncak masjid, sebut dia, juga pernah diperbaiki dua kali, yakni pada tahun 1980 dan 1992, tanpa merubah bentuk aslinya. Puncak masjid yang terpasang saat ini merupakan puncak masjid yang dipasang pada tahun 1992. Sekitar tahun 2004, pemerintah memberikan bantuan untuk membangun gapura atau gerbang mesjid. (*/wij)