Jakarta, (ANTARA) - Menanggapi hasil riset SETARA Institute terkait produk hukum daerah yang diskriminatif dan intoleran, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri akan mengkoreksi kebijakan tersebut guna memfasilitasi lahirnya produk hukum yang toleran dan anti diskriminatif.
"Masukan dari SETARA ini banyak sekali jadi bahan bagi kami untuk mengkoreksi kebijakan Kemendagri dalam rangka memfasilitasi hadirnya produk-produk hukum yang toleran dan anti diskriminasi," kata Plt Dirjen Otda, Akmal Malik usai menghadiri Seminar SETARA Institute tentang Perda diskriminatif dan intoleran, di Jakarta Pusat, Selasa.
Akmal mengatakan menindalkanjuti temuan tersebut pihaknya akan menggelar rapat yang akan mengundang sejumlah pihak seperti SETARA Institute, Ombudsman, dan Kemenkum-HAM.
Rapat ini juga akan membahas tentang hasil kajian yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM terkait adanya produk hukum yang tidak familiar dengan HAM.
"Rapat ini agar kita bisa menelaah secara lebih jeli terkait hasil-hasil kajian kumham tadi," katanya.
Akmal optimistis pada rapat tersebut pihaknya akan mendapat banyak masukan dari sejumlah narasumber yang diundang. Hal ini untuk memperkuat peran Dirjen Otda dalam mengawal lahirnya perda yang toleran dan anti diskriminasi setelah kewenangan untuk membatalkan Perda itu dibatalkan oleh Mahakamah Konstitusi.
"Putusan MK mencabut kewenangan kami dalam membatalkan perda. Tapi kami yakin dengan komunikasi yang baik dengan teman-teman di daerah bisa menggugah hati nurani pemda ketika ada produk hukumnya yang intoleran dan anti diksriminasi," katanya.
Upaya ini tidak terbatas dilakukan hanya di wilayah Jawa Barat yang ditemukan 91 perdanya diskriminasi dan intoleran atau di Yogyakarta yang memiliki 24 produk hukum daerah diskriminatif.
Akmal mengatakan pihaknya mencoba membuat kriteria satu per satu yang mana yang akan perlu benahi.
Dirjen Otda memiliki instrumen yakni klarifikasi terhadap perda yang sudah berjalan. Dari situ menghasilkan evaluasi terhadap perda yang sudah dijalankan.
"Setelah dilakukan klarifikasi ada perda atau norma-norma yang bertentangan dengan UUD 45, Pancasila, menghadirkan kondisi yang tidak tertib maka kita berhak menyampaikan kepada pemda untuk melakukan perubahan," katanya.
Akmal menekankan, komunikasi menjadi jembatan bagi Dirjen Otda untuk meminimalisir lahirnya produk hukum daerah yang intoleran dan diskriminasi. Selain itu pemda juga punya kepentingan banyak terhadap pemerintah daerah sehingga menjadi kekuatan bagi Otda untuk memfasilitasi lahirnya perda yang toleran dan anti diksriminasi.
"Memang kita tidak bisa mencabut, otonomi daerah itu tidak boleh otoriter. Otonomi daerah memberikan ruang kepada daerah-daerah untuk menyadari kesalahan-kesalahannya," kata Akmal.
Hasil kajian SETARA Institute pada September 2018 sampai Februari 2019 tentang dampak produk hukum daerah diskriminatif terhadap akses pelayanan publik di Yogyakarta dan Jawa Barat, ditemukan 24 produk hukum daerah diskriminatif di Yogyakarta dan 91 produk hukum di Jawa Barat.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan hasil riset ini sebagai upaya lembaganya membantu pemerintah daerah bisa mempromosikan toleransi.
"Kami melakukan pendekatan kebijakan dengan pemerintah daerah yang menjadi area riset, ingin membantu apa yang menjadi kesulitan mereka dalam mempromosikan toleransi," katanya.
Ia menambahkan hasil riset ini bagian dari upaya memberikan kabar baik terkait apa yang sudah dilakukan pemerintah daerah tersebut dalam mempromosikan toleransi. (*)
"Masukan dari SETARA ini banyak sekali jadi bahan bagi kami untuk mengkoreksi kebijakan Kemendagri dalam rangka memfasilitasi hadirnya produk-produk hukum yang toleran dan anti diskriminasi," kata Plt Dirjen Otda, Akmal Malik usai menghadiri Seminar SETARA Institute tentang Perda diskriminatif dan intoleran, di Jakarta Pusat, Selasa.
Akmal mengatakan menindalkanjuti temuan tersebut pihaknya akan menggelar rapat yang akan mengundang sejumlah pihak seperti SETARA Institute, Ombudsman, dan Kemenkum-HAM.
Rapat ini juga akan membahas tentang hasil kajian yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM terkait adanya produk hukum yang tidak familiar dengan HAM.
"Rapat ini agar kita bisa menelaah secara lebih jeli terkait hasil-hasil kajian kumham tadi," katanya.
Akmal optimistis pada rapat tersebut pihaknya akan mendapat banyak masukan dari sejumlah narasumber yang diundang. Hal ini untuk memperkuat peran Dirjen Otda dalam mengawal lahirnya perda yang toleran dan anti diskriminasi setelah kewenangan untuk membatalkan Perda itu dibatalkan oleh Mahakamah Konstitusi.
"Putusan MK mencabut kewenangan kami dalam membatalkan perda. Tapi kami yakin dengan komunikasi yang baik dengan teman-teman di daerah bisa menggugah hati nurani pemda ketika ada produk hukumnya yang intoleran dan anti diksriminasi," katanya.
Upaya ini tidak terbatas dilakukan hanya di wilayah Jawa Barat yang ditemukan 91 perdanya diskriminasi dan intoleran atau di Yogyakarta yang memiliki 24 produk hukum daerah diskriminatif.
Akmal mengatakan pihaknya mencoba membuat kriteria satu per satu yang mana yang akan perlu benahi.
Dirjen Otda memiliki instrumen yakni klarifikasi terhadap perda yang sudah berjalan. Dari situ menghasilkan evaluasi terhadap perda yang sudah dijalankan.
"Setelah dilakukan klarifikasi ada perda atau norma-norma yang bertentangan dengan UUD 45, Pancasila, menghadirkan kondisi yang tidak tertib maka kita berhak menyampaikan kepada pemda untuk melakukan perubahan," katanya.
Akmal menekankan, komunikasi menjadi jembatan bagi Dirjen Otda untuk meminimalisir lahirnya produk hukum daerah yang intoleran dan diskriminasi. Selain itu pemda juga punya kepentingan banyak terhadap pemerintah daerah sehingga menjadi kekuatan bagi Otda untuk memfasilitasi lahirnya perda yang toleran dan anti diksriminasi.
"Memang kita tidak bisa mencabut, otonomi daerah itu tidak boleh otoriter. Otonomi daerah memberikan ruang kepada daerah-daerah untuk menyadari kesalahan-kesalahannya," kata Akmal.
Hasil kajian SETARA Institute pada September 2018 sampai Februari 2019 tentang dampak produk hukum daerah diskriminatif terhadap akses pelayanan publik di Yogyakarta dan Jawa Barat, ditemukan 24 produk hukum daerah diskriminatif di Yogyakarta dan 91 produk hukum di Jawa Barat.
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani mengatakan hasil riset ini sebagai upaya lembaganya membantu pemerintah daerah bisa mempromosikan toleransi.
"Kami melakukan pendekatan kebijakan dengan pemerintah daerah yang menjadi area riset, ingin membantu apa yang menjadi kesulitan mereka dalam mempromosikan toleransi," katanya.
Ia menambahkan hasil riset ini bagian dari upaya memberikan kabar baik terkait apa yang sudah dilakukan pemerintah daerah tersebut dalam mempromosikan toleransi. (*)