Ada fenomena kontradiktif berulang setiap tahun di tengah kaum muslimin. Tujuan esensial syariat puasa Ramadhan melahirkan isan taqwa yang mampu mengendalikan hawa nafsu dalam arti luas, belum nampak.
Sifat konsumtif masih terlihat jelas pada sebagian besar masyarakat.
Banyak yang masih tidak rasional menentukan skala prioritas penggunaan keuangan keluarga di tengah perekonomian yang masih sulit. Dana yang seharusnya dipersiapkan untuk tujuan lebih penting, justru dihamburkan untuk yang tidak perlu.
Sejak masuk puasa Ramadhan 1430 H, kaum muslimin telah mulai memadati pusat-pusat perbelanjaan. Semua berlomba-lomba membeli pakaian, aksesoris, perabotan baru, aksesoris kendaraan, mendekorasi rumah dan sebagainya. Semua harus baru!
Para pedagang dan pusat-pusat perbelanjaan besar memanfaatkan sikap sebagian kaum muslimin yang hedonis ini. Perang tarif dengan mendiskon produk secara besar-besaran dari 70 – 80 persen. Strategi pelaku usaha ternyata cukup “membius”. Pusat-pusat perbelanjaan penuh sesak. Tak ubahnya seperti pasar sayur. Lokasi parkir padat dan jalan sulit dilaui.
Tidak menjadi masalah jika hanya membeli sekadar untuk memeriahkan Lebaran. Tapi, Kenyataannya tidak sedikit yang berlebih-lebihan. Belanja dalam jumlah besar demi penampilan dan gengsi.
Pun dalam hal makanan. Biaya kebanyakan keluarga saat puasa justru meningkat lebih jauh ketimbang pada bulan lain. Nafsu makan “menyeret” banyak orang untuk menumpuk makanan dan lauk-pauk saat berbuka. Mahal tidak dipersoalkan.
Allah telah tegaskan, “ …dan janganlah kamu bersifat boros (mubazir), sesungguhnya orang-orang yang bersifat boros itu teman syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Allah,” (Q.S. al-Isra’: 27).
Puasa tidak lagi digunakan untuk melatih diri mengedalikan hawa nafsu dalam arti luas, melatih hidup sederhana, peka terhadap lingkungan, mampu merasakan penderitaan fakir miskin, dermawan dan sebagainya.
Jika kebiasaan yang dianggap lumrah ini tidak segera disadari untuk selanjutnya dibuang jauh-jauh, maka momen sakral ini akan berlalu sia-sia. Tidak memberikan dampak sosial untuk membangun masyarakat madani. Justru akan makin mempertegas kesenjangan sosial. Rasa iri dan bahkan mungkin saja melahirkan kebencian.
Predikat insan taqwa pun tak bisa diraih.
Berkaca pada fakta ini, hendaklah masing-masing lebih mawas diri. Jika telah terlanjur, masih ada waktu untuk memperbaiki sikap. Jauhi sifat hedonis yang mubazir. Mari berpusa menyambut Lebaran 1430 H dalam nunasa kesederhanaan. (*)