Jakarta, (Antara) - Riset terkini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai menyadari akan gejala serta faktor risiko alzheimer, yakni penyakit yang diawali dengan kepikunan. Juru Bicara General Electric Healthcare untuk regional ASEAN Mirielle Ranade dalam pemaparan hasil penelitian di Jakarta, Selasa, menyebutkan 71 persen penduduk Indonesia ingin mengetahui apakah mereka memiliki gangguan syaraf (neurological disorder). Penelitian tersebut dilakukan oleh Millward Brown yang diinisiasi oleh GE Healthcare selama Juni 2014 dengan melibatkan 10.000 responden di 10 negara, di antaranya Indonesia, Australian, Brasil, Tiongkok, India, Jepang, Rusia, Korea Selatan, Inggris dan Amerika Serikat. "Sebagian besar penduduk Indonesia ingin mengetahui apakah mereka memiliki gangguan syaraf, meskipun tidak ada upaya penyembuhan yang bisa dilakukan," katanya. Dia mengatakan peserta survei di Indonesia kurang mendapatkan informasi terkait tanda-tanda dan gejala dimensia (kepikunan) dibandingkan responden di negara lain. Mirielle menambahkan mayoritas responden tidak dapat mengindentifikasi gejala umum, termasuk kehilangan ingatan, masalah komunikasi, kepribadian, perubahan suasana hati pelaku dan kehilangan inisiatif yang merupakan indikator terkena dimensia. Dia menyebutkan hampir 30 persen dari responden bahkan tidak mampu mengindentifikasi satu gejala dimensia. Penelitian menunjukkan gejala yang paling menonjol dari dimensia, yakni penurunan kemampuan menilai (41 persen), sementara gejala penurunan kemampuan bahasa paling sedikit (20 persen). "Namun, sebanyak 77 persen ingin mengetahui apakah orang terdekat mereka menderita gangguan syaraf," katanya. Sementara itu, keingintahuan mengenai gangguan syaraf lebih banyak dari kaum perempuan yang berusia di bawah 40 tahun. "Hal ini menggambarkan pergeseran persepsi tradisional yang kerap menganggap gangguan otak sebagai sesuatu yang wajar dalam masa penuaan," katanya. Selain itu, riset menunjukkan lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia berkeinginan untuk mengubah gaya hidup untuk menunda dampak penyakit, sementara 66 persen ingin mengetahui diagnosa mereka untuk memulai pengobatan. Dia menyebutkan sebanyak 87 persen masyarakat Indonesia percaya bahwa akses terhadap diagnosa yang akurat cukup penting, terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman dirawat di rumah sakit dan berusia di bawah 40 tahun. Mirielle menambahkan 70 persen masyarakat Indonesi berkeyakinan bahwa mereka harus memiliki akses untuk melakukan diagnosis dan 71 persen setuju bahwa diagnosis harus dibiayai asuransi kesehatan. Dalam kesempatan yang sama, CEO GE Healthcare ASEAN David Utama menambahkan alzheimer merupakan salah satu penyakit yang belum dipahami masyarakat. "Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mulai sadar akan risiko alzheimer dan mulai berkeinginan untuk mengetahui, gejala, diagnosis serta pilihan pengobatan," katanya. (*/jno)
Berita Terkait
Menuju Piala Asia Futsal 2026, timnas Indonesia umumkan 25 pemain
Senin, 29 Desember 2025 13:40 Wib
Menpar nilai kebijakan WFA perkuat pergerakan wisatawan saat liburan
Senin, 29 Desember 2025 5:52 Wib
Media Kanada laporkan John Herdman ditunjuk jadi pelatih timnas
Minggu, 28 Desember 2025 18:51 Wib
Awal Januari nanti, 10 wakil Indonesia berlaga di Malaysia Open 2026
Minggu, 28 Desember 2025 15:14 Wib
Hujan gol, timnas futsal Indonesia melaju ke final setelah menang 7-3
Sabtu, 27 Desember 2025 20:27 Wib
Menpar nilai kebijakan WFA perkuat pergerakan wisatawan saat liburan
Sabtu, 27 Desember 2025 7:49 Wib
Super League Indonesia : Persib hadapi PSM, Semen Padang jumpa Madura United
Sabtu, 27 Desember 2025 6:49 Wib
Ketum: Ayu Aulia tim kreatif GBN-MI, bukan Kemenhan
Jumat, 26 Desember 2025 18:31 Wib
