Padang (ANTARA) - Akademisi hukum dari Universitas Dharma Andalas (Unidha) Sumatra Barat (Sumbar) Dr Defika Yufiandra turut merespon kasus mutilasi yang diungkap oleh Polisi di Padang Pariaman, provinsi setempat pada Kamis (19/6).
Ia secara khusus menyampaikan apresiasi kepada aparat penegak hukum yang telah mengungkap kasus secara cepat, namun demikian dirinya juga mendorong penegakkan keadilan dalam kasus itu.
"Rasa adil itu pendekatannya tidak hanya dari keluarga korban saja, tapi juga kepada masyarakat secara umum karana perbuatan pelaku sudah di luar batas kewajaran dan tidak manusiawi," kata Defika Yufiandra yang akrab disapa Adek di Padang, Jumat.
Ia mengatakan rasa keadilan itu harus mampu diwakili oleh penyidik Kepolisian dalam penerapan pasal, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menuntut, dan majelis hakim ketika memutus perkara di Pengadilan.
Menurutnya aparat penegak hukum yang pertama harus melihat motif dari kejahatan tersebut secara utuh dan menyeluruh, sebagai pijakan dalam menerapkan pasal kepada pelaku.
Kemudian melihat serta memperhatikan kejiwaan dari pelaku karena mengingat jumlah korban yang lebih dari satu orang, dalam artian bisa disebut sebagai pembunuhan berantai.
"Hal ini perlu dilakukan supaya dalam melakukan penyelidikan maupun penyidikan, terapan pasal yang akan dikenakan kepada pelaku jelas," kata Adek yang memperoleh gelar Doktor Hukum di Universitas Andalas (Unand).
Ia melanjutkan dengan adanya tiga orang korban dalam kasus itu maka perlu juga didalami hubungan antara pelaku dengan para korban, dan bagaimana kejahatan ini bisa terjadi dan berulang.
"Informasi lebih dalam bisa didapatkan dari pelaku sendiri, dan orang-orang di sekeliling korban yang turut mengetahui hubungan korban dengan pelaku," jelasnya.
Adek memandang pembunuhan berantai yang dilakukan oleh pelaku memiliki efek yang sangat besar terhadap publik, dan kehadiran pelaku juga akan sulit diterima di tengah masyarakat ketika ia bebas.
"Oleh karenanya aparat penegak hukum harus mampu mewakili rasa keadilan di tengah masyarakat ini melalui proses hukum yang dijalankan," katanya.
Adek yang merupakan putera daerah Pariaman juga meminta kasus itu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah serta lembaga terkait.
"Pemerintah harus memberikan perhatian sebab kasusnya hampir sama dengan kejadian Nia penjual gorengan yang membuat heboh Sumbar sebelumnya," kata Adek yang juga menjadi Direktur di sebuah firma hukum bernama Kantor Hukum Independen (KHI).
Ia mengatakan kasus Nia seharusnya menjadi pelajaran yang berarti, namun disayangkan kasus yang serupa masih kembali terjadi.
Adek mendorong pemerintah untuk mengkaji bagaimana perkembangan masyarakat di daerahnya saat ini, apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi, dan apakah punya keterkaitan dengan perilaku negatif lain seperti narkoba dan sejenisnya.
Pemerintah juga harus melihat bagaimana fungsi lembaga adat serta lembaga masyarakat lain, apakah perannya sudah maksimal dalam menciptakan orang-orang yang bermoral dan menjaga keamanan serta ketertiban di tengah masyarakat.
Sebelumnya, Polisi mengungkap kasus mutilasi yang diduga dilakukan oleh seorang pemuda bernama Wanda (25) di Padangpariaman pada Kamis (19/6).
Korbannya adalah seorang perempuan bernama Septia Adinda, yang diduga dibunuh oleh pelaku lalu jasadnya dimutilasi dan dibuang ke aliran sungai.
Selain itu, juga terungkap bahwa pelaku telah menghabisi dua perempuan lainnya atas nama Siska Oktavia Rusdi atau Cika berusia 23 tahun, dan Adek Gustiana berusia 24 tahun.
Perbuatannya itu tidak terendus sama sekali karena usai melakukan pembunuhan, jasad korban langsung dimasukkan ke dalam sumur tua.
Kini pelaku Wanda yang merupakan warga Batang Anai tengah diperiksa secara intensif oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Padang Pariaman atas tiga kasus dugaan pembunuhan yang menjeratnya.