Berselang sehari setelah pencanangan Hari Sampah Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup di Komplek Perumahan Dangau Teduh Cengkeh Kecamatan Lubuak Bagaluang, Kota Padang, seorang lelaki tua pada  Selasa siang (1/3) masih saja memilah beragam sampah untuk dimasukkan ke dalam becaknya, yang sudah selesai dipungut dari tempat pembuangan sampah.

       Tumpukan sampah itu tepatnya di pinggir Jalan Banda Bakali Gurun Laweh Kecamatan Lubuak Bagaluang, membentang hampir 150 meter. Di sanalah lelaki tua itu sering datang untuk mengais rezeki.  

       Bau sampah menyengat ketika matahari semakin terik, tak membuatnya risih demi berkah yang diharapkan bisa dibawa pulang pada hari itu.

       Mak Jang—begitu ia biasa dipanggil—enam tahun sudah berkeliling di seputar Kecamatan Lubuak Bagaluang Kota Padang, memungut bermacam barang bekas bernilai rupiah yang biasa dijualnya ke 'toke' penampungan. Kakek tujuh cucu itu bukan salah seorang dari sekian banyak orang yang tidak beruntung di Kota Bingkuang ini.

       'Tidak mau mengeluh,' itulah wajah dari kehidupan lelaki tua yang memiliki nama asli, Asril. Ini terbukti dari sikapnya yang murah tersenyum ketika berbincang dengan siapa saja dan ini pula yang membuat ia terlihat lebih beruntung.

       Menjadi pemulung bukanlah pilihan yang salah buatnya. Memulung baginya suatu pekerjaan mulia, sama halalnya dengan banyak pekerjaan lain yang ada di dunia ini. Ia tidak merasa malu apalagi berendah diri karena untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya didapat dengan mengumpulkan barang-barang bekas pakai dan rongsokan besi-besi tua.

       "Sudah enam tahun saya memulung, tidak ada yang perlu dikecewakan," jawabnya dengan muka semangat di balik topi anyam bambu.

       Saat ditanyakan, apakah ia sering sakit sejak menjadi pemulung yang setiap harinya selalu bergelut dengan kekumuhan?

       "Alhamdulillah, Tuhan memberi saya kesehatan dan jarang sakit," jawab Gaek hitam legam itu.

       'Tuhan itu Maha Adil dan Dia tidak akan memberi ujian di luar kesanggupan hamba-Nya'. Paling tidak, itulah yang ternukil pada keseharian Mak Jang sebagai pemulung di usia 63 tahun itu.

       Sebelum menjadi pemulung, selama 23 tahun Mak Jang pernah bekerja di Pabrik Karet PT. Family Raya, di Kelurahan Gurun Laweh Kecamatan Lubuak Bagaluang. Sebagai pekerja di bagian penggilingan, ia merasa cukup nyaman hingga akhirnya pada 2003, ia sering mengeluh gatal-gatal luar biasa yang menyerang kedua tangannya.

       Selama satu tahun ia menderita gatal-gatal akibat bahan berbahaya, asam cuka dan cairan dari kotoran ternak pada getah karet yang akan diolah ke mesin penggilingan. Akibat getah karet yang tidak benar-benar murni, menimbulkan dampak buruk pada kulit tangannya yang terlihat seperti terbakar.

       Ia mengungkapkan, cuka dan cairan dari kotoran ternak berfungsi untuk menahan kandungan air yang ada pada karet sehingga berat jenisnya bertambah.

       "Seminggu bekerja, dua minggu terbaring di rumah," ujarnya.

       Dalam kondisi tersebut, ia memutuskan berhenti menjadi pekerja pabrik karet. Umur yang tak lagi muda setelah berhenti menjadi pekerja pabrik, membuat Mak Jang kesulitan diterima bekerja di tempat lain. Sementara, ia harus tetap menafkahi keluarga dan membiayai pendidikan satu anak lagi yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

       Dengan bermodal sedikit pesangon setelah berhenti bekerja di pabrik karet, Bapak tujuh anak itu membeli becak kayuh dan memutuskan untuk mengais rupiah demi rupiah pada tumpukan sampah di lingkungan masyarakat yang kurang peduli kebersihan, hingga sekarang.

       Beruntung, enam anaknya yang lain telah bekerja dan ada di antaranya sebagai TKI di Malaysia.

       Dari penghasilan yang berkisar antara Rp30-50 ribu per hari, Mak Jang tetap mampu memberi berkah untuk keluarganya, khususnya untuk melanjutkan pendidikan anak gadisnya. Kini anak gadisnya itu bersekolah di salah satu SMA Swasta di Padang.

       Fluktuasi harga barang bekas, pun kerap dijumpai dalam kesehariannya. Seperti kaleng bekas, harga normalnya mencapai Rp2.000 per kilogram. Namun jika harga turun, satu kilogram kaleng bekas hanya dihargai Rp1.000/Kg.

       Untuk harga kertas dan karton bekas, masing-masing bisa mencapai Rp1.200 dan Rp2.000 per kilogram di harga normal. Namun jika musim penghujan, kertas dan karton bekas ini bakal menjadi barang langka yang sulit ditemukan di tempat pembuangan sampah.

       Sedangkan untuk harga plastik bekas terbilang cukup tinggi di harga Rp5.000-8.000 perkilogram dan relatif stabil.

       "Kalau untuk plastik air kemasan bekas Rp2.000 per kilogram untuk yang belum dibersihkan dan Rp5.000 untuk yang sudah dibersihkan," ujarnya sambil menyortir hasil memulung siang itu.

       Fluktuasi harga barang bekas, ditanggulangi oleh warga asli Aur Duri Kecamatan Padang Timur itu, dengan cara mencari barang bekas yang harganya relatif stabil atau naik.

       "Dengan begitu pendapatan per hari bisa mencukupi kebutuhan anak dan istri saya," katanya dengan senyum lebar.

       Meski memperoleh berkah dari usahanya sebagai pemulung, Mak Jang tetap saja prihatin melihat kondisi lingkungan yang dipenuhi sampah. Sampah di sekitar Jalan Banda Bakali Gurun Laweh Kecamatan Lubuak Bagaluang itu berasal dari warga berbagai kawasan sekitar kecamatan itu.

       Hal ini yang sering disaksikan Mak Jang ketika memulung di kawasan tersebut. Sering, pengendara yang melewati jalan Banda Bakali melempar sekantung sampah atau lebih.

       Dua tahun sebelumnya, kata Mak Jang, kawasan itu terbilang bersih tanpa sampah. Namun, sekantong demi sekantong, sampah makin menggunung di kawasan itu, hingga kini meluas sepanjang hampir 150 meter.

       Sementara, kemampuan petugas kebersihan Kota Padang sangat terbatas pada jumlah personil dan kendaraan angkut sampah. Mak Jang menuturkan petugas kebersihan Kota mengambil sampah di sana hanya satu kali sehari saja.

       "Kata petugas kebersihan itu, kalau di ambil sering-sering siapa yang mau bayar tenaga kami. Padahal di sekitar ini bukan tempat pembuangan sampah umum," ungkap Mak Jang sambil tertawa lebar sehingga kelihatan giginya yang tidak lebih banyak daripada jari tangan.

       Pemandangan 'menyarok' mata serta merusak keindahan itu, terlihat kontras dengan kondisi sungai jernih yang membelah dua kelurahan di Kecamatan Lubuak Bagaluang, yakni Kelurahan Gurun Laweh dengan Kelurahan Lubeg.

       Mak Jang, berharap pemerintah kecamatan Lubuak Bagaluang lebih memperhatikan kawasan itu dan mengharapkan pula kesadaran masyarakat untuk tidak seenaknya membuang sampah di kawasan itu.

       Volume kendaraaan yang melintas di kawasan tersebut terbilang padat. Hampir setiap sepuluh detik pengendara motor dan mobil silih berganti melintasi jalan tersebut. Selain itu jalan di sana juga menjadi rute maraton bagi masyarakat sekitar, baik pagi maupun sore hari.  

       Sudah seharusnya, persoalan ini menjadi perhatian pemerintah khususnya Kecamatan Lubuak Bagaluang. Sebab, di Kecamatan ini pula, Menteri Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta sehari sebelumnya dengan bangga memuji Kota Padang sebagai kota yang bersih sekaligus mencanangkan program Bank Sampah sebagai bagian dari kepedulian lingkungan berbasis masyarakat.

       Selain itu, tak kalah pentingnya kesadaran masyarakat agar peduli lingkungan dan budaya hidup bersih sebagai manivestasi untuk generasi mendatang. Sungguh disayangkan pula nantinya, Kota Padang Tercinta yang telah memecahkan rekor MURI dalam pembacaan Asma'ul Husna dan terkenal taat beragama, juga mencetak rekor lainnya sebagai "kota dengan tempat pembuangan sampah terpanjang di Indonesia."

       Sungguh ironis jika itu terjadi.

       Mak Jang, meski kebutuhan hidupnya bergantung pada mengais barang bekas, tapi tak sedikitpun hatinya tega melihat tempat kelahirannya, Kota Padang Tercinta, semakin hari semakin saja ditemukan sampah-sampah bertumpuk di tempat yang tidak sepatutnya.

       "Meski saya memperoleh berkah dari tumpukan sampah di kawasan ini, saya sangat ingin kawasan ini menjadi tempat yang enak di pandang mata dan terasa nyaman ketika dilewati," ujarnya penuh perhatian dan harapan. (*/wij) 


Pewarta : Rudrik Syaputra
Editor :
Copyright © ANTARA 2025