Sore itu, Ismael baru saja menunaikan ibadah shalat Ashar. Tiba-tiba bumi tempat kakinya berpijak bergetar. Pria 28 tahun itu sadar  bahwa telah terjadi gempa. Malang tak dapat ditolak. Ia tak sempat keluar rumah ketika tanah perbukitan di sekitar rumahnya longsor. 

Bencana itu terjadi pada 30 September 2009 pukul 17.16 WIB. Gempa 7,6 SR yang berpusat di lepas pantai Sumbar itu memicu runtuhnya bukit di sekitar tempat tinggal Ismael di Korong (setingkat dusun) Lubuk Laweh, Nagari Tandikek Timur, Kecamatan Patamuan, Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat. Puluhan rumah di daerah itu termasuk rumah Ismael habis tertimbun.

"Sesaat setelah gempa ada gemuruh ternyata longsor. Saya langsung diseret di bawah reruntuhan rumah hingga 100 meter," kenang Ismael di tengah acara temu lapangan petani, pekan lalu.

Masih jelas dalam ingatan pria ini ketika sebuah lemari menghimpit tubuhnya. Di atas lemari tersebut, terdapat tanah longsoran hampir setinggi dua meter. Ia tak mampu bergerak. Hanya bernafas yang  bisa dilakukannya sambil berteriak minta tolong meski entah barapa banyak tanah yang sudah ditelannya.

"Kalau ada terdengar bunyi  dari atas, saya minta tolong," ujarnya.

Usaha itu pun berhasil. Teriakannya didengar warga warga lain yang selamat. Namun tak mudah untuk menemukan Ismael, karena warga itu harus menggali tanah terlebih dahulu untuk mengetahui keberadaan Ismael. Sekitar pukul 19.00 WIB, warga akhirnya barhasil menemukan lokasi tempat Ismael terkubur.

"Jam tujuh itu, baru kepala saja yang sudah di atas, sedangkan bagian badan ke bawah masih tertimbun," katanya.

Walau sudah tertimbun dengan kondisi kaki dan tangan yang sudah membengkak, ia masih bisa memberikan masukan kepada warga bagaimana cara untuk mengeluarkan tubuhnya yang gemuk. Tubuh itu akhirnya berhasil dievakuasi setelah terkubur selama 18 jam dan dibawa ke RSDU Pariman.

Tubuh gemuk itu hanya bisa berbaring selama 17 hari di rumah sakit. Ismael pasrah. Bencana itu bahkan mengubur harapannya untuk hidup, seolah ia merasa tak berguna dengan kondisi fisik yang duduk pun tidak dapat dilakukannya.

Peralahan ia mulai bangkit karena ia masih memiliki keluarga. Keluarganya selamat dan tak kurang satu apa pun karena saat bencana terjadi mereka berada di Bukittinggi untuk menjenguk kakaknya yang sedang sakit.

"Setelah 17 hari di rumah sakit, saya harus di kursi roda selama tiga bulan, dan tinggal di tenda selama empat bulan karena tak ada rumah, dua tahun harus pakai tongkat," ujarnya.

Tak sedikit nyawa melayang di Korong Lubuk Laweh dalam bencana yang terjadi lima tahum silam ini. Menurut Ismael, dari sekitar 80 KK, hanya sekitar 20 persen saja yang selamat dan dari 60 rumah yang ada, sebanyak 15 unit tidak terkena dampak longsoran. Lahan pertanian warga pun habis tertimbun longsor.

"Sebagian korban yang tertimbun ada juga yang tidak ditemukan, sedangkan yang selamat bertahan hidup di tenda," katanya.

Korban yang selamat direlokasi ke Korong Lubuk Laweh Jajaran yang berjarak sekitar dua kilometer dari Korong Lubuk Laweh. Meski demikian, Ismael sempat mengalami trauma selama setahun dan tidak punya nyali untuk kembali ke kampung lamanya, tempat longsor itu terjadi. Kini, di lokasi itu dibangun tugu gempa yang dilengkapi dengan nama-nama korban.

Ismael kembali mendapatkan semangat hidup dengan adanya "trauma healing" (pemulihan trauma) yang dilakukan sejumlah NGO internasional pada tahun 2010. Selain itu, ia bersyukur karena pemerintah menanggung seluruh biaya pengobatan hingga ia sembuh total.

"Selesai kejadian, semangat hidup sudah tidak ada. Kepedulian kepada lingkungan juga tidak ada. Namun dengan mengikuti pelatihan, sekarang sudah normal lagi," katanya lagi.

Lima tahun sudah bencana tersebut terjadi. Gempa dan longsor itu menurut Ismael juga membawa berkah bagi warga yang kini berdomisili di Korong Lubuk Laweh Jajaran. Sebab mereka memperoleh pelatihan untuk mengolah pertanian yang dilakukan NGO FIELD Bumi Ceria pada 2011.

Dari pelatihan itu, kini warga bergantung kepada pertanian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari. Warga umumnya menanam padi, durian, papaya, jengkol, petai baik untuk dijual maupun untuk memenhui kebutuhan hidup sehari-hari.

"Hal yang paling membuat saya senang adalah kalau sebelumnya, warga sangat berharap bantuan raskin, namun sekarang warga tidak lagi berharap. Tidak apa-apa kalau tidak ada raskin," ujar Ismael yang dipercaya menjadi wali korong Korong Lubuk Laweh Jajaran pada 2012.

Tahun ini, ia mencoba untuk meminta bantuan pemerintah untuk perluasan lahan sawah di kawasan eks longsoran. Dari upaya itu, diperoleh dua tahap bantuan sawah. "Tahap pertama sudah jadi (sawah) dua hektar, sedangkan tahap kedua 10 hektar lagi," kata Ismael.

Warga juga memperoleh pelatihan untuk menjadikan pekarangan rumah sebagai lahan untuk menanam tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari  melalui Sekolah Lapangan Pekkerti (Pengkajian Kerentanan dan Kapasitas secara Partisipatif) yang dilakukan NGO FIELD Bumi Ceria.

"Pekarangan rumah ini juga dapat dijadikan lumbung pangan untuk antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi bencana," ungkap aktivis FIELD Bumi Ceria, Rachmadi.

Selain itu, Sekolah Lapangan Pekkerti juga memotivasi warga untuk melakukan pemetaaan baik terhadap alam yang rawan bencana terhadap alam yang rentan terjadi bancana, pembutan biogas, dan pertanian organik.

Meski demikian, menurutnya, pemerintah harus berperan aktif  dalam membangun perekonomian warga dan insfrastruktur lima tahun pasca gempa Sumbar. Hal konkret yang bisa dilakukan adalah dengan cara memfasilitasi warga dalam rangka memberikan pengetahuan kepada warga dalam mengolah dan memasarkan hasil pertanian daerah setempat serta pemberian bantuan peralatan. 

"Kalau di daerah penghasil durian atau pepaya, masyarakatnya bisa diajarkan untuk mengolah durian atau papaya itu, dan tentu saja pemerintah juga harus membuka pasar untuk  penjualannya," katanya. (*)


Pewarta : Syafril Adriansyah
Editor :
Copyright © ANTARA 2024