Fenomena buruh anak di sektor non formal masih tetap berlangsung di Sumatera Barat (Sumbar) khususnya dan di Indonesia pada umumnya, salah satu faktor pemicunya karena himpitan ekonomi sehingga harus ikut membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Para keluarga miskin yang dihadapkan akan biaya hidup tinggi, tentu harus memanfaatkan sumber daya manusia yang ada untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan tak jarang mempekerjakan anak untuk menambah pendapatan.
"Himpitan ekonomi keluarga menjadi satu alasan para orangtua yang menyebabkan anak - anak di usia sekolah menjadi pekerja atau lebih dikenal eksploitasi buruh di sektor non formal," kata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumbar, Muharman, di Padang, Sabtu.
Menurut hasil survei LPA Sumbar di kabupaten dan kota di Provinsi Sumbar, masih ditemukan fenomena anak usia sekolah yang terlibat bekerja pada sektor non formal.
Temuan di lapangan seperti ada segelintir anak-anak usia sekolah yang bekerja menjadi buruh tambang batu bara rakyat, tambang emas dan tambang pasir serta batu air, juga pada industri kapur.
Kabupaten dan kota yang disurvei di antaranya Kota Padang, Padang Panjang, Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung. Bahkan ada di antara mereka yang tidak bisa menikmati pendidikan.
"Fakta di lapangan masih ditemukan, tetapi untuk membuktikan secara data khusus di Sumbar cukup sulit, karena dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan anak-anak di bawah umur 15 tidak diperbolehkan. Jadi bekerja layaknya orang dewasa," katanya.
Persoalannya, mencegah dan menghapus keterlibatan anak-anak menjadi buruh itu, jelas cukup sulit, buktinya peta di Indonesia sendiri menunjukkan bahwa pada tahun 2004 diperkirakan 1,4 juta anak berusia 10-14 tahun menjadi pekerja.
Kendati keterlibatan anak - anak jadi buruh dewasa ini kian mengkhawatirkan karena berada pada sektor yang membahayakan dan punya resiko tinggi, seperti tambang emas rakyat yang tak luput dari air raksa, satu bahan yang cukup berbahaya.
"Dampak air raksa yang sering dipakai para buruh tambang emas informal itu, jelas membahayakan pada anak-anak dalam jangka panjang," katanya dan menambahkan, begitu juga anak-anak yang bekerja di industri kapur, jelas mengancam kesehatan mereka.
Selain itu, anak-anak menjadi buruh di sektor tambang batu bara rakyat, ikut mengais pada lobang-lobang kecil yang dibuat pada penambang, juga cukup mengancam terhadap fisik si anak di bawah umur.
Muharman mengatakan, persoalan fenomena buruh anak ada dua penganut aliran, dimana ada yang berpandangan boleh dan ada yang tidak.
Pandangan yang membolehkan, sepanjang pekerja anak di sektor non formal itu, tidak mengganggu hak fundamental anak, seperti hak mendapat pendidikan dan kesehatan yang layak tetap terealisasikan.
Kemudian perlu membatasi jam kerja terhadap pekerja anak-anak di bawah umur itu, menurut ketentuan undang-undang hanya boleh empat jam dan tidak bekerja yang memberatkan terhadap fisiknya.
Sementara ada pandangan yang tidak membolehkan anak-anak usia sekolah jadi buruh baik formal maupun non formal, kata Muharman, karena tindak mempekerjakan anak jelas merupakan eksploitasi terhadap hak anak yang mesti mendapatkan pendidikan yang layak serta kesehatan yang maksimal.
"Kenyataan yang ditemukan pekerja anak-anak di bawah umur itu, hasil survei LPA menunjukkan kerja yang dilakukan dalam jumlah besar punya resiko tinggi," katanya.
Namun, persoalannya cukup rumit, bila ada upaya penghapusan atau menegakkan aturan yang ada, bisa saja kalangan orang tua akan protes karena menurut mereka adalah anaknya serta berbagai alasan lain akan muncul," tutur Muharman.
Sungguhpun demikian, menurut Muharman, pemerintah daerah perlu juga mendorong dengan upaya advokasi dan melahirkan kebijakan yang berpihak pada perlindungan anak.
Bantu Orangtua
Mardi (12) warga di pinggiran Kota Padang, tak menghiraukan terikan panar matahari yang begitu kuat dan tetap menjalankan aksinya mengeruk pasir di aliran sungai batang Kuranji yang membela perkampungannya itu.
Pria yang kini duduk dibangku sekolah enam SD itu, menuturkan, dirinya rutin pada musim libur dan setiap pulang dari sekolah membantu bapaknya mengeruk pasir di sana.
"Awak (saya, red) bantu - bantu orang tua, dapat setengah hari --dari siang menjelang sore-- satu mini bus L300 lumayan juga," tuturnya sembari menyebutkan, kini harga satu mini bus L 300 untuk pasir Rp45 ribu dan untuk harga jual batu air dan krikil Rp200 ribu/truk DA.
Kendati fenomena anak-anak yang bekerja mengeruk pasir dan memecah batu di kawasan sungai tersebut, tidak hanya Mardi, bahkan banyak anak seusianya bekerja di sana.
Para anak di usia sekolah itu, untuk mendapatkan pasir dengan berenang di aliran sungai mengandalkan ban dalam tronton itu. Bahkan mereka langsung membongkar dan menumpuk batu-batu di pinggir sungai itu.
Sebagian di antara anak-anak umur di bawah 15 tahun itu, mengaku ada orang tuanya bekerja disana dan ada yang hanya secara berkelompok mengumpulkan batu dan mengeruk pasir tersebut.
"Kami kerjasama tiga orang mengumpulkan batu air atau pasir dan sudah sampai satu truk dijual untuk biaya ongkos ke sekolah," tutur Eri, pria yang mengaku duduk dibangku 1 SMP itu.
Kondisi itu, ternyata tidak asing lagi bagi masyarakat di kawasan itu, terkait pada umumnya masyarakat baik laki-laki dan perempuan disana banyak mengais rezeki dengan mengeruk pasir dan batu air untuk memenuhi permintaan masyarakat dan pengembang. (***)
Himpitan Ekonomi Memaksa Anak-anak Jadi Buruh Tambang
Tiga bocah bersaudara usia Sekolah Dasar menarik ban dalam mobil berisi pasir yang diambil dari dasar Sungai Kuranji