Balikpapan, Kalimantan Timur (ANTARA) - Matahari bersinar terik ketika kaki menginjak sisi timur tanah Borneo Jumat (5/12) lalu. Tak perlu waktu lama bagi tim untuk segera menjelajahi sudut-sudut di calon ibu kota baru Indonesia di Kalimantan Timur.

Pulau Kalimantan agaknya identik dengan kekayaan flora dan fauna di dalam hutan hujannya. Tak terkecuali di Samboja, Kalimantan Timur, yang terkenal sebagai habitat satwa orangutan.

Bukan hanya sebagai rumah bagi primata tersebut, rupanya di Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Samboja, Kalimantan Timur ini, juga sebagai "sekolah" untuk orangutan yang menghuninya.

Dari Bandara Sepinggan, Balikpapan menuju hutan konservasi ini, memakan waktu sekira 1,5 jam dengan menggunakan mobil dengan melewati medan yang cukup memacu adrenalin.
  Pengunjung berjalan di medan di Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Samboja, Kalimantan Timur, Jumat (5/12/2019). (ANTARA/HO/NMI)

Pengunjung harus menghadapi medan yang beragam, mulai dari aspal biasa, hingga jalanan tanah dan berkerikil, ditambah dengan jalanan menanjak dan berkelok.

Tak hanya itu, lalu lintas di sepanjang jalan dari Balikpapan menuju Samboja juga cukup padat dengan kendaraan-kendaraan besar seperti truk.

Setibanya di BOSF, ANTARA disambut dengan seekor orangutan bernama Rambo yang tengah asyik menikmati buah yang ia makan. Ia dikelilingi oleh aneka pepohonan, tempat bergelantungan, hingga danau buatan.

"Ini namanya Rambo, dia bisa dibilang orangutan yang cukup tua di sini," sambut Deputi Direktur Restorasi Habitat Orangutan Indonesia, dr Aldrianto Priadjati di Samboja.

Rambo rupanya tidak sendirian. Terdapat kurang lebih 100 orangutan yang "bersekolah" di BOSF yang sudah berdiri selama 28 tahun ini.

"Ada 600 orangutan yang tinggal di seluruh hutan Kalimantan. Tapi di Kalimantan Timur terdapat 121 orangutan yang harus dididik sampai lulus," kata Aldrianto.


"Sekolah" orangutan

Di tengah area hutan seluas 1852 hektar ini, ratusan orangutan dirawat dan dididik di sebuah "sekolah".

Orangutan yang disekolahkan ini adalah mereka yang dulunya tidak tinggal di habitat hutan asli. Beberapa di antaranya bahkan pernah tinggal bersama manusia, hingga bermain sirkus.

Hal itu kemudian memicu perilaku orangutan menjadi tidak sesuai dengan tabiat aslinya. Orangutan harus sekolah selama 7 tahun agar perilakunya bisa kembali, sekaligus menjaga kesehatannya.

Para pengelola dan relawan BOSF mendidik para orangutan ini agar dapat berperilaku, serta bisa bertahan dan dilepas kembali habitat asalnya, yakni di hutan Kalimantan setiap tahunnya.

"Selama tahun 2019 sendiri sudah ada 21 orangutan yang dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen, Kutai Timur. Utamanya orangutan jenis gen asli Kalimantan Timur, yaitu Pongo Abelii," kata Aldrianto.

BOSF tidak semata-mata langsung menerima orangutan yang sehat dan segera disekolahkan. Tak jarang para pengelola menerima orangutan dengan kondisi tidak sehat, bahkan cukup memprihatinkan.

Ada yang terkena penyakit menular, cacat karena pernah ditembak oleh senapan manusia, serta berbagai masalah lain yang kerap menimpa hewan mamalia itu.

"Untuk memantau kesehatan, orangutan wajib skrining kesehatan setahun sekali. Sebelum dilepasliarkan, dipastikan orangutan sehat dan asli dari Kalimantan Timur," terang Aldrianto.

Beruang madu

Setelah puas berkeliling dan menyapa orangutan, ANTARA beranjak menuju rumah dari sun bear, alias beruang madu di area lainnya dari BOSF.

Gaum dari beruang yang identik dengan warna hitamnya itu seakan menyambut para pengunjung yang menghampiri penangkarannya.

Di balik tubuhnya yang besar dan terlihat menggemaskan, rupanya sun bear cukup sensitif dengan kehadiran manusia dalam jumlah yang banyak.

Ketika ANTARA dan rombongan pewarta mencoba melihat lebih dekat beruang-beruang ini, mereka mulai merasa panik dan meraung-raung.

Terdapat kurang lebih 65 beruang madu yang ditampung dan dirawat di tempat ini. Mayoritas dari mereka adalah bekas dari tempat sirkus hingga peliharaan manusia yang disita Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

"Di sini ada 65 sun bear, kondisinya semua sama. Mereka trauma karena jadi korban perundungan manusia, main sirkus atau diperlakukan manusia tidak semestinya," kata Aldrianto.

Bicara mengenai bagaimana hutan konservasi ini merawat dan mendidik satwa yang trauma untuk kembali dilepaskan ke alam bebas, agaknya sedikit menggugah kesadaran pengunjung untuk saling menjaga sesama makhluk hidup.

Label "satwa yang dilindungi" pun baiknya dijadikan aksi ketimbang sekadar slogan saja. Menjaga hutan dan fauna Indonesia yang eksotis agar dapat dinikmati generasi mendatang. (*)

Pewarta : Arnidhya Nur Zhafira
Editor : Mukhlisun
Copyright © ANTARA 2024